Revitalisasi Hukum Adat untuk Menghentikan Penebangan Hutan secara 'Illegal' di Indonesia 1 Abdon Nababan2 Oktober 2002 HUTAN ADAT, jantung kehidupan masyarakat adat yang dihancurkan Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda. Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999). Dari jumlah tersebut, AMAN juga memperkirakan bahwa 30 sampai 50 juta di antaranya adalah masyarakat adat yang kehidupannya masih tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah adatnya. Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan hutannya maka pada umumnya telah mengembangkan konsep penguasaan/kepemilikan ( ) bersama (secara komunal) dan bersifat eksklusif atas suatu kawasan hutan adat. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat sebagai hak bersama maka komunitas-komunitas adat juga memiliki sistem pengetahuan, hukum adat dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi secara bersama dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar. Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010. PENEGAKAN HUKUM ADAT, benteng terakhir keberadaan hutan alam di Indonesia Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat. Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi basis pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat (Box 1). Box 1 - Perekat Ombara: Membangun Organisasi Masyarakat Adat dari Hutan Keramat Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) adalah sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada gundem (pertemuan) V tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah, kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara pada tanggal 6 Mei 2000, maka visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat, demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh masyarakat yang ada di Lombok Utara. Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Kearifan budaya lokal diapresiasikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya dalam bentuk seperangkat aturan-aturan yang disebut hukum adat, atau yang di Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparatif. Demokrasi ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu = tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama). Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda dan orde lama sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa. Dalam tubuh Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa. Uniknya, seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta (sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan - yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini. Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran camp HPH pada bulan April 1999. Keprihatinan ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000. Salah satu isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan, yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Keputusan lain yaitu perubahan nama-nama dan istilah-istilah pada sistem pemerintahana desa dengan menghapuskan nuansa orde baru dengan nama dan istilah yang akrab dan dikenal serta dipahami oleh orang desa. Misalnya : kepala desa (menjadi pemusungan), sekdes (juru tulis), kepala urusan (juru urus), kadus (keliang), keamanan desa (lang-lang), RT/RW (krama gubug) dan 3A (subak atau pekasih). Dinamika dan geliat dari Perekat Ombara ini melahirkan gagasan dan wacana baru tentang pembentukan kabupaten Lombok Utara. Selama ini wilayah Lombok bagian utara merupakan bagian dari kabupaten Lombok Barat, dengan ibukota di Mataram. Dengan adanya perubahan situasi dan kondisi politik, dimungkinkan pemekaran kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten induknya. Wacana ini sekarang sedang marak berkembang di Perekat Ombara dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain yang ada di Lombok Utara. (Rizky R. Sigit. 2001. Telapak. Studi kasus dalam rangka Pengkajian Program Hibah Kecil Global Environmental Facility - GEF/SGP) Di Kalimantan Barat, misalnya, PPSHK (SHK Kalbar) dan EAF (Ethno-Agro Forest) menemukan masih banyak kampung orang Dayak yang masih memiliki dan mempertahankan keaslian hutan keramat. Keteguhan keyakinan masyarakat adat atas kekeramatan hutan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mengendalikan dan bahkan menghentikan kerusakan hutan sebagaimana dilakukan oleh komunitas adat di Kampung Pendaun, Kabupaten Ketapang. Masyarakat adat di kampung ini tidak hanya gigih mempertahankan hutan keramat dari kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan resmi, tetapi juga dari para penebang liar (Box 2). Box 2 - Masyarakat Kampung Pendaun: Menghentikan Penebangan Liar dengan Menegakkan Hukum Adat Kehutanan Dari zaman dulu sampai 20 tahun yang lalu, keadaan hutan di Kecamatan Simpakng Hulu masih utuh, keadaan sosial-budaya masih kuat, air sungai belum tercemar, masyarakat masih arif dalam megelola sumber daya hutan dan kebutuhan hidup sehari-hari kala itu masih mudah diperoleh. Tahun tujuh puluhan HPH mulai beroperasi di Kecamatan Simpakng Hulu, yang membuka jalan, yang mengakibatkan banyaknya orang luar masuk. Akibatnya hutan menjadi rusak, sungai mulai tercemar, hak-hak masyarakat adat dirampas, adat-budaya masyarakat lokal luntur. Tahun delapan puluhan mulai masuk banyak rombongan penebang kayu ilegal dari luar. Pada tahun 1997 PT Wahana Stagen Lestari (WSL), sebagai kontraktor PT Inhutani II, melanggar kawasan Tonah Colap Turun Pusaka (atau hutan lindung ala masyarakat adat yang luasnya 782 ha). Dari pelanggaran tersebut maka WSL di hukum secara adat oleh masyarakat Pendaun. Setelah di hukum adat WSL berhenti operasi di Tonah Colap. Ternyata dengan terhentinya operasi WSL penebangan hutan masih berlanjut. Dengan terbukanya jalan ke Tonah Colap Torun Pusaka, semakin banyak penebangan liar (illegal). Sekitar dua puluhan truk pengangkut kayu haram per hari beroperasi di Kampung Pendaun. Sadar ada kerusakan hutan, masyarakat adat mengadakan pertemuan-pertemuan serta lokakarya yang intinya untuk pengukuhan kembali terhadap Tonah Colap Torun Pusaka yang meliputi kegiatan seperti: (1) inventarisasi partisipatif, dan (2) perintisan kawasan Tonah Colap Torun Pusaka. Ini dua langkah langkah untuk mencapai cita-cita masyarakat selanjutnya untuk menghentikan seluruh kegiatan yang merusak hutan. Hasil dari seluruh kesempakatan pertemuan akhirnya di lakukanlah sumpah Tonah Colap Torun Pusaka, sekaligus mendirikan balai pabantatn (atau keramat) di Bukit Binakng. Setelah perintisan dan pendirian keramat, penebangan liar (ilegal) berhenti. Rombongan pekerja kayu liar (illegal) yang bekerja di sekitar kawasan Tonah Colap pun di hukum adat. Penghukuman terhadap perusahaan dan pembuatan Tanah Colap Torun Pusaka oleh masyarakat adat Pendaun maka mengundang reaksi positif masyarakat adat di daerah sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Satu tahun terakhir ini banyak kampung-kampung masyarakat adat di kawasan Simpakng Hulu di Kabupaten Ketapang mendirikan dan mengukuhkan kembali hutan keramat Tanah Colap Torun Pusaka sebagai basis spritual untuk penegakan hukum adat bagi para penebang liar, baik dari masyarakat adat sendiri maupun dari pihak-pihak luar. (Jakobus Akon, seorang warga masyarakat adat Kampung Pendaun, dipresentasikan pada Ministrial Conference on Forest Law Enforcement and Governance, FLEG, di Denpasar, Bali, 11-13 September 2001) PRANATA ADAT, kekuatan utama penjaga hutan Cuplikan cerita dari lapangan ini merupakan harapan di tengah-tengah semakin tingginya laju kerusakan dan perubahan fungsi hutan alam di Indonesia. Banyak di antara komunitas-komunitas masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya. Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian paling penting mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak tradisional. Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional mereka. Kedua, di samping untuk memtahankan hak, masyarakat adat juga menyadari posisinya sebagai penerima insentif yang paling besar jika hutan adatnya utuh dan terpelihara dengan baik. Sebagai penduduk yang sebagian besar kehidupannya tergantung dengan hutan adat, hutan adat yang lestari akan menjamin ketersediaan pangan, ramuan obat-obatan, air bersih, bahan bangunan dan kebutuhan primer lain bagi masyarakat adat. Bagi masyarakat adat yang kehidupannya sudah terintegrasi dengan ekonomi uang, hutan adat merupakan sumber berbagai jenis hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu, yang bernilai jual tinggi untuk mendapatkan uang membiayai kebutuhan-kebutuhannya seperti menyekolahkan anak-anaknya, membayar pajak, membeli alat transportasi yang lebih cepat, membeli televisi, dan kebutuhan lain yang tidak bisa diproduksi sendiri, . Di banyak komunitas masyarakat adat, hutan adat juga sangat penting dalam kehidupan budaya dan religi asli. Sebaliknya jika terjadi pengrusakan terhadap hutan adat, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar, maka masyarakat adat akan menjadi korban yang paling menderita. Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan asli yang arif dalam pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan atas sumberdaya hutan di wilayah adatnya. Sistem pengetahuan asli ini merupakan landasan bagi keberadaan cara-cara pengelolaan sumberdaya hutan dan hukum adat kehutanan yang khas dan berbeda satu sama lain di antara komunitas-komunitas adat. Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan jika terjadi perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan kerusakahan terhadap hutan adat. Sebagian dari hukum adat ini sudah melemah dan mengalami kekaburan sehingga perlu direvitalisasi dan diperkuat. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara masyarakat adat dengan ekosistem hutan di sekitarnya. Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat ini, mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan "illegal logging" yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi "clear cutting" legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak hutan dan menindas masyarakat adat seperti IHPHH. KAMPANYE ANTI-ILLEGAL LOGGING: ancaman atau peluang bagi masyarakat adat? Penebangan liar (illegal logging), sebagian pihak lebih suka menyebut dengan penebangan haram, telah menjadi issu lingkungan yang paling menonjol dalam 3 tahun terakhir ini. Berbagai pihak, terutama ORNOP lingkungan di tingkat nasional dan internasional dan instansi pemerintah tertentu yang terkait dengan konservasi dan pengendalian kerusakan lingkungan, secara terus menerus melakukan kampanye dan mencoba melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya mendorong penegakan hukum bagai penebang liar. Sampai sejauh ini berbagai upaya tersebut tidak efektif, atau bahkan bagi sebagian kalangan penggiat lingkungan dianggap gagal, untuk menghentikan ataupun hanya sekedar mengurangi laju penebangan liar ini. Bahkan, dengan kepentingan yang berbeda, para pengusaha kehutanan yang tergabung dalam APHI juga ikut berkampanye untuk penghentian penebangan liar. Bahkan dengan menggunakan issu maraknya penebangan liar, banyak pihak yang pro-sentralisasi mulai muncul dalam berbagai media dengan mengkambing-hitamkan otonomi daerah dan keterlibatan masyarakat setempat sebagai penyebabnya. Kalau kampanye yang seperti ini berlanjut maka proses desentralisasi pengurusan hutan bisa terancam, termasuk kemungkinan berkembangnya ketidak-percayaan publik terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat. Hal penting yang perlu dicacat dari perjalanan kampanye penghentian illegal logging di kawasan-kawasan konservasi yang diprakarsasi dan laksanakan oleh EIA-Telapak selama ini adalah sambutan yang demikian responsif dari masyarakat internasional dan negara-negara donor. Kampanye ini berhasil menciptakan iklim politik di tingkat internasional untuk menangani illegal logging dengan serius. Dimulai tahun 1999 dengan TN Tanjung Putting dan TN Leuser, kampanye ini berhasil menempatkan kayu ramin - jenis kayu yang banyak diincar oleh para penebang liar - masuk Appendix III CITES. Kampanye ini juga memainkan peran sentral mendorong adanya kesepakatan-kesepakatan multilateral seperti keluarnya Deklarasi Tingkat Menteri pada Forest Law and Governance Conference di Bali, September 2001, kemudian dilanjutkan oleh Komisi Eropa dengan Lokakarya tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade di Brussels, April 2002, yang hasilnya sedang diolah dan ditindak-lanjuti menjadi kebijakan baru yang berlaku untuk seluruh negara anggota Uni Eropa. Dengan kebijakan baru ini nantinya seluruh kayu yang masuk ke negara-negara anggota Uni Eropa harus disertai dengan sertifikat legalitas yang menyatakan bahwa kayu tersebut dihasilkan dengan penebangan hutan yang legal. Kegiatan yang sama juga sedang direncanakan untuk Amerika Serikat. Bahkan Inggris sudah melakukan tindakan lebih jauh dengan membangun kesepakatan bilateral dengan Indonesia bulan April 2002 yang baru lalu. Kemungkinan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang juga sudah menyatakan niatnya untuk mengikuti prakarsa bilateral Inggris-Indonesia ini. Biarpun tanggapan internasional sudah sedemikian cepat dan kuat, namun penegakan hukum untuk menghentikan, atau bahkan hanya untuk sekedar mengurangi, penebangan liar masih jauh dari harapan. Persoalan yang kritis muncul ketika kampanye penghentian "illegal logging" akhirnya bermuara pada legalitas kayu, dimana dasar penentuannya adalah ada tidaknya pelanggaran terhadap HUKUM NASIONAL di negara penghasil kayu. Di sinilah kampanye penghentian illegal logging bisa menjadi ancaman bagi masyarakat adat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang tidak menganut pluralisme hukum dan belum mengakui, menghargai dan melindungi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dengan menegakkan hukum adatnya (right to self-determination). Pertanyaannya kemudian: bagaimana kampanye dan upaya-upaya lainnya untuk menghentikan "illegal logging" ini menempatkan hukum adat? Hak-Hak Masyarakat Adat dan Posisi Hukum Adat dalam Negara-Bangsa Indonesia Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka yang harus dibedah lebih dulu adalah menyangkut posisi masyarakat adat dalam tatanan negara-bangsa Indonesia. Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya dan politik. Dengan semboyan ini para pendiri bangsa telah menempatkan masyarakat adat sebagai elemen dasar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya. Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 28I poin (3) pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindungi hak-hak adatnya. Dengan klausal ini maka konstitusi telah menggariskan bahwa penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada ditangan komunitas yang bersangkutan (self-identification and self-claiming), bukan ditentukan oleh pemerintah atau oleh para akademisi/ilmuwan/peneliti. Artinya kalau suatu komunitas masyarakat adat bisa menunjukkan identitas budayanya dan hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya (penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen menyebut hak ini sebagai hak asal asul) yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, maka negara harus hormatinya. TAP MPR No. IX/2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sebaliknya, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara hirarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan/pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada di wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak masyarakat adat dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan, sedangkan kepemilikan tetap berada di tangan negara. Dengan demikian maka TAP MPR No. IX/2002 memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk merubah UU No. 41/1999, sehingga UU ini dengan semua peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat atas hutan adat sudah tidak layak digunakan sebagai produk hukum untuk menetapkan LEGALITAS penebangan hutan. Dengan mengacu pada Amandemen Kedua UUD 1945 dan TAP MPR IX/2001 (adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan negara atas hukum dan lembaga adat) maka PENEBANGAN LIAR (ILLEGAL LOGGING) adalah penebangan hutan yang melanggar hukum adat dan hukum nasional. Dengan batasan ini maka yang disebut dengan penebang liar adalah: * Perusahaan-perusahaan resmi dan pihak-pihak lain yang memperoleh ijin penebangan dari pemerintah, seperti HPH, kontraktor penebangan hutan, IPK, IHPHH, dll. Kebanyakan wilayah penebangan yang ijinnya diberikan pemerintah tumpang-tindih dengan kawasan hutan adat sehingga menimbulkan banyaknya konflik hukum antara hukum adat yang digunakan masyarakat adat dengan UU Kehutanan yang mendasari pemberian HPHH/IPK/IHPHH, dll. Pada masa rejim Soeharto (sebelum tahun 1998), kebanyakan klaim hak atas tanah hutan adat oleh masyarakat adat ditanggapai oleh pemerintah dengan tindakan represif dan kadang-kadang dengan tindakan kekerasan dari militer dan polisi. Pada waktu itu, penegakan hukum adat terhadap perusahaan-perusahaan resmi dan pihak-pihak yang sudah mendapat ijin penebangan hutan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat adat. "Reformasi", yang mulai terasakan di pedalaman sejak tahun 1998, telah menciptakan ruang politik bagi masyarakat adat untuk menegakkan hukum adat dan merundingkan kembali tata batas hutan adatnya. Beberapa dari perusahaan yang dihukum adat akhirnya mengakui klaim masyarakat adat dan membayar denda adat. Tetapi, sebagian dari perusahaan justru menutup operasi penebangan hutan. * Perusahaan-perusahaan dan perorangan tidak memiliki ijin penebangan hutan tetapi mengendalikan penebangan dan perdagangan kayu. Operasi penebangan liar seperti ini hampir seluruhnya melibatkan pengusaha daerah yang disebut dengan "cukong". Mereka umumnya memiliki industri pengolahan kayu atau sawmill yang resmi (ada ijin), tetapi tidak memiliki ijin atas konsesi wilayah tebangan. Operasi penebangan seperti ini berpindah-pindah (mobile), terorganisir dengan baik dengan melibatkan organisasi preman dan mendapatkan dukungan kuat dari militer dan/atau polisi, pejabat pemerintah dan politisi di daerah operasi. Bagi masyarakat adat, penebangan dengan modus seperti ini sangat berbahaya untuk menegakkan hukum adat, khususnya jika di dalam bisnis ini terlibat para tokoh-tokoh adat, atau jika kebanyakan dari anggota komunitas terlibat. * Anggota-anggota komunitas adat, dalam beberapa kasus juga melibatkan tokoh-tokoh adat, juga terlibat dalam operasi penebangan liar. Mereka, karena desakan pasar dan difasilitasi oleh mafia penebangan kayu liar, baik secara sadar maupun tidak sadar, ikut melakukan pelanggaran terhadap hukum adat mereka sendiri. Dalam hal ini, anggota atau pemimpin komunitas masyarakat adat yang menebang pohon di hutan adatnya tetapi tidak dengan prosedur dan mekanisme hukum adat yang semestinya, juga dikategorikan sebagai penebang liar. Keterlibatan masyarakat adat dalam berbagai jenis usaha yang terkait penebangan liar ini berkembang sejalan dengan semakin melemahnya kelembagaan adat di tingkat komunitas sebagai akibat dikeluarkan dan dipaksakannya penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan kebijakan ini maka struktur pemerintahan desa disamakan untuk seluruh Indonesia dengan masksud untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat pedesaan. Salah satu contoh kuat tentang dampak negatif UU ini bisa dilihat dari maraknya penebangan liar di wilayah hutan adat komunitas Manggamat-Kluet di Aceh Selatan (lihat Box 3). Bagaimana merevitalisasi peran strategis masyarakat adat untuk memberantas "illegal logging" di Indonesia? Melanjutkan reformasi hukum dan politik yang sedang berjalan ….. Setelah melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dan dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX/2001 maka yang secara tegas mengakui, menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam, maka pasal-pasal UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan semua peraturan pelaksanaanannya harus dirubah dan direvisi untuk penyesuaian. Revisi yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hak penguasaan/pemilikan masyarakat adat atas hutan adatnya merupakan salah satu prasyarat pokok untuk menggerakkan masyarakat adat untuk memberantas operasi penebangan hutan secara liar di wilayah adat masing-masing. Box: 3. Menjarah Hutan Adat Sendiri: Dampak Penerapan Pemerintahan Desa di Menggamat-Kluet, Ekosistem Leuser Kemukiman menggamat merupakan satu wilayah adat bagi komunitas masyarakat dari kelompok entis Kluet yang di perkirakan jumplahnya sekitar 5.500 jiwa dan mendiami 13 desa yang tersebar memajang dari selatan ke utara mengikuti Sungai Menggamat dan Sungai Kluet di Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan. Sebagian besar (68,7%) dari wilayah adat yang luasnya sekitar 19.600 hektar berupa hutan tutupan. Sebagai wilayah yang berada dipinggiran hutan, maka sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk kemukiman ini adalah dari kegiatan pertanian sawah dan ladang atau kebun. Mereka juga masih memiliki ketergantungan dan interaksi yang tinggi terhadap hutan secara langsung dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti binatang buruan untuk sumber protein, rotan dan damar sebagai sumber uang tunai. Begitu pentingnya hutan bagi masyarakat Kluet-Menggamat bisa tercermin dalam pengetahuan tradisonal yang mendalam tentang jenis-jenis tanah yang berdasarkan indikator jenis tanaman yang tumbuh diatasnya dan juga pengetahuan lokal tentang agroklimatologi yang berkaitan dengan siklus pertanian padi sawah dari mulai memilih bibit sampai masa panen. Pengetahuan dan pemahaman tentang hutan juga mendalam, khususnya orang-orang disebut sebagai pawang (ahli), misalnya pawang harimau dan pawang getah damar. Berdasarkan pengetahuan tentang keterbatasan sumberdaya alam ini maka pemanfaatannya pun diatur secara adat. Beberapa diantara aturan-aturan adat yang pentiong dalam pengelolaan sumberdaya alam ini antara lain: (1) Tidak boleh menebang pohon tanpa seizin Keucik (sekarang di kenal atau disetarakan dengan Kepala Desa), pelanggaran akan dikenakan sangsi adat berupa denda satu ekor kambing; (2) Tidak boleh menebang pohon sama sekali di daerah-daerah alur sungai atau hulu air; (3) Tidak boleh menebang hutan setelah upacara atau kenduri Uleelung (turun sawah) diadakan; (4) Siapa saja yang menebang pohon di hutan harus menanam pohon pengganti sekurang-kurangnya pohon dedap; (5) Tidak boleh meracun ikan atau sungai; dan (6) Tidak boleh menangkap ikan dengan jala di Sungai Menggamat. Aturan-aturan dan keputusan-keputusan adat dilaksanakan dan ditegakkan dalam suatu struktur kelembagaan adat yang di pimpin oleh seorang Uleebalang (sekarang lebih di kenal sebagai Imam Mukim) untuk seluruh wilayah adat Kemukiman Menggamat. Di tingkat yang lebih rendah (kampung), Uleebalang di bantu oleh para Keuchik (setara Kepala Desa). Untuk menjamin ketersediaan air di sawah, masyarakat Kluet-Menggamat juga memiliki aturan-aturan adat yang dilengkapi pranata adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu diantaranya adalah pranata adat Keujeren Blang yang berfungsi dan bertanggung jawab mengatur irigasi dan menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Sesuai dengan fungsi tersebut maka Keujeren Blang juga bertanggung menjaga kelestarian hutan di daerah aliran sungai yang menjadi sumber air irigasi dan kepentingan lainnya tersebut. Pranata adat Keujeren Blang merupakan bagian dari struktur kelembagaan adat lebih besar. Interaksi masyarakat dengan hutan yang harmonis ini kemudian berubah setelah masuknya gergaji mesin (chain-saw) milik para cukong (tauke) kayu pada tahun 1992 sebagai awal dimulainya operasi penebangan liar wilayah Kemukiman Menggamat. Jumlah gergaji yang beroperasi di dalam hutan pun semakin lama semakin meningkat dengan pesat seiring dengan meningkatnya industri penggergajian kayu di daerah ini. Pada tahun 1995 diperkirakan jumlah gergaji mesin yang beroperasi di wilayah ini mencapai sekitar 200 unit. Penebangan-penebangan liar yang dicukongi oleh teuku-teuku pemilik chain-saw tidak hanya dari masyarakat Menggamat, tetapi juga penduduk dari luar daerah. Disini menjadi penting untuk dicatat bahwa mereka yang terlibat dalam usaha penebangan hutan secara liar adalah para pemimpin adat Kemukiman Menggamat. Sampai saat ini, di samping Imam Mukim (yang secara tradisional merupakan pemimpin adat tertinggi), juga 8 orang dari 13 Keuchik terlibat langsung dalam penebangan hutan, baik sebagai pemilik chain-saw maupun dengan menjalin kerjasama dengan pihak luar. Kerjasama dengan pihak luar ini misalnya dilakukan oleh Keucik Kampung Padang dengan memungut "pajak" sebesar Rp. 15.000,- untuk setiap ton kayu balok "tim" yang dihasilkan dari kawasan hutan sekitar desa. Hanya 3 orang Keucik yang secara tegas menolak penebangan liar, masing-masing adalah Keucik di Kampung Padang, Kampung Sawah dan Kota (Maswan, 1996; Ya'kub, 1996) sedangkan seorang Kucik yang tersisa belum menentukan sikap. Kenyataan lain yang juga berkaitan denga keterlibatan "para pemimpin adat" tersebut adalah bahwa seluruh operasi penebangan hutan secara tidak resmi ("illegal") di Kemukiman Menggamat melibatkan pejabat-pejabat pemerintah di tingkat kecamatan seperti Camat, Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) dan Komandan Rayon Militer (Danramil). Dalam hal ini Imam Mukim, di samping terlibat langsung mengoperasikan 4 unit chain-saw miliknya, juga berperan sebagai perpanjangan tangan para pejabat di kecamatan. Beberapa tokoh masyarakat mengatakan untuk peran ini Imam Mukim menerima "jatah" berupa sejumlah uang dari Camat untuk mengamankan kepentingan para pejabat sipil dan militer yang menjadi atasannya. Keterlibatan Imam Mukim dalam penebangan hutan ini diakui sendiri sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak mungkin dicukupi dari gaji sebagai Imam Mukim yang hanya Rp. 40.000 per bulan. Maraknya penebangan liar ini telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan masyarakat dan sekitarnya. Laporan penelitian WWF (1995) menunjukkan 2 dampak negatif utama penebangan liar ini, yaitu: (1) Kegiatan penebangan liar yang terus berkembang telah menggeser kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian pokok penduduk menjadi buruh tebang atau buruh pengangkutan kayu balok dari hutan; (2) Dampak lingkungan dari penebangan liar ini sudah mulai terasa sejak tahun 1994 dengan menurunnya debit air di musim kemarau yang menyebabkan kurang tersedianya air untuk irigasi sawah. Sebaliknya, kalau musim hujan menyebabkan bencana banjir seperti terjadi di Desa Siurai-urai yang menghanyutkan rumah-rumah penduduk. Perhitungan banjir di Desa Kota Indarung menunjukkan bahwa kerugian material akibat sekali bencana banjir pada tahun 1994 mencapai hampir Rp.82 juta, sementara manfaat yang diterima masyarakat dari hutan hanya senilai Rp. 57 juta. Dampak ekologis yang sudah dirasakan oleh masyarakat sebagai bencana ini telah menjadi ancaman setiap tahun. Walaupun sebagian besar masyarakat, khususnya mereka yang tidak terlibat dalam aktifitas penebangan hutan, sudah melakukan protes keras dengan berbagai aksi bersama agar penebangan liar dihentikan, tetapi tidak ada perubahan karena sebagai besar pemimpin mereka terlibat dan mendapat insentif ekonomi yang besar. Melihat kompleksitas permasalahan penebangan hutan secara liar ini terlihat bahwa penyebab kerusakan hutan bersumber dari melemahnya posisi tawar masyarakat terhadap berbagai intervensi luar yang masuk ke daerah ini, baik sebagai akibat implementasi kebijakan pemerintah yang resmi maupun oleh serbuan modal. Salah satu yang pengaruhnya sangat besar dalam kasus ini adalah penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sebagai instrumen kebijakan nasional untuk menyama-ratakan sistem pemerintah di seluruh desa-desa di Indonesia. Dengan kebijakan ini terjadi perubahan struktur kekuasaan dan pemerintahan di Kemukiman Menggamat. Posisi Uleebalang digantikan oleh Imam Mukim dan di bawahnya terdapat Keuchik sebagai Kepala Desa. Tetapi secara substansial, otoritas yang dimiliki oleh Imam Mukim tidak sama dengan Uleebalang dan otonomi lembaga adat secara keseluruhan menjadi hilang. Misalnya menyangkut proses pemilihan Tengku Ali Makmur yang asal usulnya adalah pendatang dari Sumatera Barat dan mengambil istri dan tinggal Kemukiman Menggamat menjadi Imam Mukim, pencalonannya dilakukan oleh oleh Camat berdasarkan oleh instruksi Bupati (Makmur, 1996), baru dilakukan pemilihan oleh 13 Kuecik (Aman, 1996). Pertimbangan pencalonan ini didasarkan pada kriteria baik dan pandai. Intervensi ini tentu mempengaruhi "keberpihakan" Tengku Ali Makmur sebagai Imam Mukim dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin adat, karena sebagai konsekuensi logis dia akan lebih condong mengamankan kepentingan Camat dan pejabat atasan lainnya dibanding protes masyarakat terhadap penebangan liar yang mampir setiap musim hujan menimbulkan banjir dan kekurangan air untuk irigasi di musim kemarau. Hal lain yang menyebabkan ketergantungan Imam Mukim dengan Camat adalah karena Camat sendiri memiliki wewenang untuk berhubungan langsung dengan Kepala Desa tanpa harus melalui Imam Mukim sehingga posisi secara formal sangat lemah. Di sisi lain, posisi kepala desa (walaupun sebutannya masih tetap menggunakan istilah Keucik) sebagai bawahan langsung camat menjadi terlalu dominan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Dalam struktur pemerintahan desa tradisional dikenal adanya "Petuhapet", yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang sekaligus berfungsi sebagai penasehat dan pengawas "Keucik". Lembaga ini kemudian dirubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang juga diketuai kepala desa. Dalam konteks ini, hadirnya prangkat-perangkat pemerintahan desa seperti LKMD justru menghilangkan akses pengawasan dan pengendalian masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan yang merugikan dari pemimpinnya. Dominasi kepala desa ini tercermin juga dari ketidak-berdayaan Keujeren Blang sebagai pemegang otoritas adat untuk menjaga kelestarian hutan di daerah aliran sungai dan mengatur air irigasi. Dengan keterlibatan Kepala Desa yang didukung dengan kekuatan politis dari para pejabat di tingkat kecamatan dan kabupaten dalam penebangan hutan secara liar telah menempatkan Keujeren Blang tidak berdaya lagi menjaga hutan (Aman, 1996). Konsepsi tentang Keucik" yang secara tradisional harus bertanggung jawab dan memperjuangkan kepentingan masyarakat telah berubah menjadi hanya sekedar pelaksana terbawah kebijakan dan kepentingan pemerintah, yang pada kenyataan tidak selamanya menguntungkan bagi masyarakat setempat. Di samping melemahnya kelembagaan adat secara keseluruhan, mekanisme pengambilan keputusan adat pun sudah semakin tidak efektif. Misalnya saja, rapat pemukiman sebagai mekanisme pengambilan keputusan adat tertinggi yang dilakukan 2 kali setahun tidak pernah bisa tuntas menyelesaikan persoalan penebangan liar ini sebab kalau sudah bicara soal hutan maka semua tokoh-tokoh pemilik chain saw pergi meninggalkan pertemuan secara diam-diam (Ya'kub, 1996). (Abdon Nababan. 1997. "Pemerintahan Desa & Pengelolaan Sumberdaya Alam: Kasus Hutan Adat Kluet-Menggamat di Aceh Selatan". Studi kasus ini ditulis berdasarkan data lapangan yang saya kumpulkan pada bulan Juni 1996 lalu dalam rangkan Pengkajian Usaha-Usaha Konservasi Taman Nasional Leuser yang didukung oleh WWF Indonesia Programme). Keputusan Sidang Tahunan MPR 2001 tentang pemilihan presiden secara langsung merupakan awal restrukturisasi politik menuju demokrasi partisipatif yang masih harus dilanjutkan dengan revisi UU PEMILU dan UU SUSDUK agar: (1) pemilihan gubernur dan bupati secara langsung dan memungkinkan adanya calon independen tanpa melalui partai politik, dan (2) pemilihan wakil rakyat (DPR dan DPRD) secara langsung dengan sistem distrik - memungkinkan dikombinasikan dengan sistem proporsional untuk mengakomodasikan aspirasi kelompok-kelompok minoritas - dan memungkinkan adanya calon independen tanpa partai politik. Struktur politik seperti ini akan lebih menjamin partisipasi masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan alokasi dan pengelolaan hutan. Memperkuat kebijakan desentralisasi yang sedang berjalan saat ini dengan mengalihkan/ mengembalikan kekuasaan dan wewenang otonomi penuh pada tingkat pemerintahan komunitas adat ("indigenous autonomy"). Mengembangkan skema "sukarela" untuk mendapatkan dukungan langsung (insentif) bagi komunitas adat untuk memberantas penebangan liar di wilayah adatnya. Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum (mandatory) bagi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat secara nasional membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu diperlukan skema yang sifatnya sukarela (voluntary) agar prakarsa-prakarsa masyarakat adat dalam perlindungan hutannya dan pemberantasan penebangan liar di wilayah adatnya mendapatkan insentif dari berbagai pihak pendukung, termasuk dari pemerintah. Insentif ini berupa dukungan dana program secara langsung bagi komunitas adat yang layak. Dengan skema sukarela ini maka komunitas masyarakat adat bisa meminta verifikasi oleh pihak independen untuk mengevaluasi/menilai/membuktikan bahwa hutan di wilayah adat mereka bebas dari penebangan liar. Jika hasil verifikasi independen ini membuktikan wilayah adat yang dinilai bebas dari penebangan liar maka komunitas masyarakat adat yang bersangkutan berhak mendapatkan dukungan dana program sebagai insentif. Dana program ini harus dibatasi penggunaannya sesuai dengan rencana kelola hutan adat, yaitu antara lain untuk: (1) Melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial; (2) Mengembangkan usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.). Ada 2 (dua) alternatif sumber dana untuk skema ini, yaitu: (1) Pemerintah Indonesia, c/q Departemen Kehutanan mengalokasikannya di dalam APBN sebagai bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK); (2) Negara-negara donor yang memiliki komitmen memberantas penebangan liar membentuk DANA BERSAMA yang dikelola oleh satu lembaga independen yang dibentuk khusus untuk itu, atau dengan memilih di antara lembaga donor yang sudah ada. Footnotes 1. Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Multi-Pihak tentang "Illegal Logging Suatu Tantangan dalam Upaya Penyelamatan Hutan Sumatera". Diselenggarakan oleh Yayasan Hakiki, Departemen Kehutanan dan MFP-DFID pada tanggal 7-9 Oktober 2002 di Hotel Mutiara Pekan Baru. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disajikan dalam "Forest Law Enforcement & Governance-East Asia: A Ministerial Conference", September 11-13, 2001, Denpasar, Indonesia, dan "EC-Forest Law Enforcement, Governance and Trade", Brussels, 22 April 2002. 2. Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Anggota Perkumpulan Telapak.
Article Result :
Revitalisasi Hukum Adat untuk Menghentikan Penebangan Hutan secara 'Illegal' di Indonesia 1
Abdon Nababan2
Oktober 2002
HUTAN ADAT, jantung kehidupan masyarakat adat yang dihancurkan
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda.
Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999).
Dari jumlah tersebut, AMAN juga memperkirakan bahwa 30 sampai 50 juta di antaranya adalah masyarakat adat yang kehidupannya masih tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah adatnya. Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan hutannya maka pada umumnya telah mengembangkan konsep penguasaan/kepemilikan ( ) bersama (secara komunal) dan bersifat eksklusif atas suatu kawasan hutan adat. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat sebagai hak bersama maka komunitas-komunitas adat juga memiliki sistem pengetahuan, hukum adat dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi secara bersama dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang batten penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.
Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan batten parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
PENEGAKAN HUKUM ADAT, benteng terakhir keberadaan hutan alam di Indonesia
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat.
Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi base pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat (Box 1).
Box 1 - Perekat Ombara:
Membangun Organisasi Masyarakat Adat dari Hutan Keramat
Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) adalah sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada gundem (pertemuan) V tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah, kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara pada tanggal 6 Mei 2000, maka visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat, demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh masyarakat yang ada di Lombok Utara. Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat.
Kearifan budaya lokal diapresiasikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya dalam bentuk seperangkat aturan-aturan yang disebut hukum adat, atau yang di Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparatif.
Demokrasi ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu = tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama). Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda dan orde absolutist sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa.
Dalam tubuh Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
Uniknya, seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta (sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan - yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini. Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran affected HPH pada bulan April 1999.
Keprihatinan ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000.
Salah satu isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan, yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Keputusan lain yaitu perubahan nama-nama dan istilah-istilah pada sistem pemerintahana desa dengan menghapuskan nuansa orde baru dengan nama dan istilah yang akrab dan dikenal serta dipahami oleh orang desa. Misalnya : kepala desa (menjadi pemusungan), sekdes (juru tulis), kepala urusan (juru urus), kadus (keliang), keamanan desa (lang-lang), RT/RW (krama gubug) dan 3A (subak atau pekasih).
Dinamika dan geliat dari Perekat Ombara ini melahirkan gagasan dan wacana baru tentang pembentukan kabupaten Lombok Utara. Selama ini wilayah Lombok bagian utara merupakan bagian dari kabupaten Lombok Barat, dengan ibukota di Mataram. Dengan adanya perubahan situasi dan kondisi politik, dimungkinkan pemekaran kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten induknya. Wacana ini sekarang sedang marak berkembang di Perekat Ombara dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain yang ada di Lombok Utara. (Rizky R. Sigit. 2001. Telapak. Studi kasus dalam rangka Pengkajian Affairs Hibah Kecil Global Environmental Facility - GEF/SGP)
Di Kalimantan Barat, misalnya, PPSHK (SHK Kalbar) dan EAF (Ethno-Agro Forest) menemukan masih banyak kampung orang Dayak yang masih memiliki dan mempertahankan keaslian hutan keramat. Keteguhan keyakinan masyarakat adat atas kekeramatan hutan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mengendalikan dan bahkan menghentikan kerusakan hutan sebagaimana dilakukan oleh komunitas adat di Kampung Pendaun, Kabupaten Ketapang. Masyarakat adat di kampung ini tidak hanya gigih mempertahankan hutan keramat dari kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan resmi, tetapi juga dari para penebang cheat (Box 2).
Box 2 - Masyarakat Kampung Pendaun:
Menghentikan Penebangan Cheat dengan Menegakkan Hukum Adat Kehutanan
Dari zaman dulu sampai 20 tahun yang lalu, keadaan hutan di Kecamatan Simpakng Hulu masih utuh, keadaan sosial-budaya masih kuat, air sungai belum tercemar, masyarakat masih arif dalam megelola sumber daya hutan dan kebutuhan hidup sehari-hari kala itu masih mudah diperoleh. Tahun tujuh puluhan HPH mulai beroperasi di Kecamatan Simpakng Hulu, yang membuka jalan, yang mengakibatkan banyaknya orang luar masuk. Akibatnya hutan menjadi rusak, sungai mulai tercemar, hak-hak masyarakat adat dirampas, adat-budaya masyarakat lokal luntur. Tahun delapan puluhan mulai masuk banyak rombongan penebang kayu ilegal dari luar.
Pada tahun 1997 PT Wahana Stagen Lestari (WSL), sebagai kontraktor PT Inhutani II, melanggar kawasan Tonah Colap Turun Pusaka (atau hutan lindung ala masyarakat adat yang luasnya 782 ha). Dari pelanggaran tersebut maka WSL di hukum secara adat oleh masyarakat Pendaun. Setelah di hukum adat WSL berhenti operasi di Tonah Colap. Ternyata dengan terhentinya operasi WSL penebangan hutan masih berlanjut. Dengan terbukanya jalan ke Tonah Colap Torun Pusaka, semakin banyak penebangan cheat (illegal). Sekitar dua puluhan truk pengangkut kayu haram per hari beroperasi di Kampung Pendaun.
Sadar ada kerusakan hutan, masyarakat adat mengadakan pertemuan-pertemuan serta lokakarya yang intinya untuk pengukuhan kembali terhadap Tonah Colap Torun Pusaka yang meliputi kegiatan seperti: (1) inventarisasi partisipatif, dan (2) perintisan kawasan Tonah Colap Torun Pusaka. Ini dua langkah langkah untuk mencapai cita-cita masyarakat selanjutnya untuk menghentikan seluruh kegiatan yang merusak hutan.
Hasil dari seluruh kesempakatan pertemuan akhirnya di lakukanlah sumpah Tonah Colap Torun Pusaka, sekaligus mendirikan balai pabantatn (atau keramat) di Bukit Binakng. Setelah perintisan dan pendirian keramat, penebangan cheat (ilegal) berhenti. Rombongan pekerja kayu cheat (illegal) yang bekerja di sekitar kawasan Tonah Colap pun di hukum adat. Penghukuman terhadap perusahaan dan pembuatan Tanah Colap Torun Pusaka oleh masyarakat adat Pendaun maka mengundang reaksi positif masyarakat adat di daerah sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Satu tahun terakhir ini banyak kampung-kampung masyarakat adat di kawasan Simpakng Hulu di Kabupaten Ketapang mendirikan dan mengukuhkan kembali hutan keramat Tanah Colap Torun Pusaka sebagai base spritual untuk penegakan hukum adat bagi para penebang liar, baik dari masyarakat adat sendiri maupun dari pihak-pihak luar. (Jakobus Akon, seorang warga masyarakat adat Kampung Pendaun, dipresentasikan pada Ministrial Conference on Forest Law Enforcement and Governance, FLEG, di Denpasar, Bali, 11-13 September 2001)
PRANATA ADAT, kekuatan utama penjaga hutan
Cuplikan cerita dari lapangan ini merupakan harapan di tengah-tengah semakin tingginya laju kerusakan dan perubahan fungsi hutan alam di Indonesia. Banyak di antara komunitas-komunitas masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya.
Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai burden yang batten kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian batten penting mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak tradisional. Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional mereka. Kedua, di samping untuk memtahankan hak, masyarakat adat juga menyadari posisinya sebagai penerima insentif yang batten besar jika hutan adatnya utuh dan terpelihara dengan baik. Sebagai penduduk yang sebagian besar kehidupannya tergantung dengan hutan adat, hutan adat yang lestari akan menjamin ketersediaan pangan, ramuan obat-obatan, air bersih, bahan bangunan dan kebutuhan album lain bagi masyarakat adat. Bagi masyarakat adat yang kehidupannya sudah terintegrasi dengan ekonomi uang, hutan adat merupakan sumber berbagai jenis hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu, yang bernilai jual tinggi untuk mendapatkan uang membiayai kebutuhan-kebutuhannya seperti menyekolahkan anak-anaknya, membayar pajak, membeli alat transportasi yang lebih cepat, membeli televisi, dan kebutuhan lain yang tidak bisa diproduksi sendiri, . Di banyak komunitas masyarakat adat, hutan adat juga sangat penting dalam kehidupan budaya dan religi asli. Sebaliknya jika terjadi pengrusakan terhadap hutan adat, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar, maka masyarakat adat akan menjadi korban yang batten menderita.
Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan asli yang arif dalam pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan atas sumberdaya hutan di wilayah adatnya. Sistem pengetahuan asli ini merupakan landasan bagi keberadaan cara-cara pengelolaan sumberdaya hutan dan hukum adat kehutanan yang khas dan berbeda satu sama lain di antara komunitas-komunitas adat.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan jika terjadi perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan kerusakahan terhadap hutan adat. Sebagian dari hukum adat ini sudah melemah dan mengalami kekaburan sehingga perlu direvitalisasi dan diperkuat.
Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara masyarakat adat dengan ekosistem hutan di sekitarnya.
Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat ini, mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, association forestry, acclaim union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan "illegal logging" yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi "clear cutting" acknowledged dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak hutan dan menindas masyarakat adat seperti IHPHH.
KAMPANYE ANTI-ILLEGAL LOGGING: ancaman atau peluang bagi masyarakat adat?
Penebangan cheat (illegal logging), sebagian pihak lebih suka menyebut dengan penebangan haram, telah menjadi issu lingkungan yang batten menonjol dalam 3 tahun terakhir ini. Berbagai pihak, terutama ORNOP lingkungan di tingkat nasional dan internasional dan instansi pemerintah tertentu yang terkait dengan konservasi dan pengendalian kerusakan lingkungan, secara terus menerus melakukan kampanye dan mencoba melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya mendorong penegakan hukum bagai penebang liar. Sampai sejauh ini berbagai upaya tersebut tidak efektif, atau bahkan bagi sebagian kalangan penggiat lingkungan dianggap gagal, untuk menghentikan ataupun hanya sekedar mengurangi laju penebangan cheat ini. Bahkan, dengan kepentingan yang berbeda, para pengusaha kehutanan yang tergabung dalam APHI juga ikut berkampanye untuk penghentian penebangan liar. Bahkan dengan menggunakan issu maraknya penebangan liar, banyak pihak yang pro-sentralisasi mulai muncul dalam berbagai media dengan mengkambing-hitamkan otonomi daerah dan keterlibatan masyarakat setempat sebagai penyebabnya. Kalau kampanye yang seperti ini berlanjut maka proses desentralisasi pengurusan hutan bisa terancam, termasuk kemungkinan berkembangnya ketidak-percayaan publik terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat.
Hal penting yang perlu dicacat dari perjalanan kampanye penghentian actionable logging di kawasan-kawasan konservasi yang diprakarsasi dan laksanakan oleh EIA-Telapak selama ini adalah sambutan yang demikian responsif dari masyarakat internasional dan negara-negara donor. Kampanye ini berhasil menciptakan iklim politik di tingkat internasional untuk menangani actionable logging dengan serius. Dimulai tahun 1999 dengan TN Tanjung Putting dan TN Leuser, kampanye ini berhasil menempatkan kayu ramin - jenis kayu yang banyak diincar oleh para penebang cheat - masuk Appendix III CITES. Kampanye ini juga memainkan peran sentral mendorong adanya kesepakatan-kesepakatan multilateral seperti keluarnya Deklarasi Tingkat Menteri pada Forest Law and Governance Conference di Bali, September 2001, kemudian dilanjutkan oleh Komisi Eropa dengan Lokakarya tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade di Brussels, April 2002, yang hasilnya sedang diolah dan ditindak-lanjuti menjadi kebijakan baru yang berlaku untuk seluruh negara anggota Uni Eropa. Dengan kebijakan baru ini nantinya seluruh kayu yang masuk ke negara-negara anggota Uni Eropa harus disertai dengan sertifikat legalitas yang menyatakan bahwa kayu tersebut dihasilkan dengan penebangan hutan yang legal. Kegiatan yang sama juga sedang direncanakan untuk Amerika Serikat. Bahkan Inggris sudah melakukan tindakan lebih jauh dengan membangun kesepakatan mutual dengan Indonesia bulan April 2002 yang baru lalu. Kemungkinan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang juga sudah menyatakan niatnya untuk mengikuti prakarsa mutual Inggris-Indonesia ini. Biarpun tanggapan internasional sudah sedemikian cepat dan kuat, namun penegakan hukum untuk menghentikan, atau bahkan hanya untuk sekedar mengurangi, penebangan cheat masih jauh dari harapan.
Persoalan yang kritis muncul ketika kampanye penghentian "illegal logging" akhirnya bermuara pada legalitas kayu, dimana dasar penentuannya adalah ada tidaknya pelanggaran terhadap HUKUM NASIONAL di negara penghasil kayu. Di sinilah kampanye penghentian actionable logging bisa menjadi ancaman bagi masyarakat adat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang tidak menganut pluralisme hukum dan belum mengakui, menghargai dan melindungi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dengan menegakkan hukum adatnya (right to self-determination). Pertanyaannya kemudian: bagaimana kampanye dan upaya-upaya lainnya untuk menghentikan "illegal logging" ini menempatkan hukum adat?
Hak-Hak Masyarakat Adat dan Posisi Hukum Adat dalam Negara-Bangsa Indonesia
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka yang harus dibedah lebih dulu adalah menyangkut posisi masyarakat adat dalam tatanan negara-bangsa Indonesia. Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya dan politik. Dengan semboyan ini para pendiri bangsa telah menempatkan masyarakat adat sebagai elemen dasar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya.
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 28I poin (3) pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindungi hak-hak adatnya. Dengan klausal ini maka konstitusi telah menggariskan bahwa penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada ditangan komunitas yang bersangkutan (self-identification and self-claiming), bukan ditentukan oleh pemerintah atau oleh para akademisi/ilmuwan/peneliti. Artinya kalau suatu komunitas masyarakat adat bisa menunjukkan identitas budayanya dan hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya (penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen menyebut hak ini sebagai hak asal asul) yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, maka negara harus hormatinya.
TAP MPR No. IX/2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Sebaliknya, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara hirarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan/pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada di wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak masyarakat adat dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan, sedangkan kepemilikan tetap berada di tangan negara. Dengan demikian maka TAP MPR No. IX/2002 memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk merubah UU No. 41/1999, sehingga UU ini dengan semua peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat atas hutan adat sudah tidak layak digunakan sebagai produk hukum untuk menetapkan LEGALITAS penebangan hutan.
Dengan mengacu pada Amandemen Kedua UUD 1945 dan TAP MPR IX/2001 (adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan negara atas hukum dan lembaga adat) maka PENEBANGAN LIAR (ILLEGAL LOGGING) adalah penebangan hutan yang melanggar hukum adat dan hukum nasional.
Dengan batasan ini maka yang disebut dengan penebang cheat adalah:
* Perusahaan-perusahaan resmi dan pihak-pihak lain yang memperoleh ijin penebangan dari pemerintah, seperti HPH, kontraktor penebangan hutan, IPK, IHPHH, dll. Kebanyakan wilayah penebangan yang ijinnya diberikan pemerintah tumpang-tindih dengan kawasan hutan adat sehingga menimbulkan banyaknya konflik hukum antara hukum adat yang digunakan masyarakat adat dengan UU Kehutanan yang mendasari pemberian HPHH/IPK/IHPHH, dll. Pada masa rejim Soeharto (sebelum tahun 1998), kebanyakan klaim hak atas tanah hutan adat oleh masyarakat adat ditanggapai oleh pemerintah dengan tindakan represif dan kadang-kadang dengan tindakan kekerasan dari militer dan polisi. Pada waktu itu, penegakan hukum adat terhadap perusahaan-perusahaan resmi dan pihak-pihak yang sudah mendapat ijin penebangan hutan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat adat. "Reformasi", yang mulai terasakan di pedalaman sejak tahun 1998, telah menciptakan ruang politik bagi masyarakat adat untuk menegakkan hukum adat dan merundingkan kembali tata batas hutan adatnya. Beberapa dari perusahaan yang dihukum adat akhirnya mengakui klaim masyarakat adat dan membayar denda adat. Tetapi, sebagian dari perusahaan justru menutup operasi penebangan hutan.
* Perusahaan-perusahaan dan perorangan tidak memiliki ijin penebangan hutan tetapi mengendalikan penebangan dan perdagangan kayu. Operasi penebangan cheat seperti ini hampir seluruhnya melibatkan pengusaha daerah yang disebut dengan "cukong". Mereka umumnya memiliki industri pengolahan kayu atau sawmill yang resmi (ada ijin), tetapi tidak memiliki ijin atas konsesi wilayah tebangan. Operasi penebangan seperti ini berpindah-pindah (mobile), terorganisir dengan baik dengan melibatkan organisasi preman dan mendapatkan dukungan kuat dari militer dan/atau polisi, pejabat pemerintah dan politisi di daerah operasi. Bagi masyarakat adat, penebangan dengan modus seperti ini sangat berbahaya untuk menegakkan hukum adat, khususnya jika di dalam bisnis ini terlibat para tokoh-tokoh adat, atau jika kebanyakan dari anggota komunitas terlibat.
* Anggota-anggota komunitas adat, dalam beberapa kasus juga melibatkan tokoh-tokoh adat, juga terlibat dalam operasi penebangan liar. Mereka, karena desakan pasar dan difasilitasi oleh mafia penebangan kayu liar, baik secara sadar maupun tidak sadar, ikut melakukan pelanggaran terhadap hukum adat mereka sendiri. Dalam hal ini, anggota atau pemimpin komunitas masyarakat adat yang menebang pohon di hutan adatnya tetapi tidak dengan prosedur dan mekanisme hukum adat yang semestinya, juga dikategorikan sebagai penebang liar. Keterlibatan masyarakat adat dalam berbagai jenis usaha yang terkait penebangan cheat ini berkembang sejalan dengan semakin melemahnya kelembagaan adat di tingkat komunitas sebagai akibat dikeluarkan dan dipaksakannya penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan kebijakan ini maka struktur pemerintahan desa disamakan untuk seluruh Indonesia dengan masksud untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat pedesaan. Salah satu contoh kuat tentang dampak negatif UU ini bisa dilihat dari maraknya penebangan cheat di wilayah hutan adat komunitas Manggamat-Kluet di Aceh Selatan (lihat Box 3).
Bagaimana merevitalisasi peran strategis masyarakat adat untuk memberantas "illegal logging" di Indonesia?
Melanjutkan reformasi hukum dan politik yang sedang berjalan ….. Setelah melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dan dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX/2001 maka yang secara tegas mengakui, menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam, maka pasal-pasal UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan semua peraturan pelaksanaanannya harus dirubah dan direvisi untuk penyesuaian. Revisi yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hak penguasaan/pemilikan masyarakat adat atas hutan adatnya merupakan salah satu prasyarat pokok untuk menggerakkan masyarakat adat untuk memberantas operasi penebangan hutan secara cheat di wilayah adat masing-masing.
Box: 3. Menjarah Hutan Adat Sendiri:
Dampak Penerapan Pemerintahan Desa di Menggamat-Kluet, Ekosistem Leuser
Kemukiman menggamat merupakan satu wilayah adat bagi komunitas masyarakat dari kelompok entis Kluet yang di perkirakan jumplahnya sekitar 5.500 jiwa dan mendiami 13 desa yang tersebar memajang dari selatan ke utara mengikuti Sungai Menggamat dan Sungai Kluet di Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan. Sebagian besar (68,7%) dari wilayah adat yang luasnya sekitar 19.600 hektar berupa hutan tutupan. Sebagai wilayah yang berada dipinggiran hutan, maka sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk kemukiman ini adalah dari kegiatan pertanian sawah dan ladang atau kebun. Mereka juga masih memiliki ketergantungan dan interaksi yang tinggi terhadap hutan secara langsung dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti binatang buruan untuk sumber protein, rotan dan damar sebagai sumber uang tunai. Begitu pentingnya hutan bagi masyarakat Kluet-Menggamat bisa tercermin dalam pengetahuan tradisonal yang mendalam tentang jenis-jenis tanah yang berdasarkan indikator jenis tanaman yang tumbuh diatasnya dan juga pengetahuan lokal tentang agroklimatologi yang berkaitan dengan siklus pertanian padi sawah dari mulai memilih bibit sampai masa panen. Pengetahuan dan pemahaman tentang hutan juga mendalam, khususnya orang-orang disebut sebagai pawang (ahli), misalnya pawang harimau dan pawang getah damar. Berdasarkan pengetahuan tentang keterbatasan sumberdaya alam ini maka pemanfaatannya pun diatur secara adat. Beberapa diantara aturan-aturan adat yang pentiong dalam pengelolaan sumberdaya alam ini antara lain: (1) Tidak boleh menebang pohon tanpa seizin Keucik (sekarang di kenal atau disetarakan dengan Kepala Desa), pelanggaran akan dikenakan sangsi adat berupa denda satu ekor kambing; (2) Tidak boleh menebang pohon sama sekali di daerah-daerah alur sungai atau hulu air; (3) Tidak boleh menebang hutan setelah upacara atau kenduri Uleelung (turun sawah) diadakan; (4) Siapa saja yang menebang pohon di hutan harus menanam pohon pengganti sekurang-kurangnya pohon dedap; (5) Tidak boleh meracun ikan atau sungai; dan (6) Tidak boleh menangkap ikan dengan jala di Sungai Menggamat.
Aturan-aturan dan keputusan-keputusan adat dilaksanakan dan ditegakkan dalam suatu struktur kelembagaan adat yang di pimpin oleh seorang Uleebalang (sekarang lebih di kenal sebagai Imam Mukim) untuk seluruh wilayah adat Kemukiman Menggamat. Di tingkat yang lebih rendah (kampung), Uleebalang di bantu oleh para Keuchik (setara Kepala Desa). Untuk menjamin ketersediaan air di sawah, masyarakat Kluet-Menggamat juga memiliki aturan-aturan adat yang dilengkapi pranata adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu diantaranya adalah pranata adat Keujeren Blang yang berfungsi dan bertanggung jawab mengatur irigasi dan menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Sesuai dengan fungsi tersebut maka Keujeren Blang juga bertanggung menjaga kelestarian hutan di daerah aliran sungai yang menjadi sumber air irigasi dan kepentingan lainnya tersebut. Pranata adat Keujeren Blang merupakan bagian dari struktur kelembagaan adat lebih besar.
Interaksi masyarakat dengan hutan yang harmonis ini kemudian berubah setelah masuknya gergaji mesin (chain-saw) milik para cukong (tauke) kayu pada tahun 1992 sebagai awal dimulainya operasi penebangan cheat wilayah Kemukiman Menggamat. Jumlah gergaji yang beroperasi di dalam hutan pun semakin absolutist semakin meningkat dengan pesat seiring dengan meningkatnya industri penggergajian kayu di daerah ini. Pada tahun 1995 diperkirakan jumlah gergaji mesin yang beroperasi di wilayah ini mencapai sekitar 200 unit. Penebangan-penebangan cheat yang dicukongi oleh teuku-teuku pemilik chain-saw tidak hanya dari masyarakat Menggamat, tetapi juga penduduk dari luar daerah.
Disini menjadi penting untuk dicatat bahwa mereka yang terlibat dalam usaha penebangan hutan secara cheat adalah para pemimpin adat Kemukiman Menggamat. Sampai saat ini, di samping Imam Mukim (yang secara tradisional merupakan pemimpin adat tertinggi), juga 8 orang dari 13 Keuchik terlibat langsung dalam penebangan hutan, baik sebagai pemilik chain-saw maupun dengan menjalin kerjasama dengan pihak luar. Kerjasama dengan pihak luar ini misalnya dilakukan oleh Keucik Kampung Padang dengan memungut "pajak" sebesar Rp. 15.000,- untuk setiap ton kayu balok "tim" yang dihasilkan dari kawasan hutan sekitar desa. Hanya 3 orang Keucik yang secara tegas menolak penebangan liar, masing-masing adalah Keucik di Kampung Padang, Kampung Sawah dan Kota (Maswan, 1996; Ya'kub, 1996) sedangkan seorang Kucik yang tersisa belum menentukan sikap.
Kenyataan lain yang juga berkaitan denga keterlibatan "para pemimpin adat" tersebut adalah bahwa seluruh operasi penebangan hutan secara tidak resmi ("illegal") di Kemukiman Menggamat melibatkan pejabat-pejabat pemerintah di tingkat kecamatan seperti Camat, Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) dan Komandan Rayon Militer (Danramil). Dalam hal ini Imam Mukim, di samping terlibat langsung mengoperasikan 4 assemblage chain-saw miliknya, juga berperan sebagai perpanjangan tangan para pejabat di kecamatan. Beberapa tokoh masyarakat mengatakan untuk peran ini Imam Mukim menerima "jatah" berupa sejumlah uang dari Camat untuk mengamankan kepentingan para pejabat sipil dan militer yang menjadi atasannya. Keterlibatan Imam Mukim dalam penebangan hutan ini diakui sendiri sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak mungkin dicukupi dari gaji sebagai Imam Mukim yang hanya Rp. 40.000 per bulan.
Maraknya penebangan cheat ini telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan masyarakat dan sekitarnya. Laporan penelitian WWF (1995) menunjukkan 2 dampak negatif utama penebangan cheat ini, yaitu: (1) Kegiatan penebangan cheat yang terus berkembang telah menggeser kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian pokok penduduk menjadi buruh tebang atau buruh pengangkutan kayu balok dari hutan; (2) Dampak lingkungan dari penebangan cheat ini sudah mulai terasa sejak tahun 1994 dengan menurunnya debit air di musim kemarau yang menyebabkan kurang tersedianya air untuk irigasi sawah. Sebaliknya, kalau musim hujan menyebabkan bencana banjir seperti terjadi di Desa Siurai-urai yang menghanyutkan rumah-rumah penduduk. Perhitungan banjir di Desa Kota Indarung menunjukkan bahwa kerugian actual akibat sekali bencana banjir pada tahun 1994 mencapai hampir Rp.82 juta, sementara manfaat yang diterima masyarakat dari hutan hanya senilai Rp. 57 juta. Dampak ekologis yang sudah dirasakan oleh masyarakat sebagai bencana ini telah menjadi ancaman setiap tahun. Walaupun sebagian besar masyarakat, khususnya mereka yang tidak terlibat dalam aktifitas penebangan hutan, sudah melakukan protes keras dengan berbagai aksi bersama agar penebangan cheat dihentikan, tetapi tidak ada perubahan karena sebagai besar pemimpin mereka terlibat dan mendapat insentif ekonomi yang besar.
Melihat kompleksitas permasalahan penebangan hutan secara cheat ini terlihat bahwa penyebab kerusakan hutan bersumber dari melemahnya posisi tawar masyarakat terhadap berbagai intervensi luar yang masuk ke daerah ini, baik sebagai akibat implementasi kebijakan pemerintah yang resmi maupun oleh serbuan modal. Salah satu yang pengaruhnya sangat besar dalam kasus ini adalah penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sebagai instrumen kebijakan nasional untuk menyama-ratakan sistem pemerintah di seluruh desa-desa di Indonesia.
Dengan kebijakan ini terjadi perubahan struktur kekuasaan dan pemerintahan di Kemukiman Menggamat. Posisi Uleebalang digantikan oleh Imam Mukim dan di bawahnya terdapat Keuchik sebagai Kepala Desa. Tetapi secara substansial, otoritas yang dimiliki oleh Imam Mukim tidak sama dengan Uleebalang dan otonomi lembaga adat secara keseluruhan menjadi hilang. Misalnya menyangkut proses pemilihan Tengku Ali Makmur yang asal usulnya adalah pendatang dari Sumatera Barat dan mengambil istri dan tinggal Kemukiman Menggamat menjadi Imam Mukim, pencalonannya dilakukan oleh oleh Camat berdasarkan oleh instruksi Bupati (Makmur, 1996), baru dilakukan pemilihan oleh 13 Kuecik (Aman, 1996). Pertimbangan pencalonan ini didasarkan pada kriteria baik dan pandai.
Intervensi ini tentu mempengaruhi "keberpihakan" Tengku Ali Makmur sebagai Imam Mukim dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin adat, karena sebagai konsekuensi logis dia akan lebih condong mengamankan kepentingan Camat dan pejabat atasan lainnya dibanding protes masyarakat terhadap penebangan cheat yang mampir setiap musim hujan menimbulkan banjir dan kekurangan air untuk irigasi di musim kemarau. Hal lain yang menyebabkan ketergantungan Imam Mukim dengan Camat adalah karena Camat sendiri memiliki wewenang untuk berhubungan langsung dengan Kepala Desa tanpa harus melalui Imam Mukim sehingga posisi secara academic sangat lemah.
Di sisi lain, posisi kepala desa (walaupun sebutannya masih tetap menggunakan istilah Keucik) sebagai bawahan langsung camat menjadi terlalu dominan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Dalam struktur pemerintahan desa tradisional dikenal adanya "Petuhapet", yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang sekaligus berfungsi sebagai penasehat dan pengawas "Keucik". Lembaga ini kemudian dirubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang juga diketuai kepala desa. Dalam konteks ini, hadirnya prangkat-perangkat pemerintahan desa seperti LKMD justru menghilangkan akses pengawasan dan pengendalian masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan yang merugikan dari pemimpinnya.
Dominasi kepala desa ini tercermin juga dari ketidak-berdayaan Keujeren Blang sebagai pemegang otoritas adat untuk menjaga kelestarian hutan di daerah aliran sungai dan mengatur air irigasi. Dengan keterlibatan Kepala Desa yang didukung dengan kekuatan politis dari para pejabat di tingkat kecamatan dan kabupaten dalam penebangan hutan secara cheat telah menempatkan Keujeren Blang tidak berdaya lagi menjaga hutan (Aman, 1996). Konsepsi tentang Keucik" yang secara tradisional harus bertanggung jawab dan memperjuangkan kepentingan masyarakat telah berubah menjadi hanya sekedar pelaksana terbawah kebijakan dan kepentingan pemerintah, yang pada kenyataan tidak selamanya menguntungkan bagi masyarakat setempat.
Di samping melemahnya kelembagaan adat secara keseluruhan, mekanisme pengambilan keputusan adat pun sudah semakin tidak efektif. Misalnya saja, rapat pemukiman sebagai mekanisme pengambilan keputusan adat tertinggi yang dilakukan 2 kali setahun tidak pernah bisa tuntas menyelesaikan persoalan penebangan cheat ini sebab kalau sudah bicara soal hutan maka semua tokoh-tokoh pemilik alternation saw pergi meninggalkan pertemuan secara diam-diam (Ya'kub, 1996). (Abdon Nababan. 1997. "Pemerintahan Desa & Pengelolaan Sumberdaya Alam: Kasus Hutan Adat Kluet-Menggamat di Aceh Selatan". Studi kasus ini ditulis berdasarkan abstracts lapangan yang saya kumpulkan pada bulan Juni 1996 lalu dalam rangkan Pengkajian Usaha-Usaha Konservasi Taman Nasional Leuser yang didukung oleh WWF Indonesia Programme).
Keputusan Sidang Tahunan MPR 2001 tentang pemilihan presiden secara langsung merupakan awal restrukturisasi politik menuju demokrasi partisipatif yang masih harus dilanjutkan dengan revisi UU PEMILU dan UU SUSDUK agar: (1) pemilihan gubernur dan bupati secara langsung dan memungkinkan adanya calon independen tanpa melalui partai politik, dan (2) pemilihan wakil rakyat (DPR dan DPRD) secara langsung dengan sistem distrik - memungkinkan dikombinasikan dengan sistem proporsional untuk mengakomodasikan aspirasi kelompok-kelompok minoritas - dan memungkinkan adanya calon independen tanpa partai politik. Struktur politik seperti ini akan lebih menjamin partisipasi masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan alokasi dan pengelolaan hutan.
Memperkuat kebijakan desentralisasi yang sedang berjalan saat ini dengan mengalihkan/ mengembalikan kekuasaan dan wewenang otonomi penuh pada tingkat pemerintahan komunitas adat ("indigenous autonomy").
Mengembangkan skema "sukarela" untuk mendapatkan dukungan langsung (insentif) bagi komunitas adat untuk memberantas penebangan cheat di wilayah adatnya.
Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum (mandatory) bagi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat secara nasional membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu diperlukan skema yang sifatnya sukarela (voluntary) agar prakarsa-prakarsa masyarakat adat dalam perlindungan hutannya dan pemberantasan penebangan cheat di wilayah adatnya mendapatkan insentif dari berbagai pihak pendukung, termasuk dari pemerintah. Insentif ini berupa dukungan dana affairs secara langsung bagi komunitas adat yang layak.
Dengan skema sukarela ini maka komunitas masyarakat adat bisa meminta verifikasi oleh pihak independen untuk mengevaluasi/menilai/membuktikan bahwa hutan di wilayah adat mereka bebas dari penebangan liar. Jika hasil verifikasi independen ini membuktikan wilayah adat yang dinilai bebas dari penebangan cheat maka komunitas masyarakat adat yang bersangkutan berhak mendapatkan dukungan dana affairs sebagai insentif. Dana affairs ini harus dibatasi penggunaannya sesuai dengan rencana kelola hutan adat, yaitu antara lain untuk: (1) Melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial; (2) Mengembangkan usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, association forestry, acclaim union, dsb.).
Ada 2 (dua) alternatif sumber dana untuk skema ini, yaitu: (1) Pemerintah Indonesia, c/q Departemen Kehutanan mengalokasikannya di dalam APBN sebagai bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK); (2) Negara-negara donor yang memiliki komitmen memberantas penebangan cheat membentuk DANA BERSAMA yang dikelola oleh satu lembaga independen yang dibentuk khusus untuk itu, atau dengan memilih di antara lembaga donor yang sudah ada.
Footnotes
1. Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Multi-Pihak tentang "Illegal Logging Suatu Tantangan dalam Upaya Penyelamatan Hutan Sumatera". Diselenggarakan oleh Yayasan Hakiki, Departemen Kehutanan dan MFP-DFID pada tanggal 7-9 Oktober 2002 di Hotel Mutiara Pekan Baru. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disajikan dalam "Forest Law Enforcement & Governance-East Asia: A Ministerial Conference", September 11-13, 2001, Denpasar, Indonesia, dan "EC-Forest Law Enforcement, Governance and Trade", Brussels, 22 April 2002.
2. Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Anggota Perkumpulan Telapak.