Cari Makalah & Artikel
Google

Friday, June 8, 2007

IDUL FITRI DENGAN BEKAL "LAELATUL QADAR

oleh M. Syamsi Ali


Tanpa terasa Ramadhan yang kita sambut dengan riang kini bergegas meninggalkan kita. Rasanya sedih, tamu yang agung dan penuh berkah itu, yang telah dengan sepenuh hati memenuhi hajat-hajat keperluan mendasar kita, kini akan meninggalkan kita. Padahal, sesuai tradisi lama, justeru tamulah yang seharusnya mendapatkan pelayanan. Tamulah yang seharusnya dilayani sesempurna mungkin, sehingga kita bisa dicap sebagai seorang Muslim yang "mukrimun lidhaefih" (memuliakan tamunya). Sayang, justeru perbekalan yang di bawa oleh tamu untuk kita jauh lebih besar ketimbang usaha kita sendiri untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya.

Maka di penghujung Ramadhan ini, seharusnya semua kita gembira, namun juga seharusnya lebih banyak merenungi diri akan kegagalan-kegagalan kita dalam memenuhi hak-hak tamu kita kita. Sehingga sangat wajar kalau Rasulullah SAW mengajak para sahabatnya untuk berdoa sepanjang tahun ke depan, agar puasa mereka tahun ini kiranya diterima oleh Allah Yang Maha Rahman. Adakah perasaan "khawatir" ini ada dalam diri kita? Atau justeru dengan berlalunya Ramadhan, seolah kita telah mendapatkan "garansi" kalau kita pasti akan masuk ke dalam syurga firdaus. Akibatnya, seolah puasa selama sebulan itu telah menjadi "penutup" dari seluruh ibadah dan segala dosa-dosa mendatang. Maka sering kita lihat, di saat Ramadhan masjid-masjid masih melimpah ruah jama'ahnya, shalat sunnah malam terjaga, demikian pula bacaan al Qur'an, dst. Tapi setelah Ramadhan terlewatkan, seolah semua selesai. Maka jangankan yang sunnah-sunnah, yang wajib sekalipun terkadang cenderung terabaikan.

Untuk itu, sikap yang betul adalah menempatkan diri di antara "al khauf war Rajaa" (khawatir dan harapan). Kita khawatir akan kekukarangan-kekukarangan yang ada, namun kiranya kita patut juga bergembira, walau dengan berbagai ketidak sempurnaan, kiranya kita juga telah selesai menunaikannya sesuai daya dan kemampuan yang ada. Untuk itulah, pada akhirnya kita memang patut berhari raya, untuk menandai rasa syukur dan kegembiraan kita dengan sebanyak-banyaknya membesarkan Asma Ilahi. Allah berfirman: "Dan sempurnakan bilangan puasa, dan hendaklah kamu membesarkan Asma Allah atas petunjuk yang diberikannya kepadamu, dan semoga kamu dapat bersyukur kepadaNya" (Al Baqarah: 185).

Ada banyak tentunya yang harus kita syukuri, termasuk puasa, tarawih, sadaqah, bacaan Qur'an, dan berbagai ibadah lainnya, tentu dengan segala kesadaran akan kekurangan-kekurangannya. Semua kesyukuran ini seharusnya terkait dengan nilai ibadah yang telah dilakukan. Sayang, terkadang kegembiraan kita terkait oleh kegerlapan duniawi yang dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyambut Idul Fitri. Sehingga kegembiaraan kita tidak menggambarkan rasa syukur "ta'abbudi", melainkan kegembiraan duniawi yang lebih didominasi oleh kemubadziran atau sikap berlebih-lebihan. Silaturrahim atau saling mengunjungi terkadang disulap menjadi ajang pamer makanan, pakaian atau peralatan rumah tangga lainnya. Akibatnya, dengan berlalunya Ramadhan, berlalu pula pesan-pesan moral puasa, untuk hidup sederhana serta semakin sensitive dengan penderitaan sesama di sekitar kita.

Merayakan Laitul Qadar

Dari sekian banyak hal yang patut kita rayakan di akhir Ramadhan ini, saya yakin salah satu yang terpenting adalah merayakan sebuah malam yang telah dilalui. Sebuah malam yang ternyata lebih bermutu ketimbang seribu bulan di masa-masa mendatang dalam hidup kita. Malam (Laelatul) Qadar adalah sebuah malam yang dinanti-nantikan oleh setiap insan Muslim, dan disambut kedatangannya dengan berbagai bentuk pengabdian, baik berupa qayamullael (shalat tahajjud), qiraah al qur'an (bacaan al qur'an) atau bermacam bentuk ibadah lainnya. Bahkan tidak jarang sebuah masjid melakukan berbagai kegiatan ibadah semalam suntuk.

Apakah "Malam Qadar" itu? Dan kenapa demikian penting di mata insan-insan Muslim? Jawabannya tentu ditemukan pada S. Al Qadar:

"Sungguh Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Malam Al Qadr. Tahukah anda apa Malam Al Qadr itu? Malam Al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".

Pada ayat pertama Allah menegaskan bahwa di malam yang disebut "Laelatul Qadr" itulah diturunkan Al Qur'an. Lalu untuk menarik perhatian pembaca surah ini, Allah mengajukan sebuah pertanyaan: "Dan tahukah engkau apa yang disebut Malam al Qadr?", yang kemudian dijawabnya sendiri: "Malam al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".

Kalau seandainya ada yang kemudian mempertanyakan, kenapa "Laelatul Qadr" itu lebih baik dari seribu bulan? Apa dasar dan alasannya? Apakah ada kwalitas yang dimiliki secara khusus tanpa malam yang lain? Apakah "khaeriyah/imtiyaz" (kebaikan/keistimewaan) malam itu karena malam (sebuah potongan masa) sendiri? Apakah karena Muslimnya yang sedang beribadah malam itu? Atau sebenarnya karena apa?

Beragam respon yang diberikan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar, diantaranya, menilai bahwa "keistimewaan" malam itu adalah karena malamnya tersebut. Sehingga malam itu dijadikan (seolah) malam yang disucikan secara khusus, yang memiliki tanda-tanda lahir misalnya malamnya sejuk dengan terpahan angin lembut, langit di malam itu hampir tidak berawan dengan bulan yang terang benderang. Demikian juga di pagi harinya, tiba-tiba saja mentari terang benderang hampir tak terhalangi oleh sedikit awan pun.

Sebagian lain menilai, keistimewaan malam itu dikarenakan bahwa beribadah pada malamnya akan menghasilkan pahala senilai lebih dari beribadah selama seribu bulan pada malam-malam yang lain. Untuk itu, sebagian umat yang menafsirkan demikian, beribadah dengan sebanyak-banyaknya dan sekaligus cenderung mengkalkulasi secara matematis "nilai" pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, sebagian umat ini cenderung bersikap materialistis dalam menyikapi malam al Qadr ini. Akibatnya, dengan merasa telah mendapatkan "Laelatul Qadr", cukuplah kiranya ibadah perbekalan untuk menuju akhirah. Toh, kalau dihitung-hitung ke depan tidak mungkin lagi hidup seribu bulan untuk menyamai satu malam tersebut. Maka selepas Ramadhan, rasa ringan untuk meninggalkan kewajiban bukanlah masalah, karena semua itu telah tertutupi oleh ibadah semalam (laelatul Qadr) itu.

Saya melihatnya, bukanlah masalah jika memang cenderung dinilai demikian. Bukankah disunnahkannya "I'tikaf" di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan juga memang terkait dengan upaya mengoptimalkan ibadah pada malam-malam yang dianggap "kemungkinan besar" jatuhnya "Malam Besar" itu. Seorang Muslim termotivasi untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya merupakan hidayah tersendiri. Sebab memang aneh, jika di awal-awal ramadhan masjid pada ramai tapi di penghujung Ramadhan justeru yang datang hanya segelintir. Padahal, sebaik-baik nilai amalan itu adalah "khawatimuha" (penutupnya). Beribadah secara maksimal di akhir-akhir Ramadan bisa jadi merupakan indikasi "Husnul Khaatimah" Ramadhan itu sendiri bagi seseorang.

Qadr (Kekuatan) Malam itu pada Kekuatan Al Qur'an

Hanya saja, saya pribadi cukup menyayangkan kalau kehebatan malam itu hanya terbatas pada jumlah dan bentuk ibadah-ibadah yang kita persembahkan. Apalagi kalau penilaian kita dibatasi oleh malam, dalam arti sepotong masa dari bulan ini sendiri. Saya sayangkan demikian karena sesungguhnya Allah Maha Adil, tidak pernah membedakan antara waktu-waktu yang ada, semuanya tergantung pemanfaatannya saja. Untuk itu, maksimalisasi "Laelatul Qadr", menurut saya, justeru tidak terletak pada jumlah dan bentuk ibadah-ibadah yang kita lakukan. Maksimalisasi "Kekuatan Malam" itu justeru terletak pada ayat pertama dari Surah Al Qadr: "Sungguh Kami telah turunkan pada malam Al Qadr".

Sebenarnya, kalau dikembalikan pada urutan-urutan pertanyaan tadi: "Dan tahukah kamu apa Laelatul Qadr itu?- Laelatul Qadr lebih baik dari seribu bulan-". Lalu pertanyaan yang timbul kemudian dari kita: "kenapa kiranya malam itu lebih baik dari seribu bulan?". Jawaban yang tepat adalah karena " Sungguh Kami menurunkan al Qur'an pada Malam Al Qadr itu". Artinya, keistimewaan malam itu sangat erat terkait dengan diturunkannya sebuah Kitab yang sangat istimewa (Al Qur'an). Itulah sebabnya, Allah menyebutkan: "Sungguh Kami turunkan (al Qur'an) pada malam yang diberkahi" (Ad-Dukhaan: 3). Sekali lagi, Allah mengaitkan "keberkahan" malam itu dengan diturunkannya Kitab yang membawa berkah (al Qur'an).

Dengan demikian, kehebatan/kekuatan/keunikan/keistimewaan/kelebihan Laelatul Qadr tidak lain karena terkait dengan kehebatan/kekuatan/keunikan/keistimewaan/kelebihan yang ada pada "al munazzal" (yang diturunkan berupa al Qur'an) pada malam itu. Sehingga saya sendiri sangat terkejut menyaksikan beribu-ribu umat menyatakan menang dengan "Laelatul Qadr", hanya karena shalat-shalat sunnah yang dilakukan, terlebih lagi jika dirasakan sebagai penutup dari kekurangan-kekuarangan di masa depan, sementara "hidayah qur'ani" diabaikan dalam proses hidup selanjutnya. Saya justeru menilai bahwa ibadah seseorang pada malam itu, tapi dalam proses selanjutnya "substansi" (hidaya/al Qur'an) diabaikan justeru seperti apa yang dikatakan Rasulullah: "Refleksi akal semalam seorang alim itu lebih baik ibadah yang dilakukan seorang 'aabid dalam seribu malam".

Dengan demikian, sesungguhnya kalaulah kita ingin untuk meraih malam yang jauh lebih baik dari seribu malam itu, sebaiknya selain diperbanyak amalan-amalan ibadah, juga sangat penting untuk dipergunakan untuk "mentadabburi" ayat-ayat Ilahi yang datang pada malam itu dan menjadikan malam itu menjadi istimewa. Satu malam yang dipergunakan untuk merefleksikan "hidayah" Allah, dihayati, dimengerti dengan komitmen diamalkan, tentu jauh lebih baik dari sekedar shalat-shalat sunnah yang terkadang bertujuan menghitung-hitung pahala semata. Kehidupan semalam dengan naungan "petunjuk" sebagai bekal dalam menggapai sisa-sisa kehidupan ke depan, jauh lebih baik dari kehidupan seribu bulan lagi atau sekitar 84 tahun, namun jauh dari hidayah-Nya Allah SWT. Karena nilai hidup manusia bukan pendek dan panjangnya, tapi ditentukan oleh nilai "kesadaran kebesaran Ilahi (taqwa) yang dimiliki seseorang.

Sisi Qadr (kekuatan) Al Qur'an

Adalah memang sangat wajar kalau Al Qur'an dinilai sebagai sebuah kekuatan besar. Al Qur'an sendiri dengan tegas mengatakan: "Kalau seandainya Al Qur'an ini Kami turunkan di atas sebuah gunung maka gunung itu akan guncang karena takut kepada Allah" (Al Hasyar: 21). Al Qur'an adalah kalam Ilahi yang "mu'jiz", yang memiliki kekuatan luar biasa yang mengalahkan segala tandingan dari sudut dan aspek mana saja. Saya sangat yakin, hanya akal-akal kerdil saja yang masih meragukan akan kehebatan Al Qur'an, dan cenderung untuk meletakkan Al Qur'an pada posisi yang sejajar dengan akalnya yang terbatas.

Barangkali pada kesempatan ini, saya tidak sempat membahas semua sisi kekuatan Al Qur'an. Saya rasanya malu menjadi anak kampungan yang diajak jalan-jalan ke pinggir pantai, dan serta merta menyatakan bahwa pantai itu tak bernilai, kotor dan hanya penuh dengan kotoran. Sebab saya hanya tukang cangkul kebun yang hanya bisa melihat pinggiran laut yang maha luas itu. Kalaulah saya menjadi ahli laut, bisa menyelam dan melihat "values" yang ada di kedalaman laut itu, tentu saya tidak kampungan mengambil kesimpulan seperti tadi.

Itulah Al Qur'an, sebuah lautan yang seandainya seluruh laut dijadikan tinta untuk menggalinya, niscaya air laut ini akan habis walau didatangkan sebanyak itu lagi, tak akan selesai digali. Kedalaman dan keluasan ilmu yang terkandung dalam Al Qur'an menjadikan kita semua hanya bisa terkagum-kagum, justeru tidak semakin menyombongkan diri menngingkari kehebatannya. Lebih celaka, karena pengingkaran kita ditambah lagi dengan keangkuhan seolah "pemahaman" kita jauh lebih hebat dari kandungan Al Qur'an itu sendiri. Kesombongan insan tidak lagi sebatas menantang "penafsiran" ulama lain, tapi telah berada pada batas menantang "kehebatan" Kalam Ilahi itu sendiri. Suatu kesombongan yang sangat luar biasa, bahkan suatu kenaifan yang sebenarnya sangat menjijikkan, karena penantangan seperti itu hanya semakin memperlihatkan "kejahilan" yang hebat dari seseorang. "Walan taf'aluu" (dan kamu tak akan bisa melakukan penantangan itu) tantang Al Qur'an. Itulah sebabnya, semakin direndahkan Al Kitab ini, justeru semakin menampakkan kemuliaaannya. Allah sendiri meyakinkan: "Wa Qul Jaa al Haq wa zahaqa al baathilu, innal baathila kaana zahuhuqa" (dan katakan: sungguh kebenaran telah tiba dan kebatilan telah lenyap, dan sungguh (jika bertabrakan) kebatilan itulah yang akan lenyap). Sesungguhnya inilah yang menjadikan "ahli bathil" terkadang panik dalam menyampaikan ide-idenya, karena dari hari ke hari ide-ide mereka semakin tidak populer, walau itu didukung oleh berbagai fasilitas yang lebih hebat dan canggih.

Kekuatan yang Membawa Perubahan

Kalau bisa saya istilahkan, al Qur'an sebenarnya adalah "Quwwah Taghyyiriyah" atau kekuatan yang membawa perubahan (changing power) dalam kehidupan manusia. Barangkali istilah klasik yang kita kenal, kerubahan dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang, perubahan dari pengabdian kepada "thaguut" kepada pengabdian semata kepada "Allah", Pencipta alam semesta. Sebuah kekuatan yang membawa perubahan dari kehidupan yang "jahiliyah", kebodohan, kesemprawutan, keterbelakangan, kemiskinan dan penderitaan, kepada kehidupan yang "illuminated", intelektualitas, kedisiplinan, kemajuan, kemakmuran dan kebahagiaan.

Mungkin pertanyaan klasik akan muncul. Kalaulah al Qur'an itu adalah sebuah kekuatan perubahan, tapi kenapa kehidupan umat ini jauh dari seperti yang diharapkan? Sebenarnya terjawab dengan kenyataan hidup umat itu sendiri, betapa umat ini jauh dari al Qur'an. Kenyataan hidup umat yang menyedihkan saat ini bukan dikarenakan ajaran al Qur'an, tapi sebaliknya dikarenakan umat ini telah jauh dari ajaran Al Qur'an yang sebenarnya. Umat Islam dalam sejarah, tidak pernah dan tak akan pernah menjadi jaya dengan mejauhkan diri dari Kitab Sucinya. Yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa keterpurukan yang dialami oleh umat Islam tidak lain disebabkan semakin menjauhnya mereka dari "petunjuk" Allah SWT. Allah berfirman: "Dan jika datang kepadamu petunjuk dariKu, maka barangsiapa yang mengikut petunjukKu, maka atas mereka tiada takut dan sedih. Tapi mereka yang mandustakan ayat-ayatKu, merekalah ahli "Neraka", mereka kekal di dalamnya (Al Baqarah: 38-39)

Neraka (penderitaan) yang dialami oleh umat manusia saat ini, termasuk neraka-neraka duniawi (adzaab al adnaa) adalah akibat dari kelalaian mengikut kepada petunjuk Allah SWT. Sebaliknya, mereka mengejar kejayaan dengan bertaqlid buta kepada "petunjuk-petunjuk" lain (subul), ibarat mengejar "fatamorgana", sebuah ilusi dalam kehidupan yang tiada berkesudahan.

Ada tiga perubahan dasar yang dibawa oleh Al Qur'an:

1. Perubahan Hati dan Jiwa (Taghyiir al Quluub/ Nafsiyah)

Dalam Al Qur'an, seringkali Allah sebelum menyebutkan kemuliaan ayat-ayat KalamNya, disebutkan perumpamaan berupa "turunnya air hujan dari langit ke bumi dan tiba-tiba menyuburkan tanah, dan dari tanah tumbuh tumbuh-tumbuhan dan menghasilkan buah-buahan sebagai rezki bagi manusia" (lihat Al Baqarah: 22 misalnya). Setelah itu, Allah menantang siapa saja yang merasa bisa menciptakan petunjuk yang sehebat Al Qur'an untuk mendatangkan satu pasal saja (surah) yang seperti salah satu surahnya. (Al Baqarah: 23).

Pertanyaan yang kemudian timbul, kenapa Allah menyambung kedua hal itu (hujan dan bumi di satu sisi dan ayat-ayat Al Qur'an dan perilaku manusia di sisi lain)? Jawabannya adalah Jika air hujan yang diturunkan ke bumi ini merupakan penyubur tanah dan dari tanah subur yang subur inilah timbul tumbuh-tumbuhan sehat yang membuahkan buah-buah yang segar. Buah-buah segar inilah yang diperlukan oleh jasad manusia untuk tetap sehat lestari memakmurkan bumi ini. Maka wahyu al Qur'an adalah air hujan ruh, yang diturunkan untuk menyuburkan jiwa manusia. Dari jiwa yang subur ini, tumbuh pepohonan yang kokoh kuat, akar-akarnya menghunjam ke dalam tanah, dahangnya mencakar langit dan menghasilkan buah-buah setiap saat dengan izin Tuhannya (S. Ibrahim: 24).

Kenyataan ini yang kemudian dikuatkan oleh Rasulullah SAW: "Sungguh pada diri setiap insan itu ada segumpal darah, yang jika baik akan baik seluruh amalannya. Namun jika rusak maka rusaklah seluruh amalannya. Itulah dia hati" (hadits).

Kenyataan inilah yang menjadikan al Qur'an menjadi sebuah kekuatan hebat yang secara khusus dirancang oleh "Sahibul Kalaam" (Allah SWT) untuk merombak jiwa-jiwa yang yang melenceng. Al Qur'an adalah obat apa yang ada di dada, penyejuk jiwa, penentram kalbu. Generasi pertama dari umat ini, adalah hasil bentukan qur'ani. Hati-hati mereka yang tadinya keras (qaashiyah), menjadi lembut dengan gemblengan al Qur'an. Hati yang tadinya liar menjadi jinak terhadap "masalih insaniyah" (kemaslahatan manusia). Inilah yang menjadikan "penaklukan" kota Makkah (Fath Makkah) tidak menjatuhkan korban kecuali tiga orang dari kalangan Qurays. Dalam sejarah kehidupan manusia, penaklukan mana yang tidak menjatuhkan ratusan, ribuan bahkan jutaan manusia?

Sayang sekali, bahwa hati-hati yang menerima al Qur'an jauh lebih keras dari sebuah bebatuan yang dijatuhi air hujan. Allah memberikan perbandingan antara batu-batu yang dijatuhi air hujan dan hati-hati yang keras yang tak mau tunduk pada firman Allah:

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada mengalir sungai-singai darinya dan darinya pula ada yang terbelah lalu keluarlah air dan dari padanya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan sekali-kali Allah tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan" (Al Baqarah: 74).

Ayat di atas menjelaskan bahwa betapa batu-batu yang keras masih dapat diharapkan memberikan manfaat berupa dari selah-selahnya terpancar sungai-sungai atau batu itu sendiri yang terpecah dan tiba-tiba keluar air darinya. Namun hati yang keras, tiada harapan kecuali bahwa hati seperti ini hanya akan bisa bermanfaat di hari Akhirat nanti karena dijadikan bagian dari kayu bakar api Neraka (al Baqarah: 24). Dari kenyataan inilah, al Qur'an seringkali menantang hati-hati yang keras ini. "Tidakkah sudah masanya bagi orang-orang yang beriman untuk hatinya takut terhadap Allah dan terhadap apa yang diturunkan dari kebenaran?" (Al Hadid: 16). "Apakah mereka tidak mentadabburi al Qur'an, ataukah pada hati-hati mereka terdapat penghalang?" (An Nisaa: 82).

Dari kenyataan-kenyataan di atas jelas, bahwa jauhnya buah-buah keimanan berupa amal-amal kebaikan dalam kehidupan kaum Muslimin tak lain disebabkan oleh ketumpulan jiwa. Jiwa tumpul nan gersang, hanya melahirkan buah-buah pahit yang meracuni kehidupan. Untuk itu, perilaku moral, karakter dan tindak tanduk umat ini yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran sesungguhnya adalah indikator langsung dari kebekuan jiwa yang tidak tersinari oleh "nur hidayah" Ilahi. Jika saja korupsi merajalela di kalangan pemimpin Muslim, suap menyuap menjadi sesuatu yang lumrah, tipu menipu, memakan riba, pelacuran merebab di mana disusul oleh aborsi yang mengumum, pamakaian narkotika dan obat-obat terlarang lainnya,..semua ini merupakan hasil dari hati-hati yang rusak. Dan pada titik ini pulah al Qur'an sebagai sebuah kekuatan datang untuk merubahnya. Merubah hati-hati yang bergelimang dengan kegelapan menuju kepada hati-hati yang dipenuhi cahaya Ilahi.

2. Perubahan Cara Pandang (Taghyiir 'aqliyah tsaqafiyah)

Kekeliruan dalam melihat kehidupan ini menjadikan banyak orang yang keliru dalam mengarungi kehidupan itu sendiri. Berbagai penderitaan yang menimpa umat manusia, disadarinya atau tidak, adalah akibat langsung dari kesalahan dalam menjalani kehidupan yang merupakan buah langsung dari persepsi yang salah terhadap kehidupan itu sendiri.

Ada tiga cara pandang manusia dalam melihat kehidupan ini:

  • Cara Pandang Materialistik
  • Cara Pandang Spiritualistik
  • Cara Pandang Islami

Cara pandang pertama adalah cara pandang yang menumpukan segala sesuatu pada materi duniawi. Kesuksesan, kemajuan, ketentraman, dan bahkan angan-angan kebahagiaan, semuanya didasarkan pada pijakan materi. Seseorang dianggap sukses jika telah mendapatkan keberuntungan materia duniawi yang tak terbatas, tanpa melihat lagi apakah materi itu diperoleh dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT atau tidak. Seorang ayah atau ibu merasa berhasil mendidik anaknya, jika anak tersebut berhasil meraih gelar pendidikan tertinggi dari sebuah universitas yang terkenal, walau sang anak tak lagi sadar atau faham akan agama yang dianutnya. Dalam sebuah rumah tangga, yang diperhatikan adalah perabot rumah yang mahal, mewah namun jauh dari ruh hidayah yang mendatangkan rahmat Allah SWT. Demikian seterusnya, benda atau materi duniawi menjadi ukuran dalam segala hal.

Ada tiga indikasi utama dari seseorang yang memiliki cara pandang materialistik atau duniawi ini:

  • Selalu lalai akan tibanya masa akhir hidupnya

Allah menegaskan: "Mereka tahu hal-hal lahiriyah dari kehidupan dunia ini. Namun mereka lalai dari kehidupan akhirat" (Ar Rum: 3). Allah juga menegaskan: "Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia menyangka kalau hartanya itu akan mengekalkannya" (Al Lumazah). Bahkan Allah secara gamblang mengingatkan, betapa banyak manusia yang dilalaikan oleh perlombaan mencari harta yang lebih banyak, hingga masa di mana mereka sadar di alam kuburnya masing-masing (At Takaatsur). Fakta inilah yang menjadikan dunia itu seringkali dinamai "Laahii" atau sesuatu yang mejadikan orang lupa. Dalam S. Al Jumu'ah Allah menegaskan hal ini.

  • Terjadi kedzaliman-kedzaliman dalam hidupnya

Kedzaliman atau ketidak adilan yang terjadi dalam hidup manusia, diakibatkan oleh persepsi materialistik yang dimilikinya. Kedzaliman tertinggi tentunya adalah kedzaliman yang dilakukan terhadap hak-hak Pencipta kita sendiri. Kalaulah sesat kita berfikir, merefleksikan kebesaran dan keagungan ni'mat yang Allah karuniakan, lalu kita bandingkan apa-apa yang telah kita persembahkan untuk mendapatkan ridhaNya, alangkah naifnya kita. Sehingga, wajar saja kalau untuk masuk syurgaNya Allah di Hari Akhir nanti, hanya bisa dengan karunia rahmat Allah dan bukan karena hasil kerja-kerja yang kita lakukan. Sebab logikanya, kalaupun kita telah berhasil melakukan secuil kebajikan, bukankah itu juga karena "kerunia" hidayah dan daya yang Allah berikan? Lalu di mana letak logikanya jika kita harus merasa "bisa" melakukannya sendiri?

Kezaliman pada diri sendiri adalah akibat cara pandang materialistik semata. Bahwa manusia menjadi manusia karena dua sisi hidupnya yang tidak terpisahkan; materi dan ruh. Tapi karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan materi (hajah jasadiyah), kita mengabaikan hajat mendasar yang lain berupa hajat ruhiyah (spiritual need). Akibatnya, manusia hidup gersang, kering bathin, walau di tengah-tengah tumpukan materi. Manusia mati secara spirit, walau sehat sehat secara jasad. Maka terjadilah kuburan-kuburan yang berjalan. Mungkin dunia saat ini adalah dunia yang paling merana karena kezaliman manusia pada dirinya sendiri.

Kezaliman pada keluarga, khususnya anak-anak juga karena akibat cara pandang materialistik ini. Betapa banyak orang tua, atas nama masa depan anak, ternyata hakikatnya membawa bencana besar bagi sang anak itu sendiri. Pendidikan anak dalam dunianya memang sukses, mencapai tingkat Ph.D, menjadi seorang lawyer yang terkenal, ahli ekonomi, politisi, dst. Tapi sadarkah seorang tua, jika semua itu telah dicapai lalu sang anak tidak sama sekali sadar akan agamanya lagi? Apalah makna Ph.d atau sederetan gelar yang lain, jika ternyata pada akhirnya sang anak hanya akan masuk ke dalam neraka? Mereka ke neraka karena siapa? Kalau ternyata karena kelalaian orang tua, walau atas nama masa depan anak, maka orang tua seperti ini adalah orang tua yang zalim, yang di Hari Akhirat nanti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.

Demikian pula kezaliman-kezaliman yang terjadi di antara sesama makhluk Allah SWT. Kezaliman telah merajalela dalam kehidupan manusia, akibat cara pandang yang materilisitk ini. Zalim pada keluarga dalam hubungan silaturrahim, pada guru (ahli ilmu), pada tetangga, pada sesama Muslim, sesama manusia, dan bahkan kepada makhluk-makhluk yang lain. Kezaliman kepada alam sekitar, termasuk lingkungan hidup adalah akibat cara pandang materialisitk, termasuk penebangan hutan secara liar misalnya. Akibatnya, kejahilan ini kembali kepada umat manusia itu sendiri (lihat Ar Rum: 41).

  • Terjadinya pengingkaran (kekufuran)

Logikanya, dunia ini tak akan pernah mendatangkan kebahagian final. Manusia yang memburu kepuasan dengan dunai semata, justeru akan semakin tidak puas. Barangkali gambaran sederhana yang diberikan adalah "ibarat seorang haus yang meminum air laut, semakin diminum akan semakin mendatangkan rasa haus". Untuk itulah, justeru manusia yang memiliki cara pandang duniawi ini, semakin memburunya justeru semakin tidak puas, dan pada akhirnya tidak akan pernah merasakan keni'matan Allah SWT. Akibatnya, mereka justeru cenderung mengingkari kebesaran Allah atas mereka. Allah menegaskan hal ini:

"Sesunggunya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Dan sesungguhnya manusia irtu menyaksikan (pengingkarannya). Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta" (al 'Aadiyat: 6-8).

Akibat ketidak mampuan mensyukuri, terjadilah penyelewengan-penyelewengan pamakaian ni'mat Allah. Sebab mensyukuri ni'mat berarti, salah satu indikasi terpenting, adalah memakai harta itu di jalan yang diridhai oleh Pemberinya (al Mu'thii). Sebaliknya, jika ternyata mereka yang dianugerahi harta memakainya untuk kepentingan yang justeru mendatangkan "murka" Allah, menandakan bahwa yang bersagkutan tidak sama sekali bisa mampu bersyukur atas karunia ni'mat yang didapatkannya.

Itulah tiga akibat besar yang ditimbulkan oleh cara pandang manusia yang materialistik terhadap kehidupan dunia ini. Al Qr'an datang sebagai kekuatan pengrubah, yang harus mampu merubah cara pandang mereka yang mengimaninya. Untuk itu, keimanan kepada Al Qur'an tidak mungkin bisa bersatu dengan cara pandang materialisitk duniawi. Sebab cara pandang seperti ini adalah sesuatu yang diantipati oleh kandungannya.

Cara pandang kedua adalah yang menilai bahwa kehidupan dunia ini hanyalah "ilusi" (bukan realita), dan bahkan dinilai menjadi penghalang bagi seseorang dan Tuhannya. Untuk itu, untuk memperoleh ridha Allah, seseorang harus menghindarkan diri dari kehidupan ini dan mengkonsentrasikan diri "semata" dalam kehidupan spiritualnya. Bagi seorang Muslim yang berfikiran seperti ini, akan mengurung diri sepanjang siang dan malam dirinya dalam rumah-rumah ibadah, melakukan dzikir dan tasbih, serta bermunajat semoga diberikan kebahagiaan dunia akhirat.

Cara pandang seperti ini juga adalah cara pandang yang keliru dari sudut pandang Islam. Sebab dalam agama ini tidak ada "rahbanisme" (celibacy). Rasulullah bahkan memarahi tiga sahabat yang seolah tidak ingin lagi melibatkan diri dalam kehidupan dunia ini. Umar memarahi seorang pemuda yang berdoa sepanjang hari dalam masjid meminta rezki namun tidak pergi ke pasar untuk mencari rezki yang telah dimintanya itu. Bahkan pada saat perang Tabuk yang terjadi di musim panas, seorang sahabat tetap melakukan ibadah puasa, Rasulullah menegurnya dengan mengatakan "Laa khaera di haadza" (tiada kebaikan dengan cara seperti ini).

Dengan fakta-fakta yang banyak dalam Al Qur'an, semuanya menjelaskan secara gamblang bahwa kehidupan dunia adalah bagian integral dari ajaran Islam, dan mengingkarinya adalah juga mengingkari sebagain dari ajaran agama ini. Bahkan jelas dalam agama ini, menjalani kehidupan dunia ini adalah juga merupakan ibadah yang tidak kurang nilainya dari ibadah-ibadah (ritual) sekalipun.

Cara pandang yang ketiga adalah kombinasi kedua cara pandang di atas dan adalah merupakan cita-cita agung al Qur'an. Itulah cara pandang Islami, yang mendatangkan keridhaan Allah SWT. Dalam banyak ayat al Qur'an, Allah mengingatkan: "Carilah kehidupan akhiratmu, tapi jangan lupa pula kehidupan duniamu". Bahkan Allah menjelaskan: "Jika shalat Jum'at dikumandangkan, maka berusaha keraslah untuk datang kepada dzkrullah (shalat) dan tinggalkan seluruh hal yang menyibukkan (business). Hal itu lebih baik bagimu jika kamu tahu". Namun Allah meneruskan perintah ini dengan firmanNya: "Dan jika shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah di atas bumi dan carilah rezki Allah dan ingat Allah sebanyaknya, semoga kamu beruntung" (Al Jumu'ah).

Cara pandang Islami adalah yang menilai kedua perintah di atas sama-sama memiliki status hukum yang sama. Yaitu kewajiban yang harus ditunaikan. Seorang Muslim wajib memenuhi ajakan shalat, namun pada saat shalat telah ditunaikan, dia merasakan kewajiban yang lain berupa bertebaran di atas permukaan bumi mencari rezki Allah SWT. Muslim tidak dikehendaki diskriminatif terhadap kedua perintah ini. Hendaknya tidak dilihat bahwa perintah menunaikan shalat adalah kewajiban yang nilainya 100%, sementara mencari rezki hanya 50%. Tidak ada kewajiban 100% sementara yang lain 50% atau kurang. Semua kwajiban adalah 100%. Untuk itu, membangun dunia ini, dalam rangka akhirah kita adalah kewajiban yang juga nilainya 100%.

Al Qur'an sebagai sebuah kekuatan "mughayyir" (changing power) harus merubah cara pandang kita terhadap "track" yang benar ini. Umat kita telah lama terbelakang, hampir dalam segala aspek kehidupan. Dan saya kira masanya kita memburu keterbelakangan ini, tapi harus menjadi umat yang materislistik. Kita maju dengan cara pandang dan orientsi hidup kita sendiri. Kita tidak perlu mengharuskan diri bercermin kepada "Timur atau Barat" dalam upaya mendapatkan kemajuan kita. Karena sesungguhnya kemajuan umat ini terletak dalam ajarannya sendiri. Dan inilah Al Qur'an, kekuatan yang datang untuk membawa umat ini kepada kemajuan yang hakiki.

3. Perubahan Peradaban (Taghyiir Hadhary)

Ajaran Al Qur'an adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan tanpa dinaungi oleh sinar wahyu Ilahi adalah kehidupan hampa tanpa makna. Untuk itu Allah memanggil umat ini untuk meraih kembali kehidupannnya lewat ajaran al Qur'an:

"Wahai orang yang beriman, penuhilah ajakan Allah dan rasulNya jika kamu diajak kepada kehidupanmu" (Al Anfal:24)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa kehidupan yang dimaksud di sini adalah Al Qur'an atau Al Islam itu sendiri. Artinya, kehidupan yang membawa berkah, bermakna, maju, tidak semrawut, berdisiplin, bercahaya, dan bahagia itu adalah kehidupan yang mengikut kepada petunjuk Al Qur'an (al Islam). Maka di saat kita berbicara tentang peradaban, kita sebenarnya berbicara tentang kehidupan manusia itu sendiri. Peradaban adalah kehidupan manusia secara menyeluruh, dalam segala aspeknya. Dan Al Qur'an pun datang untuk memberikan petunjuknya dalam upaya membangun peradaban yang bermutu ini.

Dalam menyikapi peradaban ini, umat Islam terkadang hanya bisa bangga dengan masa lalunya. Kita bangga dengan kajayaan Islam hingga ke Eropa ketika itu, dan akhirnya kita hanya mengakui "turats" yang sekarang jusetru dimiliki orang lain. Sementara yang lain sibuk mendialogkan apa yang dinamakan "dialog antar peradaban", namun peradaban tidak akan tercipta dalam sebuah ruangan ber AC.

Manusia muslim menjadi manusia yang beradab, karena dalam kehidupan individunya mempraktekkan moralitas. Keimanan kepada Allah, tidak melanggar hak-hak sesama, menjaga keharmonisan rumah tangga, dst. Tapi sayang, peradaban kita masih terbatas kepada peradaban individuil, kalaupun ada, dan belum menyentuh kehidupan manusia yang lebih luas. Akibatnya, terkadang ketika peradaban kita rasakan dipaksakan dalam kehidupan kita, seperti dunai senia (film, dll.) kita hanya bisa reaktif, tapi belum mampu memberikan pengganti atau alternatif.

Inilah barangkali yang harus dirubah oleh kekuatan pengrubah (changing power), Al Qur'an. Al Qur'an sebagai kekuatan harus diterima sebagai petunjuk sempurna, yang mampu melakukan perumbakan total kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Al Qur'an memberikan alternatif sisitm hidup yang syamil-kamil-mutakamil, yang diterapkan secara logis dan praktis, serta menempuh jalur menusiawi yang diterima secara konsensus. Artinya, kalaulah ajaran Islam ini diterapkan secara benar, maka ia akan dilihat oleh umat manusia sebagai ajaran penyelamat dari penderitaan panjang yang telah diderita oleh manusia sejak berabad-abad. Sayang, sekali lagi, umat ini sendiri yang ragu terhadap ajarannya, dan kalaupun meyakininya mereka mempraktekkannya secara keliru dan terkadang dikotori dengan kecenderung-kecenderung hawa nafsunya sendiri. Maka terjadilah perjuangan atas nama Islam, tapi sesungguhnya diperuntukan untuk kepentingan-kepentingan sesaat.

Kedamaian Hingga Fajar

Menyambut Laelatul Qadr dengan pengertian seperti inilah yang kemudian membawa kehiduoan "rabbany", yaitu suatu kehidupan yang senantiasa menjaga nilai-nilai kesuciannya bersama Ilahi. Kehidupan yang di dalamnya tidak merajalela kemungkaran, dan bahkan terkadang menjadi bagian dari kehidupan yang dianggap normal (kasus lokalisasi pelacuran dan perjudian). Penggambaran kehidupan seperti ini yang disebutkan dalam ayat: "Turunlah para malaikat pada malam itu dan juga Ruh (jiblril) dengan izin Tuhanya dengan segala urusan". Suatu kehidupan yang jauh dari cahaya Ilahi tidak mungkin akan diasosiasikan dengan malaikat karena malaikat adalah simbiol kesucian, makhluk yang tidak pernah bersentuhan dengan dosa-dosa. Gambaran ini diperkuat dengan ayat Allah: "Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, sungguh Kami akan bukakan bagi mereka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami adzab mereka atas upaya mereka sendiri" (al A'raaf: 96).

Kehidupan yang penuh berkah inilah, yang di dalamnya dipenuhi ketaatan, ketakwaan, kesadaran ilahiyah, kehidupan Rabbany, akan membawa kedamaian sejati. "Salaam" (kedamaian, ketentraman, kesejukan) hidup akan dirasakan oleh semua pihak "hingga terbitnya fajar" di pagi hari. Fajar kematian, menemui ajal dengan tenang pada tataran individu, dan mengakhiri peradaban manusia dengan datangnya Kiamat pada tataran kehidupan sosial. Dan ketenangan seseorang dalam menghadapi maut, serta ketentraman peradaban hingga datangnya Kiamat hanya bisa diraih dengan kesuksesan kita meraih "Buah" Laelatul Qadr; Al Qur'an al Kariim.

Allahumma ar hamnaa bil Quraan, waj'alhu lanaa imaaman wa nuuran wa hudaan warahma. Allkahumma 'allimnaa minhu maa jahilna wadzakkirnaa minhu maa nasiina. War zuqnaa tilaawatahu 'anaal lael wa athraafan nahaar. Waj'alhu lanaa hujjatan ya Rabbal'aalamiin. Amin ya Rabbal 'aalamiin!!

*(catatan-catatan ceramah Laelatul Qadr dan nuzul al Qur'an).

New York, 4 Desember 2002