Cari Makalah & Artikel
Google

Sunday, December 20, 2009

Di Antara Reruntuhan Pilar Mahkamah Agung

Tidak sulit bagi kita untuk setuju bahwa sejarah Mahkamah Agung Indonesia adalah sejarah tentang sebuah pilar kekuasaan-kekuasaan Yudikatif yang tidak berdaya dan tenggelam di bawah kedigdayaan kekuasaan Eksekutif. Lebih jauh lagi, MA juga seakan tidak mendapat peran penting sebagai agen perubahan dalam sejarah Indonesia modern. Dibandingkan dengan partai politik, militer, ataupun gerakan mahasiswa, peran MA dalam arus perubahan sejarah nyaris tidak terdengar.

Mengingat peran MA yang marjinal, maka tidak mengherankan apabila kajian studi tentang institusi peradilan pada umumnya dan MA pada khususnya kurang menarik minat para sarjana. Dibandingkan dengan studi tentang kepresidenan, parlemen, ataupun militer, studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang sangat sedikit. Oleh karena itu, kehadiran buku karya Sebastiaan Pompe, mantan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, seakan menjadi air segar di tengah keringnya studi tentang institusi peradilan di Indonesia.

The Indonesian Supreme Court awalnya adalah disertasi Pompe di Universitas Leiden pada tahun 1996, dan diterbitkan oleh Cornell University Press pada musim semi tahun 2005. Berangkat dari sebuah penelitian yang panjang, pokok bahasan buku ini adalah mengenai sejarah dan perkembangan MA sejak awal kemerdekaan sampai akhir tahun 1990-an. Panjangnya cakupan studi dalam buku ini menimbulkan sejumlah problematika bagi penulis; masalah pertama yang muncul adalah tidak mudah bagi penulis untuk merangkai fakta-fakta hukum, sejarah, politik, dan sosial tentang MA dalam kurun waktu 50 tahun ke dalam sebuah buku.

Pada akhirnya dalam buku ini Pompe memilih untuk lebih banyak memberi tekanan pada fakta sosial politik dan historis, sementara porsi fakta hukum tidak banyak mendapat tempat. Titik berat pada fakta socio-political-history memang membuat buku ini menarik dibaca, tapi kurangnya fakta hukum justru membuat beberapa bagian dari analisis Pompe menjadi kurang kuat. Semisal Pompe berargumentasi bahwa salah satu faktor penyebab inkonsistensi putusan MA adalah lemahnya pemahaman hakim akan teori, praktik, dan doktrin hukum (bab 10). Sayangnya, pendapat ini tidak didukung oleh banyak fakta tentang kasus-kasus hukum yang telah diputus MA. Menghimpun dan menganalisis putusan-putusan MA dalam kurun waktu 50 tahun tentu merupakan pekerjaan yang tidak mudah, tapi paling tidak buku ini bisa menghadirkan lebih banyak fakta teknis hukum tentang memudarnya pemahaman akan teori, praktik, dan doktrin hukum di tubuh MA.

Di sisi lain, panjangnya cakupan studi juga menimbulkan kesulitan bagi Pompe untuk menentukan metode analisis atas data yang telah ia himpun. Dalam buku ini, Pompe menggunakan dua metode penjelasan, yaitu peran institusi politik dan pengaruhnya terhadap MA (the political institution-centered explanation) dan pengaruh peran hakim terhadap MA (the judge centered-explanation). Dengan the political institution centered explanation, Pompe menjelaskan bahwa ada dua aspek institusi politik yang memengaruhi MA. Aspek pertama adalah pengaruh institusi politik di luar MA, terutama presiden, terhadap status dan kekuasaan MA. Di dalam bukunya, Pompe menghabiskan tiga bab (bab 2, 3, dan 4) untuk menjelaskan dengan detail bagaimana kekuasaan Eksekutif sejak zaman Presiden Soekarno melakukan kooptasi terhadap kekuasaan MA dan proses kooptasi itu terus berlanjut sampai pada zaman Orde Baru.

Aspek kedua dari penjelasan Pompe menunjuk pada posisi institusional MA sendiri dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Dalam bab 5, Pompe menjelaskan bahwa sejak awal MA tidak memiliki posisi yang jelas sebagai badan peradilan tertinggi dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen). Berangkat dari posisi yang tidak jelas ini, maka diperlukan waktu yang lama untuk menyatukan semua institusi peradilan di bawah MA. Proses unifikasi yang baru tercapai pada masa Orde Baru justru menjadi bencana bagi MA sendiri karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan investasi terhadap sumber daya manusia, keuangan, infrastruktur, organisasi, dan manajemen peradilan.

Dari isu unifikasi ini bisa ditarik kesimpulan bahwa fenomena MA terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan satu atau dua metode penjelasan saja. Pompe pun harus merujuk pada metode penjelasan lain, yaitu pengaruh desain konstitusi terhadap MA (the constitution-centered explanation). Di awal bukunya, Pompe juga membahas konteks sejarah penyusunan UUD 1945 yang tidak memberikan kekuasaan judicial review kepada MA. Pompe menyebutkan tentang asumsi bahwa sejarah peradilan di Indonesia akan berbeda apabila MA dibekali dengan kekuasaan judicial review (hal 16). Dengan kata lain, Pompe tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa desain konstitusi sangat berpengaruh pada MA. Sayangnya, Pompe memilih berhenti di titik ini saja dan tidak melanjutkan penjelasan tentang pengaruh desain konstitusi terhadap MA. Pompe tentu mempunyai alasan sendiri untuk tidak menggunakan the constitution centered explanation, tetapi pilihan ini justru membuat karya Pompe terasa kurang tuntas.

Desain konstitusi MA

Dari perspektif hukum perbandingan (comparative law), kita bisa melihat bahwa desain konstitusi sangat berpengaruh terhadap kinerja institusi peradilan di negara lain. Mungkin banyak yang lupa bahwa Konstitusi Amerika Serikat tidak secara eksplisit memberikan kekuasaan judicial review kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat (MA AS) dan sejarah menunjukkan, MA AS tidak pernah membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh Kongres sampai tahun 1856. MA AS sendiri baru mulai memainkan peran yang signifikan setelah Amandemen Keempat Belas (Fourteenth Amandment) diadopsi ke dalam Konstitusi. Fenomena yang sama terjadi di daratan Eropa, Konstitusi Perancis 1958 memberikan kekuasaan yang besar kepada Eksekutif dan desain ini membuat Mahkamah Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionel) hanya berperan sebagai stempel bagi eksekutif. Conseil Constitutionel baru memiliki peran yang lebih besar setelah yurisdiksi mereka diperluas dengan amandemen Konstitusi pada tahun 1974.

Berdasarkan pengalaman di negara lain tersebut, tentu akan lebih menarik apabila pengaruh desain konstitusi terhadap MA mendapat pembahasan lebih banyak dalam buku Pompe. Terlebih lagi belum ada karya yang mengupas isu ini secara mendalam; sejumlah karya klasik seperti Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Nasution, 1995), In Search of Human Rights (Lubis, 1993), dan Pandangan Negara Integralistik (Simandjuntak, 1994) memang telah membahas kerangka ideologis UUD 1945, tetapi karya-karya tersebut tidak menyentuh pengaruh desain UUD 1945 terhadap kinerja MA.

Pompe menghabiskan dua bab untuk menjelaskan fungsi badan peradilan pada umumnya dan MA pada khususnya (bab 6 dan 7). Salah satu kesimpulan Pompe adalah putusan-putusan MA telah kehilangan fungsinya sebagai instrumen pembentukan hukum (lawmaking instruments). Dalam kedua bab ini, khususnya bab 7, Pompe menjelaskan dengan rinci kegagalan MA menjamin badan peradilan yang lebih rendah untuk mengikuti putusan-putusan MA. Untuk menutupi kegagalan tersebut MA berpaling pada instrumen yang lain seperti surat edaran, peraturan, ataupun petunjuk pengawasan. Kesimpulan Pompe tentu akan lebih kuat apabila didukung dengan penjelasan tentang pengaruh desain konstitusi karena fungsi MA sebagai instrumen pembentukan hukum mempunyai keterkaitan erat dengan mandat konstitusional yang diemban MA.

Metode penjelasan kedua yang dipakai Pompe adalah peran hakim secara individu terhadap kinerja MA (the judge centered explanation). Dalam menganalisis perubahan struktur MA dari organisasi yang sederhana menjadi organisasi yang birokratis dan hierarkis, Pompe menekankan pada faktor peran ketua Mahkamah Agung. Pompe membeberkan fakta bahwa tanda-tanda perubahan dimulai ketika Ketua MA Wirjono Projodikoro (1952-1966) sering mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan Hakim Agung yang lain. Perubahan drastis mulai terjadi ketika Ketua MA Oemar Seno Adji (1974-1981) memutuskan untuk menambah jumlah Hakim Agung dari 7 menjadi 17 pada tahun 1974. Puncak perubahan terjadi ketika Ketua MA Mudjono (1981-1982) menambah jumlah hakim menjadi 51 pada tahun 1982, dan diikuti dengan penambahan jabatan bagi Ketua Muda MA yang menyebabkan struktur MA semakin menjadi birokratis dan hierarkis (hal 289-296).

Metode penjelasan peran hakim sangat mendukung analisis Pompe sebelumnya tentang intervensi politik dari Eksekutif. Struktur MA yang hierarkis akan semakin memudahkan Eksekutif untuk melakukan intervensi. Ketika Ketua MA sudah terkooptasi oleh Eksekutif, maka akan lebih gampang untuk mengontrol MA secara keseluruhan. Akan tetapi, judge centered explanation masih meninggalkan sedikit celah dalam penjelasannya tentang MA; jikalau MA diisi oleh para hakim yang berkualitas dan berintegritas tinggi bisa apakah ada jaminan bahwa MA akan memainkan peran sebagai instrumen pembentukan hukum. Semisal dalam periode Demokrasi Liberal (1950-1957) ketika kekuasaan Presiden Soekarno belum absolut dan MA masih diisi oleh para Hakim Agung yang berintegritas tinggi, MA juga tidak bisa memainkan peran yang besar.

Peran organ pendukung

Di samping faktor intervensi politik, mandat konstitusional dan kapasitas hakim, masih ada faktor lain yang juga menentukan kinerja MA, yaitu peran organisasi pendukung. Meskipun MA diisi oleh para hakim yang berintegritas tinggi dan memiliki pemahaman teori hukum yang mendalam, peran MA akan tetap terbatas apabila tidak mendapat dukungan dari pihak-pihak yang mengajukan perkara di pengadilan. Dengan kata lain, para pengacara, LSM, dan masyarakat juga mempunyai pengaruh terhadap kinerja MA. Pada titik ini Pompe semestinya bisa masuk pada penjelasan tentang peran organisasi pendukung terhadap kinerja MA (the support structure centered explanation).

Charles R Epp (1998) dalam The Rights Revolution: Lawyer, Activists, and Supreme Courts in Comparative Perspective, misalnya, memaparkan dalam sejarah peradilan di Amerika Serikat, peran MA AS dalam pembentukan hukum sangat tergantung dari sejumlah aktor pendukung. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar pada akhir abad ke-19 secara tidak langsung telah memengaruhi jumlah kinerja MA AS karena perusahaan-perusahaan tersebut rela menghabiskan dana dan tenaga untuk proses hukum menggugat kebijakan ekonomi pemerintah. Dari kasus-kasus tersebut, MA AS akhirnya memegang peranan penting dalam menentukan keabsahan kebijakan ekonomi Pemerintah. Di sisi lain, derasnya arus litigasi yang dibawa oleh kalangan bisnis juga didukung oleh peningkatan jumlah pengacara di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pengacara, maka MA AS juga mendapatkan banyak fakta hukum yang bisa membantu mereka dalam mengeluarkan putusan yang lebih berkualitas.

Dalam konteks Indonesia, Daniel S Lev, Guru Besar di University of Washington, yang merupakan salah seorang mentor Sebastiaan Pompe, dalam salah satu kajiannya yang berjudul Comments on the Course of Law Reform in Modern Indonesia (2000) berpendapat bahwa pada akhir kekuasaan Orde Baru, masyarakat Indonesia telah memiliki kelas menengah yang bisa menjadi motor reformasi hukum. Kaum kelas menengah yang dimaksud Lev adalah para pengusaha, pengacara, dan akuntan yang lahir dan besar pada era Orde Baru. Pendapat ini bisa memancing pertanyaan lebih lanjut, mengapa kelas menengah Indonesia tidak berhasil menjadi organ pendukung bagi MA. Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa kita temukan secara eksplisit dalam buku ini karena Pompe tidak menjadikan organ pendukung sebagai salah satu fokus studinya. Isu organ pendukung tentu berada di luar kerangka penelitian Pompe, tetapi isu ini menarik dan penting untuk dibahas karena bisa semakin memperkaya analisis Pompe.

Jembatan studi peradilan

Meskipun banyak hal tentang MA yang tidak bisa dikupas tuntas oleh Pompe, bukan berarti buku ini tidak pantas mendapat acungan dua jempol. Riset panjang dan mendalam yang dilakukan Pompe menjadikan buku ini sebagai jembatan bagi segelintir studi tentang peradilan di Indonesia. Pertama, buku ini melengkapi kajian tentang peradilan yang dilakukan oleh para sarjana generasi 1970-an, seperti Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia sejak 1942 yang ditulis Sudikno Mertokusumo, Guru Besar Fakultas Hukum UGM (Yogyakarta: Liberty, 1970) atau kumpulan esai Daniel S Lev, Guru Besar di University of Washington, tentang peradilan dan institusi politik yang dihimpun dalam Hukum dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1990). Kedua, buku ini juga melengkapi studi tentang peradilan dengan fokus yang lebih sempit oleh sejumlah sarjana generasi muda, seperti Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study yang ditulis murid Pompe di Universitas Leiden, Adriaan Bedner (The Haque: Kluwer, 2001), atau Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto yang ditulis aktivis cum akademisi, Andi Muhammad Asrun (Jakarta: ELSAM, 2004).

Sebagai dokumen sejarah, buku ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Membaca buku ini kita akan menemukan banyak sekali fakta-fakta sejarah tentang MA. Tahukah kita bahwa pada tahun 1951 Ketua MA Kusumah Atmadja (1945-1952) berani mengancam Presiden Soekarno untuk meninggalkan jamuan resmi kenegaraan karena dia tidak diberi tempat duduk di samping Presiden (hal 43). Pernahkah kita mendengar bahwa hakim-hakim pun pernah melakukan pemogokan untuk menuntut kenaikan gaji pada tahun 1956 (hal 50). Bagi kaum pejuang hak perempuan, buku ini menarik karena menghadirkan fakta bahwa Indonesia sudah memiliki Hakim Agung perempuan sejak tahun 1968, jauh sebelum Amerika Serikat mempunyai Hakim Agung wanita pertama pada tahun 1981 (hal 398). Buku ini juga menghadirkan data yang lengkap tentang latar belakang sosial, pendidikan, dan hubungan kekerabatan di antara para Hakim Agung pada periode 1950-1994 (hal 389-404).

Isu intervensi politik dan korupsi dalam tubuh MA mungkin sudah menjadi aksioma bagi para akademisi dan aktivis LSM dalam menganalisis MA. Dalam buku ini Pompe tidak hanya membahas kedua hal tersebut, tapi juga menghadirkan fakta lain tentang MA yang mungkin luput dari perhatian para pakar ataupun aktivis LSM. Semisal Pompe membahas tentang lemahnya sistem informasi hukum (bab 10) di mana 99 persen dari putusan pengadilan tidak terdokumentasi dan masyarakat luas tidak bisa mendapatkan informasi tentang putusan pengadilan, baik untuk kepentingan pencari keadilan, akademik, ataupun kontrol terhadap badan peradilan itu sendiri. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi hukum juga tidak luput dari kritik karena para mahasiswa jarang diajar melakukan analisis kasus dan sebagai akibatnya sedikit penerbit yang mau menerbitkan buku tentang kumpulan putusan pengadilan (hal 456).

Di samping bagus untuk dipajang di rak perpustakaan pribadi karena tampilannya yang luks, karya Pompe sepantasnya menjadi bacaan wajib bagi semua yang peduli akan perbaikan institusi peradilan di Indonesia, terlebih bagi generasi pasca-Orde Baru dan pascareformasi. Membaca buku Pompe adalah jejak langkah bagi mereka yang bertekad untuk membuat sejarah baru bagi pilar kekuasaan Yudikatif di Indonesia karena dari sejarahlah kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.

Hendri Kuok, Mahasiswa Program Doktoral, University of Washington Law School, Seattle
Sumber: Kompas Cyber Media