Cari Makalah & Artikel
Google

Sunday, December 20, 2009

Relevansi Platform Ekonomi Pancasila Menuju Penguatan Peran Ekonomi Rakyat

Pemilu 2004 sudah pasti akan diwarnai dengan ‘pertarungan politik’ antar parpol, sekaligus juga antar kandidat calon presiden, caleg, dan antar calon anggota DPD. Hasilnya bisa jadi kekuasaan tetap dipegang ‘pemimpin lama’, atau mungkin pula akan muncul penguasa-penguasa baru, partai baru, dan orang-orang yang baru pula. Lalu, akan berubahkah nasib ekonomi bangsa kita? Tidak dapat dipastikan, kecuali ada ‘janji-janji’ perubahan kebijakan ataupun program ekonomi yang lebih banyak bersifat parsial dan konvensional dari partai peserta pemilu. Saya setuju dengan Khudori (2004) bahwa momen Pemilu 2004 selayaknya bukan saja memungkinkan pergantian orang atau partai melainkan pergantian ideologi atau moral ekonomi yang mengarah pada ciri neoliberal-kapitalistik dewasa ini. Bukan berganti menjadi apa-apa, melainkan kembali ke ideologi atau moral ekonomi Pancasila, sebuah ideologi ekonomi yang ‘ke-Indonesia-an’.

Tulisan ini menjawab pragmatisme atau ketidaktahuan banyak orang sehingga mereka bertanya-tanya, relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi nasional di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (dibawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (dibawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah ‘tercoreng’, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena ‘salah urus’ dan bukannya ‘salah sistem’, apalagi dikait-kaitkan dengan ‘salah ideologi’ atau ‘salah teori’ ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang akut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang ‘kebablasan’. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal.

Disinilah relevansi platform (istilah penulis) Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali (detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di Indonesia. Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’ yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Gagasan Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Inilah platform ekonomi yang lebih awal lahir daripada gagasan Amitai Etzioni tentang ‘ekonomi baru’ yang berdimensi moral dalam bukunya The Moral Dimension: Toward a Newf Economics, Free Press 1988). Penerapan platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.

Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini? Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, 2003).Kita mulai dari platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk turun ke desa-desa atau ke pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan praktek ekonomi bermoral ini.

Relevansi platform Ekonomi Pancasila dalam hal ini dikuatkan akutnya perilaku ekonomi di Indonesia yang sama sekali mengabaikan moral, etika, bahkan agama. Lihat saja korupsi yang sudah membudaya dan melembaga karena tidak pernah diperhatikan secara serius, kecuali saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2004 dengan pembentukan KPTPK. Ada lagi maraknya ‘penjarahan alam’ berupa penebangan hutan secara liar (llegal logging) yang terlalu lama ‘didiamkan’ sehingga berakibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan di sebagian wilayah di Jawa, Sumatara, dan pulau lainnya. Yang masih panas-panasnya adalah maraknya ‘pornoaksi’ dangdut erotis lewat media TV yang memang ‘dibiarkan’ di alam kebebasan (liberalisme) saat ini. Tanpa peduli moral, agama, dan dampak sosial bagi masyarakat, para penyanyi, produser, perusahaan (iklan), dan stasiun TV, mengeruk ‘rente’ dari kegiatan ekonomi (bisnis) mereka. Masih ada juga penggusuran orang miskin, pengabaian nasib TKI, dan ribut-ribut soal ‘pesangon’ BPPN atau DPRD di berbagai tempat. Kondisi itu menegaskan perlunya ‘revolusi moral ekonomi’ menuju pengejawantahan platform Ekonomi Pancasila, yang bermoral dan tidak sekuler.

Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan puluhan juta orang (Khudori, 2004).

Zakat yang sudah diformalkan (UU) dan pajak sebagai instrumen pemerataan ternyata belum mampu berbuat banyak, padahal potensi untuk itu sangat besar. Banyak orang yang memiliki kekayaan milyaran (termasuk calon-calon presiden kita, Tempo, 2004), namun banyak pula yang pendapatannya pas-pasan sekedar untuk bertahan hidup. Itulah kita, hidup di ‘negara kaya’ (SDA) yang ‘miskin’ (terlilit utang), tetapi masih mampu menampilkan gaya hidup mewah, eksklusif, dan glamour dari sebagian elit warganya. Lihatlah pesta-pesta bernilai ratusan juta semalam yang sering diadakan ‘selebriti’, termasuk juga acara-acara pejabat yang sering menyentak hati karena dipaksakan untuk tetap ada dan mewah. Dalam pada itu, kita masih saja berbicara pertumbuhan ekonomi mau 4%, 5%, atau 7%, tanpa berupaya keras memprioritaskan pemerataannya ataupun berusaha sedikit lebih ‘sederhana’ di tengah kemiskinan yang menjerat kurang lebih 36 juta rakyat Indonesia. Kita dapat belajar pada ekonomi rakyat kita, terutama di perdesaan, yang masih memegang prinsip kebersamaan dan solidaritas sosial-ekonomi dalam kegiatan mereka. Ekonomi Pancasila berfungsi sebagai platform ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya-upaya ‘redistribusi pendapatan’.

Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal ‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.

Lalu, kenapa saat ini nasionalisme ekonomi seakan-akan telah dianggap tidak penting, tidak relevan, dan tidak perlu diperjuangkan? Lihat saja, petani dan peternsk kecil kita begitu ‘menjerit’ di saat ada impor beras, gula, dan paha ayam. Apa gunanya kampanye cinta produk dalam negeri bila pemihakan terhadap pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen lokal masih setengah hati. Lagi pula, mengapa kita ragu untuk melakukan ‘proteksi’ terhadap petani kita di saat Amerika, Jepang, negara-negara Eropa memberikan perlindungan kepada petani-petani mereka. Lebih lanjut, justru investasi (asing) dan privatisasi BUMN yang saat ini begitu dipercaya sebagai ‘dewa’ pertumbuhan ekonomi dengan melupakan begitu saja sifat pemodal besar untuk mencari tempat yang menguntungkan bagi investasi mereka. Dengan begitu pelarian modal (capital flight) atau relokasi industri adalah wajar bagi mereka, dan memang tidak ada kamus ‘nasionalisme ekonomi’ atau ‘nasionalisme modal’ dalam istilah mereka. Ada kesan kuat bahwa interaksi yang timpang (sub-ordinatif) dengan lembaga asing seperti IMF dan CGI (terkait dengan jebakan utang) telah ‘mengaburkan’ pentingnya kemandirian ekonomi bangsa yang ditopang oleh semangat nasionalisme ekonomi.

Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.

Pemilu 2004 setidaknya merupakan manifestasi demokrasi politik, namun bagaimana dengan manifestasi demokrasi ekonominya? Penghapusan ‘koperasi’ dari penjelasan UUD 45 dan memasukkan ideologi ‘persaingan’ dan ‘pasar bebas’ dalam pasal 33 merupakan runtutan dari kebijakan privatisasi BUMN yang ditentang banyak kalangan. Beralihnya pemilikan BUMN ke investor swasta melalui privatisasi dikhawatirkan justru memperpuruk kesejahteraan ekonomi rakyat (Baswir, 2001). Kita patut prihatin jika aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak terus ‘diobral’ ke pemodal besar apalagi pemodal asing (kasus Indosat). Jika dasar dan pengertian demokrasi ekonomi (dalam penjelasan Pasal 33 ) sudah ‘dihapuskan’, maka dengan platform Ekonomi Pancasila kita berusaha keras untuk mengembalikan hakekat demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan dengan ciri ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’.

Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).

Meskipun otonomi daerah telah mendorong kemandirian dan kreativitas Pemda dalam membangun wilayah mereka, namun masih saja mereka merasa kesulitan untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah. Langkah yang lazim diambil adalah optimalisasi PAD melalui pemberlakuan Perda-Perda yang justru kadang ‘bertentangan’ dengan peraturan di atasnya seperti halnya hasil kajian Depdagri menunjukkan ada sekitar 7000 perda yang dinilai tidak layak diterapkan (Sunarsip, 2004). Keadaan ini dimungkinkan karena masih juga terjadi ketimpangan antarwilayah, antara pusat dan daerah di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimaksudkan untuk mengoreksi sentralisasi ekonomi dan pemerintahan praktis tidak mengubah sedikitpun perimbangan penerimaan negara di Indonesia. Pusat tetap memungut 95 persen, sedangkan PAD seluruh daerah di Indonesia tetap hanya 5 persen. Otonomi hanya mengubah sedikit sisi belanja. Sebelum otonomi pusat membelanjakan 78 persen, kini pusat membelanjakan 70 persen (Khudori, 2004).

Demikian, momentum Pemilu dan Sidang Umum 2004 merupakan saat yang tepat untuk mengoreksi kekeliruan sistem dan paham ekonomi kita, untuk kemudian merombaknya dengan kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila. Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke-Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaannya, sadarkah para capres, caleg, dan calon pejabat pemerintahan lainnya akan kebutuhan adanya platform ekonomi yang khas Indonesia ini? Seandainya mereka (dan partainya) memiliki platform ekonomi tersendiri, kiranya dapat diperdebatkan dengan platform Ekonomi Pancasila. Bangsa kita benar-benar membutuhkan platform ekonomi yang utuh, komprehensif, bernilai historis, dan visio-revolusioner. Bukannya platform ekonomi yang konvensional, parsial, dan ‘eksklusif’ dari bidang bidang lain seperti politik, budaya, dan hukum. Seruan memberantas korupsi atau ‘anti politisi busuk’ saja belum cukup tanpa disertai reformasi (revolusi?) ideologi dan moral ekonomi liberal-kapitalistik yang menumbuhsuburkan praktek korupsi dan kejahatan ekonomi (economic crime) lain di Indonesia. Apakah Pemilu dan Sidang Umum 2004 akan mampu menjawab kebutuhan ini?

Oleh: Awan Santosa, SE -- Asisten Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Pancasil (PUSTEP) UGM.

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_21/artikel_4.htm

CGI, IMF, dan Sistem Ekonomi Pancasila

Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) merupakan sistem ekonomi yang digali dan dibangun dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Beberapa prinsip dasar yang ada dalam SEP tersebut antara lain berkaitan dengan prinsip kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi yang diwujudkan dalam ekonomi kerakyatan, dan keadilan. Sebagaimana teori ekonomi Neoklasik yang dibangun atas dasar faham liberal dengan mengedepankan nilai individualisme dan kebebasan pasar (Mubyarto, 2002: 68), SEP juga dibangun atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari nlai-nilai agama, kebudayaan, adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat Indonesia.

Dengan demikian dalam merumuskan SEP ini perlu dicari sumber-sumber yang menjadi “acuan tindak” dari masyarakat, yang antara lain bisa terefleksi dalam beragam peribahasa (pepatah) yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan moral kehidupan di segala bidang, disamping dari kesenian (wayang, tari-tarian, lagu), petatah-petitih, ataupun dongeng. Peribahasa mengandung beragam makna, bisa berupa peringatan, prinsip dan sikap hidup, ajaran, nilai-nilai, ataupun etika, yang semuanya mengandung makna atau ajaran dan nilai yang disepakati masyarakat. Misalnya saja beberapa peribahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita adalah: “Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” (ajaran untuk bekerja keras). Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing (ajaran tentang kebersamaan, pemerataan, dan keadilan), Kalah jadi abu, menang jadi arang (peringatan untuk hindari konflik), Ketika ada sama dimakan, waktu tak ada sama ditahan (sikap hidup yang berorientasi pada keadilan), Ada udang dibalik batu (ajaran untuk tidak bermaksud buruk), Air beriak tanda tak dalam (perilaku-ajaran). Atau peribahasa Barat, yang sesuai dengan nilai yang dianutnya, “A golden key open every door” (Dengan uang segala kesulitan dapat diatasi!).

Pandangan tentang utang

Jika dalam berperilaku ekonomi kita menggali dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita sendiri, maka sebenarnya sudah banyak peringatan untuk sejauh mungkin mengindari utang, atau tidak berutang secara berlebihan dan diluar kemampuan untuk membayar kembali. Oleh karena itu, mentalitas pengutang yang ditunjukkan oleh pemerintah, yang menggantungkan pada pinjaman luar negeri untuk mendukung anggaran pemerintah, merupakan penyimpangan sikap hidup dan nilai-nilai serta ajaran ekonomi yang mengakar dalam masyarakat. Pandangan hidup ekonomi ini bisa dilihat dari beragam pepatah (peribahasa), yang mengingatkan untuk berhati-hati dalam berutang.

Ajaran tentang utang-piutang dalam peribahasa ini, misalnya, mengatakan “Utang melilit pinggang” atau “Utang sebanyak gulu” yang mengandung nilai untuk tidak berlebihan dalam berutang. Pepatah lain “Besar pasak dari pada tiang” merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan ekonomi masyarakat untuk hidup sesuai dengan kemampuannya dan tidak bersifat hedonistik, mengajarkan untuk tidak memaksakan diri dalam berkonsumsi jika itu pada akhirnya memberatkan. Hidup harus sesuai dengan batas-batas yang dimilikinya, dan tidak tergantung pada orang lain (kemandirian dan nasionalisme) Sebagai suatu norma (elemen dari sistem), “ajaran” yang terkandung dalam pepatah itu diakui sebagai kebenaran oleh masyarakat Indonesia. Ini tidak berarti bahwa utang itu tidak dibolehkan sama sekali, melainkan mengingatkan bahwa dalam berutang perlu dilihat kemampuan untuk membayar kembali, dan pengeluaran harus dikendalikan.

Dengan dasar falsafah hidup yang terkandung dalam peribahasa yang menjadi norma ekonomi tersebut dapat dinilai sejauh mana utang-utang luar negeri yang dibuat oleh masyarakat Indonesia (pemerintah dan swasta) saat ini sesuai dengan norma ekonomi kita. Nilai utang luar negeri yang totalnya mencapai US$141 milyar (lebih separo adalah utang pemerintah), jika dilihat dengan berbagai indikator makro yang ada, sudah menggambarkan penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar dari perilaku yang sejalan dengan sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan melihat Debt-service ratio (DSR) atau Debt to GDP ratio (DGR) tergambar bahwa utang ini sudah melampaui kemampuan kita untuk membayar kembali. Misalnya, “konvensi” ahli ekonomi yang moderat, menyatakan bahwa DSR ini maksimal 25%. Namun DSR Indonesia saat ini sudah sekitar 50%.

Utang pemerintah ini dibuat bukan saja ketika Indonesia menghadapi masa sulit, melainkan juga ketika kita sedang “banjir uang dari minyak” (oil boom) di tahun 1970-an dan awal 1980-an. Pada waktu itu yang dilakukan pemerintah bukan menyimpan atau menabung sebagian dana minyak tersebut, sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang menyimpan dan menginvestasikan dananya di negara-negara Barat. Indonesia sebaliknya malah meningkatkan pinjamannya kepada IGGI (yang tahun 1992 berubah menjadi CGI) dengan “jaminan” penerimaan minyak yang besar. Akibatnya, ketika utang sudah mulai jatuh tempo, nila tukar rupiah merosot, dan penerimaan minyak semakin terbatas, Indonesia menghadapi kesulitan membayar kembali utangnya. Kita tejebak dalam fenomena “Gali lubang, tutup lubang”. Di samping itu, ketergantungan pada negara lain menjadi tinggi, dan kedaulatan ekonomi pun “tersandera” pada lembaga-lembaga keuangan internasonal.

Peringatan untuk menggali nilai-nilai SEP

Langkah pemerintah tersebut telah menyimpang dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang mengingatkan dan mengajarkan untuk “Sedia payung sebelum hujan” atau “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Ketika terjadi oil boom, pemerintah seperti terlena dan lupa daratan. Kita lupa bahwa cadangan minyak kita terbatas, harga minyak berfluktuasi, dan ketergantungan penerimaan dari satu komoditi sangat membahayakan perekonomian. Ini sebagai akibat perilaku yang ingin cepat enak, cepat kaya. Padahal sikap demikian merupakan perilaku keliru, yang dalam pepatah lama sudah diingatkan “Baru hendak bertunas sudah dipetik, lama-lama matilah pokoknya” (Baru beruang sedikit sudah boros, akhirnya sengsara). Akibatnya, perekonomian dilanda krisis mendalam, khususnya sektor modern yang akhirnya berdampak pada sektor lainnya.

Kasus terbelenggunya kita pada utang, dan juga terperosoknya Indonesia dalam krisis ekonomi yang terjadi sekarang, merupakan “peringatan” kepada bangsa kita untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yakni nilai-nilai sistem Ekonomi Pancasila, dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Adalah menjadi tanggung jawab kita semua, terutama kalangan cerdik pandai, untuk melakukan kajian-kajian empirik dalam merumuskan nilai-nilai yang membentuk perilaku ekonomi orang Indonesia.

Bagaimanakah selanjutnya kita menyikapi utang luar negeri ini, yang diberikan oleh negara-negara dan lembaga internasional anggota CGI? Sikap pemerintah yang mulai “menurunkan” besaran komitmen utang luar negeri yang dibuat sudah merupakan kebijakan yang tepat, walaupun nilai penurunannya masih relatif kecil yang hanya “mengimbangi” nilai bunga dan cicilan utang yang dijadwalkan kembali. Untuk mengurangi ketergantungan dan beban generasi masa akan datang, sudah selayaknya ada penjadwalan yang jelas tentang kapan kita harus berhenti berutang. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan komitmen pinjaman yang sudah dibuat sebelumnya, yang sampai saat ini banyak yang belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Misalnya tahun lalu, sekitar 25% komitmen pinjaman dari CGI tidak bisa ditarik, baik karena ketidaksiapan program yang didanai maupun karena counterpart fund yang tidak memadai. Akibatnya Indonesia harus membayar commitment fee yang besarnya 0,75% dari nilai pinjaman yang tidak ditarik tersebut.

Pemutusan Kontrak dengan IMF

Dalam kaitan dengan IMF, juga mendesak bagi pemerintah untuk segera menghentikan kontrak dngan lembaga internasional tersebut, walaupun sebenarnya juga sudah terlambat. “Jeratan” IMF pada kendali kebijakan perekonomian Indonesia, sehingga menurunkan kedaulatan nasional ekonomi kita, sudah berjalan sangat lama dengan hasil yang minimal, menelan biaya sosial-ekonomi yang mahal. Tetangga kita yang sama-sama mengalami krisis, Korea Selatan dan Thailand, hanya kurang dari dua tahun sudah melepaskan diri dari IMF. Bahkan, Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak ingin dibantu atau berlama-lama berada di “tangan” IMF, karena tak ingin kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak ingin nasionalisme ekonominya “digadaikan” dengan hasil yang belum jelas. Sayangnya Indonesia, yang dalam sistem ekonominya yang ber-Pancasila mensyaratkan nasionalisme ekonomi, justru terjebak dalam tangan IMF, dan ternyata juga gagal memulihkan ekonomi nasional.

Jika kita mengatakan IMF gagal membantu pemulihan ekonomi Indonesia, ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Karena sejauh ini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi negara berkembang. Tak kurang dari Joseph E. Stiglitz, ekonom dunia terkemuka peraih nobel tahun 2001, menohok IMF yang dikatakannya dengan ahli ekonom “kelas tiga” ingin mengatur negara-negara yang sangat komplek permasalahan ekonominya. Hasilnya, menurut Stiglitz dalam “Globalization and Its Discontents” , justru mendorong penyebaran resesi ekonomi dari satu negara ke negara lain, menyulitkan kaum miskin karena IMF sangat berorientasi pada kepentingan elit para kreditor, menimbulkan pengangguran, dan sebagainya.

Kritik Stiglitz pada IMF tersebut tampak jelas dalam ekonomi Indonesia saat ini. Sebagai syarat bantuan IMF (yang pada awalnya saja ada 130 prasyarat), anggaran diketatkan dan defisit ditekan yang akhirnya menuai kelambanan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran, penjualan BUMN secara obral dan jatuh ke tangan asing, hapusnya segala bentuk subsidi dalam tempo singkat dengan konsekuensi merosotnya daya beli masyarakat, terus meningkatnya penduduk miskin, dan sebagainya. Kita terpaksa mengikuti pandangan IMF karena itulah syarat dari pinjaman yang diberikan. Namun demikian harus diakui IMF cukup membantu mengatasi persoalan jangka pendek, seperti gejolak nilai tukar rupiah. Dalam hal ini, dana dan figur IMF cukup membantu mengatasi gejolak kurs dan mempersuasi pelaku ekonomi untuk tetap berusaha di tanah air.

Oleh karena itu, bagaimanapun juga mundurnya IMF kelak tetap perlu disikapi dan diwaspadai kemungkinan dampak negatif yang muncul. Birokrasi ekonomi kita selama lima tahun didukung secara ketat oleh IMF dan kemudian dilepas, sehingga yang terjadi bagaikan “anak yang ditinggal pergi” orang tuanya. Akibatnya mengalami shock karena kehilangan penuntun dan belum siap mandiri. Ini pula yang bisa terjadi dengan penyusun dan pelaksana kebijakan ekonomi nasional. Namun demikian inilah proses pendewasaan yang harus dihadapi perencana dan pelaksana kebijakan ekonomi Indonesia. Karenanya aspek-aspek makro ekonomi seperti berkaitan dengan efisiensi pemanfatan utang luar negeri, masuknya modal asing, peningkatan ekspor, pengendalian impor, penghematan anggaran khususnya yang menggunakan devisa, dan mencegah terjadinya capital outflow. Kebijakan yang berkaitan dengan mengundang masuk dana dari luar negeri dan menghemat keluarnya devisa merupakan langkah yang diharapkan bisa mengkompensasi dana yang tak lagi mengucur dari IMF.

Oleh: Drs. Edy Suandi Hamid, MEc. -- Staf Pengajar FE Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_4.htm

Prospek Bisnis UKM dalam Era Perdagangan Bebas dan Otonomi Daerah

ABSTRAKSI

Usaha kecil menengah telah terbukti mampu hidup dan berkembang di dalam badai krisis selama lebih dari enam tahun, keberadaannya telah dapat memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar hampir 60%, penyerapan tenaga kerja sebesar 88,7% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia dan kontribusi UKM terhadap ekspor tahun 1997 sebesar 7,5% (BPS tahun 2000). Dalam menghadapi era perdagangan bebas dan otonomisasi daerah maka pengembangan UKM diarahkan pada : (1). Pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM; (2). Pengembangan lembaga-lembaga financial yang dapat memberikan akses terhadap sumber modal yang transparan dan lebih murah; (3). Memberikan jasa layanan pengembangan bisnis non finansial kepada UKM yang lebih efektif; dan (4). Pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri. Berkembang atau matinya usaha kecil menengah dalam era perdagangan bebas tergantung dari kemampuan bersaing dan peningkatan efisiensi serta membentuk jaringan bisnis dengan lembaga lainnya.

Krisis ekonomi kini sudah berusia lebih dari enam tahun. Namun tanda-tanda pemulihan yang diharapkan agaknya masih berjalan sangat lambat dan terseok-seok, walaupun nilai tukar rupiah semakin menguat dan kondisi sosial-politik nasional sudah semakin membaik. Pemulihan ekonomi yang berjalan lambat ini ditunjukkan antara lain dari masih rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan serta "mandegnya" perkembangan kegiatan usaha berskala besar baik PMA maupun PMDN. Secara detail angka-angka perkembangan indikator makro ekonomi yang belum menjanjikan dapat kita lihat pada laporan yang dikeluarkan, baik oleh Badan Pusat Statistik maupun dalam literatur-literatur ekonomi lainnnya (misalnya, Prema Chandra Athukorola, Bulletin Of Indonesian Economic Studies, Agustus 2002; Badan Pusat Statistik, 2002 dan 2003). Mesin pemulihan ekonomi selama ini masih sangat tergantung pada besaran tingkat konsumsi semata, dan sedikit didorong oleh kegiatan investasi portofolio dan ekspor.

Ditengah pemulihan ekonomi yang masih lambat ini, perekonomian nasional dihantui pula dengan ambisi nasional untuk melakukan otonomi daerah dan desentralisasi. Selain itu, adanya komitment nasional untuk melaksanakan perdagangan bebas multilateral (WTO), regional (AFTA), kerjasama informal APEC, dan bahkan ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2020 merupakan tambahan pekerjaan rumah yang harus pula disikapi secara serius. Dalam hal otonomi daerah dan desentralisasi, berbagai persoalan masih semrawut. Ini terjadi karena disatu pihak ada pihak-pihak tertentu yang tetap berkeinginan untuk melakukan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan UU no. 22/1999 dan UU no. 25/1999, sedangkan di pihak lain banyak yang menuntut revisi alas kedua undang-undang tersebut. Tarik menarik ini selanjutnya menimbulkan berbagai ketidakpastian, sehingga banyak daerah menetapkan berbagai peraturan baru khususnya yang berkaitan dengan pajak daerah, lisensi dan pungutan lainnya. Diperkirakan lebih dari 1000 peraturan yang berkaitan dengan pajak dan pungutan lainnya telah dikeluarkan daerah-daerah sejak diundangkannya pelaksanaan desentralisasi (Jakarta Post, 6 Mei 2002). Peraturan-peraturan ini telah menghasilkan beban berat bagi pelaksanaan kegiatan usaha di daerah (Firdausy, 2002; Ilyas Saad, 2002).

Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini, pengembangan kegiatan usaha kecil dan menengah (selanjutnya disebut UKM) dianggap sebagai satu alternatif penting yang mampu mengurangi beban berat yang dihadapi perekonomian nasional dan daerah. Argumentasi ekonomi dibelakang ini yakni karena UKM merupakan kegiatan usaha dominan yang dimiliki bangsa ini. Selain itu pengembangan kegiatan UKM relatif tidak memerlukan kapital yang besar dan dalam periode krisis selama ini UKM relatif Utahan banting", terutama UKM yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian. Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika telah menyebabkan UKM dalam sektor pertanian dapat mengeruk keuntungan yang relatif besar. Sebaliknya, UKM yang tergantung pada input import mengalami keterpurukan dengan adanya gejolak depresiasi rupiah ini.

Tulisan singkat ini bertujuan untuk mediskusikan prospek bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah. Untuk membahas topik ini, berikut akan diuraikan potensi dan kontribusi UKM terhadap perekonomian nasional sebagai latar belakang analisis. Kemudian, didiskusikan upaya apa yang harus dilakukan dalam pengembangan UKM khususnya di daerah dalam menghadapi perdagangan bebas dan otonomi daerah.



Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian

Usaha kecil dan menengah (UKM) memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar), pada tahun 2000 meliputi 99,9 persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Sedangkan usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan tahunan yang berkisar antara Rp. 1 Milyar dan Rp. 50 Milyar) meliputi hanya 0,14 persen dari jumlah total usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai keseluruhan meliputi 99,9 per sen dari jumlah total usaha yang bergerak di Indonesia.

Besarnya peran UKM ini mengindikasikan bahwa UKM merupakan sektor usaha dominan dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan BPS (2000), pad a tahun 1999 usaha-usaha kecil (termasuk usaha rumah tangga) mempekerjakan 88,7 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia., sedangkan usaha menengah mempekerjakan sebanyak 10,7 persen. Ini berarti bahwa UKM mempekerjakan sebanyak 99,4 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia. Disamping ini nilai tambah bruto total yang dihasilkan usaha-usaha kecil secara keseluruhan meliputi 41,9 per sen dari Produk Domestik Bruto (POB) Indonesia pad a tahun 1999, sedangkan usaha-usaha menengah secara keseluruhan menghasilkan 17,5 persen dari POB (Iihat juga Thee Kian Wie, 2001). Dengan demikian, nilai tambah bruto total yang dihasilkan UKM secara keseluruhan hampir sebesar 60 persen dari POB (TabeI1).

Tabel1. Jumlah tenaga kerja dan kontribusi UKM pada PDB, 1999




Usaha Kecil

(termasuk mikro)


Usaha

Menengah


Usaha Kecil

Dan Menengah


Usaha

Besar


Total

Jumlah Usaha


36.761.689

(99.85%)


51.889

(0.14%)


36.813.588

(99.99%)


1831

(0.01%)


36.816.409

(100.0%)



Dr. Carunia Mulya Firdausy, MA., APU. Ahli Peneliti Utama bidang Ekonomi -Lembaga Ilmu Pengtahuan Indonesia, e-mail address: firdausy@cbn.net.id

Sumber: http://www.smecda.com/deputi7/file_infokop/edisi%2023/CARUNYA%20MULYA.8.htm

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika: Pendekatan Moneter 1987.2 - 1999.1

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Kompleksitas sistem pembayaran dalam perdagangan internasional semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang berkembang akhir-akhir ini. Hal tersebut terjadi akibat semakin besarnya volume dan keanekaragaman barang dan jasa yang akan diperdagangkan di negara lain. Oleh karena itu upaya untuk meraih manfaat dari globalisasi ekonomi harus didahului upaya untuk menentukan kurs valuta asing pada tingkat yang menguntungkan. Penentuan kurs valuta asing menjadi pertimbangan penting bagi negara yang terlibat dalam perdagangan internasional karena kurs valuta asing berpengaruh besar terhadap biaya dan manfaat dalam perdagangan internasional.

Posisi penting kurs valuta asing dalam perdagangan internasional mengakibatkan berbagai konsep yang berkaitan dengan kurs valuta asing mengalami perkembangan dalam upaya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurs valuta asing. Konsep-konsep yang berkaitan dengan penentuan kurs valuta asing mulai mendapat perhatian besar dari ahli ekonomi terutama sejak kelahiran kurs mengambang pada tahun 1973. Sejak saat itu kurs valuta asing dibiarkan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi variabel-variabel yang mempengaruhinya.

Konsep penentuan kurs diawali dengan konsep Purchasing Power Parity(PPP), kemudian berkembang konsep dengan pendekatan neraca pembayaran ( balance of payment theory ). Perkembangan konsep penentuan kurs valuta asing selanjutnya adalah pendekatan moneter (monetary approach) . Pendekatan moneter menekankan bahwa kurs valuta asing sebagai harga relatif dari dua jenis mata uang, ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran uang. Pendekatan moneter mempunyai dua anggapan pokok , yaitu berlakunya teori paritas daya beli dan adanya teori permintaan uang yang stabil dari sejumlah variabel ekonomi agregate. Hal tersebut berarti model pendekatan moneter terhadap kurs valuta asingdapat ditentukan dengan mengembangkan model permintaan uang dan model paritas daya beli.

Di Indonesia , ada tiga sistem yang digunakan dalam kebijakan nilai tukar rupiah sejak tahun 1971 hingga sekarang. Antara tahun 1971 hingga 1978 dianut sistem tukar tetap ( fixed exchange rate) dimana nilai rupiah secara langsung dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat ( USD). Sejak 15 November 1978 sistem nilai tukar diubah menjadi mengambang terkendali ( managed floating exchange rate) dimana nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan USD, namun terhadap sekeranjang valuta partner dagang utama. Maksud dari sistem nilai tukar tersebut adalah bahwa meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun tetap menitikberatkan unsur pengendalian. Kemudian terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan mengambang terkendali terjadi pada tanggal 14 Agustus 1997, dimana jika sebelumnya Bank Indonesia menggunakan band sebagai guidance atas pergerakan nilai tukar maka sejak saat itu tidak ada lagi band sebagai acuan nilai tukar. Namun demikian cukup sulit menjawab apakah nilai tukar rupiah sepenuhnya dilepas ke pasar ( free floating) atau masih akan dilakukan intervensi oleh Bank Indonesia. Dengan mengamati segala dampak dari sistem free floating serta dikaitkan dengan kondisi/struktur perekonomian Indonesia selama ini nampaknya purely free floating sulit untuk dilakukan. Kemungkinannya adalah Bank Indonesia akan tetap mempertahankan managed floating dengan melakukan intervensi secara berkala, selektif , dan pada timing yang tepat.

Dengan melemahnya nilai tukar mata uang Indonesia menandakan lemahnya kondisi untuk melakukan transaksi luar negeri baik itu untuk ekspor-impor maupun hutang luar negeri. Terdepresiasinya mata uang Indonesia menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap mata uang domestik.

Pembicaraan mengenai penentuan kurs valuta asing sekarang ini semakin banyak diperdebatkan. Jika dilihat dari sudut pandang pendekatan moneter, para ekonom pada umumnya melihat kurs valuta asing dipengaruhi oleh variabel fundamental ekonomi , antara lain jumlah uang beredar, tingkat output riil dan tingkat suku bunga ( Mac Donald daan Taylor, 1992,4) .Sementara itu Tucker etal (1991) menambahkan variabel inflasi dalam model tersebut. Selain itu ada pula ekonom yang mempertimbangkan asa pasar ( market sentiment) sebagai faktor yang menentukan tinggi rendahnya kurs valuta asing. Pendekatan moneter merupakan pengembangan konsep paritas daya beli dan teori kuantitas uang. Pendekatan ini menekankan bahwa ketidakseimbangan kurs valuta asing terjadi karena ketidakseimbangan di sektor moneter yaitu terjadinya perbedaan antara permintaan uang dengan penawaran uang ( jumlah uang beredar) ( Mussa, 1976,47)

Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurs adalah pendekatan moneter. Dengan pendekatan moneter maka diteliti pengaruh variabel jumlah uang beredar dalam arti luas, tingkat suku bunga, tingkat pendapatan, dan variabel perubahan harga. Selain itu dengan mempertimbangkan pelepasan band intervensi oleh Bank Indonesia, sehingga menyebabkan kurs menjadi free floating ,maka dipakai variable dummy untuk mengetahui pengaruh pelepasan band intervensi terhadap kurs.

Dipakainya dollar Amerika sebagai pembanding, karena dollar Amerika merupakan mata uang yang kuat dan Amerika merupakan partner dagang yang dominan di Indonesia.



II. KERANGKA TEORI

Pendekatan Moneter terhadap Kurs Devisa

Pendekatan moneter menyatakan bahwa kurs devisa sebagai harga relatif dari dua jenis mata uang, ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran uang. Pendekatan moneter pada dasarnya terdiri dari dua versi, yaitu versi harga fleksibel (fleksible price version) dan versi harga kaku (sticky price version). Versi harga kaku muncul akibat adanya kritik terhadap anggapan adanya fleksibilitas harga dalam versi harga fleksibel. Menurut versi ini, anggapan adanya kekakuan harga lebih realistis bila menyangkut jangka waktu yang pendek. (Ronald MacDonald;1990). Versi harga kaku sering disebut pendekatan Keynesian karena anggapan adanya variabel jumlah uang beredar yang endogen. Kedua anggapan tersebut tidak mengakui efektifitas mekanisme pasar dalam menyelesaikan ketidakseimbangan pasar uang yang terjadi dalam jangka pendek.

Dalam matematis versi harga kaku dapat diperoleh dengan terlebih dahulu merumuskan kondisi keseimbangan pasar uang dalam dan luar negeri, dimana jumlah uang beredar dianggap berhubungan positif dengan tingkat suku bunga. Kondisi keseimbangan tersebut adalah sebagai berikut :

Mt + drt = Pt + aYt- b rt (1)

M*t + d r*t = P*t + a Y*t - b r*t (2)

Definisi masing-masing variabel sama dengan yang ada diversi harga fleksibel, sedangkan (Mt + d rt ) dan ( M*t + d R*t ) merupakan jumlah uang beredar yang dianggap sensitif terhadap suku bunga.

Anggapan adanya harga mengakibatkan paritas daya beli berlaku hanya dalam jangka panjang. Kondisi tersebut adalah sebagai berikut :

S’t = Pt - P*t (3)

Dimana S’t adalah kurs nominal dalam jangka panjang.

Selanjutnya versi ini menganggap paritas suku bunga tidak tertutup (uncoverd interest rate parity) berlaku dalam jangka pendek, yaitu sebagai berikut:

Se t+1 - St = rt - r*t (4)

Dimana Set+1 adalah kurs yang diharapkan pada periode t+1 berdasarkan informasi yang tersedia pada periode t .

Namun demikian, perubahan kurs yang diharapkan menurut versi ini adalah sebagai berikut :

Set+1 – St = q(S’t – St ) + (iet - ie *t) (5)

dimana

(iet - ie *t) = perbedaan laju inflasi yang diharapkan antara dalam dan luar negeri

Melalui substitusi persamaan (4) ke (5) akan didapat persamaan baru, yaitu :

St – S’t ) = -1/ q [(rt - iet ) - ( r*t - ie *t) ] (6)

Persamaan ini menyatakan bahwa penyimpangan kurs dari posisi keseimbangan jangka panjang tergantung pada perbedaan suku bunga riil diantara dua negara.

Model matematis versi harga kaku diperoleh dengan substitusi persamaan (1) dan (2) ke dalam persamaan (3) dan persamaan (6) , yaitu :

St = (Mt - M*t ) - a( Yt - Y*t ) (d + b + - 1/ q ) (rt - r*t ) + (1/q (iet - ie *t) (7)

Menurut versi harga kaku, koefisien perbedaan jumlah uang beredar dan laju inflasi yang diharapkan adalah positif sedangkan perbedaan pendapatan riil adalah negatif. Namun demikian, koefisien perbedaan suku bunga memiliki dua tanda (ambiguous sign). Koefisien perbedaan suku bunga terdiri dari tiga komponen berbeda yang masing-masing mewakili cara yang berbeda bagaimana suku bunga mempengaruhi kurs devisa. Koefisien d dan b berkaitan dengan penyesuaian jumlah uang beredar dan permintaan uang sebagai tanggapan terhadap perubahan suku bunga sedangkan koefisen -1/ q berkaitan dengan pengaruh perpindahan modal terhadap kurs devisa. Dengan demikian koefisien dari perubahan suku bunga menurut versi harga kaku tergantung dari interaksi antara ketiga komponan tersebut (Alan L,Tucker,1991)
III. METODA PENELITIAN

3.1 Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini merupakan data sekunder runtun waktu (time series) dari tahun 1987.2 sampai dengan 1999.1 yang diambil dari data yang diterbitkan oleh International Financial Statistik , dan juga dari laporan Bank Indonesia



3.2. Model Dasar dan Alat Analisis



Model dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model dari Dornbusch dan Frankel (1984):



St = a + b1 MX t - b2 Yt + b3 RX t + b4 PX ……………



dimana:



St = kurs Rupiah/Dollar periode t

MX t = perbedaan uang beredar dalam arti luas di Indonesia dan Amerika pada periode t

YXt = perbedaan tingkat pendapatan riil Indonesia dan Amerika periode t

RX t = perbedaan suku bunga Indonesia terhadap suku bunga LIBOR periode t

PXt = tingkat perubahan harga relatif di Indonesia dan Amerika pada periode t

Dengan berdasar pada model dasar yang ada , alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan mempergunakan Error Correction Model (ECM) atau Model Koreksi Kesalahan . Dengan ECM model yang ada dapat dinyatakan dakam bentuk:



DSt= go + g1 DMX t + g2 DYXt + g3 DRX t + g4 DPX t + g5 BMX t + g6 BYXt + g7 BRXt + g8 BPXt + g9 B.ECT

ECT = Error Correction Term

Kemudian untuk mengetahui pengaruh pelepasan band intervensi maka dibuat variabel dummy, sehingga model penelitian menjadi :



DSt= go + g1 DMX t + g2 DYXt + g3 DRX t + g4 DPX t + g5 BMX t + g6 BYXt + g7 BRXt + g8 BPXt + g9 B.ECT + DUMMY

ECT = Error Correction Term
3.3. Analisis Perilaku Data

1. Uji Akar-Akar Unit



Uji ini dapat dipandang sebagai uji stasionaritas. Hal ini karena pada prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dengan demikian pertanyaan berapa kali suatu data runtun waktu harus dideferensiasi agar diperoleh data stasioner akan terjawab.( Insukindro, 1992b). Data ekonomi yang tidak bersifat stasioner menyebabkan regresi lancung. Unit roots test dilakukan berdasarkan uji yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979). Uji tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :



DX t = ao + a1 BXt + å biBiDXt

DX t = co + c1 T + c2BXt + å biBiDXt



Dimana DXt = Xt-X t-1 , BX t = X t-1 , T = trend waktu dan Xt adalah variabel yang diamati pada periode t dan B merupakan operasi kelambanan waktu ke udik (backward lag operator)





2. Uji Derajat Integrasi



Unit derajat integrasi dilakukan apabila data tidak stasioner pada waktu uji stasioneritas. Uji ini dimaksudkan untuk melihat pada derajat berapakah data akan stasioner.

Dalam kasus dimana data yang digunakan tidak stasioner , Granger dan Newbold ( 1974) berpendapat bahwa regresi yang menggunakan data tersebut biasanya mempunyai nilai R2 yang relatif tinggi namun memiliki statistik Durbin-Watson yang rendah. Ini memberi indikasi bahwa regresi yang dihasilkan adalah lancung atau semrawut atau sering dikenal dengan regresi lancung atau spurious regression. Secara umum apabila suatu data memerlukan deferensiasi sampai ke d supaya stasioner, maka dapat dinyatakan sebagai I (d). Uji ini mirip dengan akar-akar unit.. Dengan demikian untuk dapat melakukan uji tersebut perlu ditaksir model otoregresif berikut dengan OLS :



D2X t = co + c1 BDXt + å fi BiD2Xt

D2X t = go + g1 T + g2BXt + å fiBiD2Xt

Nilai statistik DF (ADF) atau nilai kritis McKinnon kemudian dibandingkan dengan

nisbah t koefisien regresi BDXt . Jika c1 dan g2 sama dengan 1 ,maka variabel Xt dikatakan berintegrasi pada derajat I(1), maka data didiferensikan lagi untuk melihat apakah data stasioner pada I(2) dan seterusnya.

3. Uji Kointegrasi



Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi. Uji kointegrasi dimaksudkan untuk menguji apakah residual regresi yang dihasilkan stasioner atau tidak (Engle dan Granger, 1987). Untuk melakukan uji kointegrasi, pertama-tama peneliti perlu mengamati perilaku data ekonomi runtun waktu yang akan digunakan. Ini berarti pengamat harus yakin terlebih dahulu apakah data yang akan digunakan stasioner atau tidak, yang antara lain dapat dilakukan dengan uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi. (Insukindro, 1992c, 260) Apabila terjadi satu atau lebih variabel mempunyai derajat integrasi yang berbeda , maka variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi (Engle dan Granger,1987). Pada umumnya , sebagian besar pembahasan mengenai issu terkait memusatkan perhatiannya pada variabel yang berintegrasi 0 I(0) atau satu I(1).

Suatu himpunan variabel runtun waktu X dikatakan berkointegrasi pada derajat d,b atau ditulis CI(d,b) bila setiap elemen X berintegrasi pada derajat d atau I(d) dan terdapat saatu vektor k yang tidak sama dengan nol sehingga W = k’XI (d,b), dengan b>0 dan k merupakan vektor kointegrasi. Terdapat tiga uji yang umum dilakukan untuk menguji hipotesis ada dan tidaknya kointegrasi, yaitu uji CRWD (Cointegrating-Regression Durbin Watson) , DF (Dickey-Fuller) dan ADF ( Augmented Dickey Fuller ) ( Engle dan Granger, 1987)

Untuk menghitung statistik CRDW, DF dan ADF ditaksir regresi kointegrasi dengan metode OLS



Yt = mo + m1X1t + m2X2t + Et

Dimana Y merupakan variabel tak bebas, daan X adalah variabel bebas, dan E adalah variabel pengganggu. Langkah selanjutnya regresi berikut ditaksir dengan OLS

DEt = p1 B Et

DEt = q1Bet + åw1 B DEt



3.4. Model Koefisien Regresi Jangka Panjang



Model koefisien regresi jangka panjang dapat digunakan sebagai alat estimasi variabel harapan(Wickens dan Breusch, 1988, 189). Besaran dan simpangan baku koefisien regresi jangka panjang dapat digunakan untuk mengamati hubungan jangka panjang antar vektor variabel ekonomi seperti yang dikehendaki teori ekonomi.

Besaran dan simpangan baku koefisien regresi jangka panjang diperoleh melalui pembentukan model dinamis, dalam hal ini dengan mempergunakan error corection model ( model koreksi kesalahan). Misalkan bentuk model koreksi kesalahan tersebut adalah : ( Insukindro,1990,2)



DYt = a +b1 DXt + b2 BXt + b3 B (Xt-Yt)

Dimana : DYt = (1-B) Yt dan DXt = (1-B) Xt

Hubungan jangka panjang antara variabel Yt dan Xt

Yt = a + b Xt

Besaran koefisien regresi jangka panjang untuk intersep (a) dan variabel Xt (b) adalah:



a = a/b3 dan b = (b1+b2)/ b3

Selanjutnya dengan cara tersebut di atas, simpangan baku koefisien regresi jangka panjang untuk a dan b dapat dihitung dengan persamaan berikut :



Var (a ) = a VT (b3,a) a

aT = [da /da .d a/db3] = [ 1/b3- a/b3]

Var (b) = bVT (b3,a) b

bT = [db /da . d b/db3 ] = [ 1/b3- b/b3]



dari uraian di atas terlihat bahwa simpangan baku koefisien regresi dapat dihitung bila dapat ditaksir besaran koefisien regresi dan matrik varians-kovarians parameter yang bersangkutan. Besaran dan matriks kovarians dapat diperoleh dengan bantuan komputer yang berkaitan dengan analisis regresi.


IV.ANALISIS DATA

1. Uji Akar Unit dan Derajat Integrasi



Dengan memperhatikan nilai DF dan ADF untuk uji akar-kar unit dan dibandingkan dengan nilai kritis Mac Kinnon nampak bahwa pada derajat keyakinan 5 %, tidak satupun variabel yang digunakan dalam penelitian ini stasioner. Untuk itu perlu dilakukan uji derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat atau orde keberapa variabel yang diamati akan stasioner

Hasil dari nilai DF dan ADF yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai kritis Mac Kinnon ternyata menunjukkan hasil bahwa semua variabel berintegrasi pada derajat atau orde satu ( I(1)).



Tabel 1



Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi

VAR


DF

ADF


VAR


DF


ADF

LS


1.8747


0.56412


DLS


-3.2239


-3.5974

LMX


-2.7501


-2.6875


DLMX


-4.1900


-4.3427

LYX


-0.4148


-3.5304


DLYX


-4.9610


-5.0359

PX


-1.4047


-2.1112


DPX


-4.5248


-4.5816

RX


-1.4675


-1.8630


DRX


-4.1736


-4.9461
4.2. Uji Kointegrasi

Setelah diketahui bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dianggap mempunyai derajat integrasi yang sama yaitu berintegrasi pada derajat 1 (I(1)), maka langkah selanjutnya adalah memberlakukan uji kointegrasi .

Tabel 2

Estimasi OLS Regresi Kointegrasi LS



LS = 4,6808 + 0,01180 LMX + 0,0554 LYX + 7,6783 PX + 0,0243 RX

(3,5317) (0,9888) (8,3856) (7,5160)



CRDW = 1,6202 DF = -3,4632 ADF = -2,6284


Keterangan : angka dalam kurung merupakan rasio t koefisien yang bersangkutan





Dengan memperhatikan nilai statistik CRWD, DF dan ADF pada tabel 2 terlihat bahwa variabel LS , LMX , LYX , PX serta RX secara statistik dengan derajat keyakinan sebesar 5 persen tidak mampu membentuk himpunan variabel yang berkointegrasi. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel yang tekait dalam penelitian in yaitu variabel nilai kurs jumlah uang beredar, tingkat pendapatan nasional riil , tingkat suku bunga serta laju inflasi tidak mempunyai hubungan keseimbangan jangka panjang seperti yang diharapkan oleh teori penentuan nilai tukar (kurs) dengan mempergunakan pendekatan moneter. Nampaknya perlu dipertimbangkan variabel-variabel lain yang tidak dipergunakan dalam penelitian ini yang mempengaruhi keseimbangan dalam jangka panjang.(RL Thomas, 1997, 427)



4.3. Estimasi OLS dengan Model Koreksi Kesalahan

Tabel 3
Hasil Estimasi Model Koreksi Kesalahan

1987.2 - 1999.1



D(LS) = 1,3552 + 0,0524 D(LMX) + 0,0128 D(LYX) + 4,5345 D(PX) - 0,0058 D(RX)

(1,9866) (3,2375) (0,5993) (10.0949) (-1.1712)

*

0,2301 BLMX - 0.2334 BLYX + 1,5268 BPX – 0,2495 BRX

(-2,4112) (-1,9268) (1.3379) (- 2,2498)

+ 0,2839 DUMMY + 0,2498 BECT

(5.4940) (2,2345)

R2 = 0,9266 R2 = 0,9067 DW = 2.4824



UJI DIAGNOSTIK


1. OTOKORELASI = DW = 2,4824

2. HETEROSKEDASTISITAS = ARCH = 3,24

3. NORMALITAS = Jarque – Berra = 6,5


Keterangan : Angka dalam kurung merupakan rasio t koefisien yang bersangkutan

Hasil studi empirik seperti yang terlihat pada tabel 3 menunjukkan bahwa estimasi dengan mempergunakan Model Koreksi Kesalahan atau ECM dapat digunakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai Error Correction Term (ECT) menunjukkan nilai yang signifikan , yaitu sebesar 2,23. Hal ini mengindikasikan bahwa spesifikasi model koreksi kesalahan yang dipakai sudah benar.

Hasil estimasi untuk variabel perbedaan relatif jumlah uang beredar antar dua negara ( Indonesia terhadap Amerika Serikat) yaitu variabel LMX menunjukkan hasil bahwa dalam jangka pendek variabel LMX adalah signifikan secara statistik dan tanda yang ditunjukkan adalah benar sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Tanda koefisien regresi yang positif berarti bila terjadi kenaikan jumlah uang beredar secara relatif diantara dua negara maka akan terjadi apresiasi dollar terhadap rupiah atau dengan kata lain rupiah akan mengalami depresiasi. Nilai koefisien regresi jangka pendek untuk LMX sebesar 0,0524 berarti bahwa bila terjadi kenaikan sebesar 1 % pada jumlah uang beredar relatif di antara dua negara, dengan anggapan ceteris paribus maka akan mengakibatkan terjadinya kenaikan pada kurs dollar Amerika terhadap rupiah atau dengan kata lain rupiah akan terdepresiasi sebesar 0,0524 %. Sedangkan pengaruh jangka panjang variabel perbedaan relatif jumlah uang beredar antara Indonesia dan Amerika (LMX) secara statistik pada derajat keyakinan sebesar 5 persen variabel ini signifikan. Namun demikian bila dikaitkan dengan tanda yang diperoleh dari hasil estimasi menunjukkan tanda yang berbeda dari yang diharapkan. Tanda yang diperoleh dari hasil estimasi adalah negatif , hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan perbedaan jumlah uang beredar antara Indonesia dan Amerika Serikat justru akan mengakibatkan depresiasi pada dollar Amerika Serikat dan apresiasi pada nilai rupiah. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Dengan anggapan ceteris paribus dan negara Amerika tidak merubah jumlah uang beredarnya, maka ketidakcocokan uji tanda dan tidak signifikannya variabel perbedaan jumlah uang beredar (LMX) mengindikasikan bahwa kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan cara mengurangi jumlah uang beredar dengan maksud untuk mengapresiasikan rupiah terhadap dollar adalah hanya efektif dalam jangka pendek . jumlah uang beredar. Akan tetapi kenyataan rupiah tetap mengalami depresiasi..

Untuk variabel perbedaan relatif pendapatan nasional riil antara Indonesia dan Amerika Serikat ( LYX), hasil estimasi dalam jangka pendek menunjukkan hasil yang tidak mendukung hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini baik secara statistik dan secara teoritis. Hal ini berarti dalam jangka pendek variabel LYX selama periode penelitian ( 1987.2 sampai dengan 1999.1 ) tidak berpengaruh terhadap kurs rupiah terhadap dollar Amerika. Pengaruh variabel perbedaan relatif pendapatan nasional riil (LYX) ini dalam jangka panjang signifikan secara statistik pada derajat keyakinan 5 persen. Tanda yang diperoleh dari hasil estimasi menunjukkan nilai negatif, hal ini berarti bahwa dengan adanya kenaikan pada variabel LYX akan menyebabkan penurunan atau depresiasi pada mata uang asing ( dollar Amerika ) dan terjadi apresiasi pada mata uang dalam negeri ( rupiah) .Hasil estimasi yang diperoleh dari penelitian ini mendukung atas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Terjadinya peningkatan pendapatan riil dalam negeri ( Indonesia) dalam jangka panjang maka akan menyebabkan peningkatan atas jumlah uang yang diminta di Indonesia. dollar akan mengalami depresiasi sebesar 0.0233 %

Variabel perbedaan perubahan harga antara Indonesia dan Amerika Seikat (PX) , hasil estimasi pada penelitian ini mampu menerangkan perilaku kurs / nilai tukar antara dollar Amerika terhadap rupiah baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hasil estimasi dalam jangka pendek sebesar 4,5346 dan dalam jangka panjang 1,5268. Baik dalam jangka pendek mapun jangka panjang variabel PX ini secara statistik adalah signifikan dan dari tanda yang dihasilkan maka sangat mendukung atas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Terjadinya peningkatan atas perubahan variabel di dalam negeri akan menyebabkan terapresiasinya mata uang asing dan mata uang dalam negeri akan mengalami depresiasi. Inflasi yang terjadi di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan inflasi di Amerika Serikat, apalagi pada masa-masa terjadinya krisis di Indonesia. Perbedaan tingkat inflasi yang begitu tinggi, dengan asumsi ceteris paribus maka akan meyebabkan terjadinya apresiasi pada mata uang dollar dan mata uang rupiah mengalami depresiasi. Dari hasil estimasi ini menunjukkan bahwa teori paritas daya beli berlaku di Indonesia dalam periode penelitian. Hasil yang diperoleh dalam estimasi ini yang menunjukkan bahwa paritas daya beli berlaku dalam jangka panjang berarti mendukung model Dornbusch yang merupakan model yang dipakai dalam penelitian ini.

Hasil studi empirik seperti terlihat pada tabel 3 menunjukkan, bahwa variabel perbedaan tingkat suku bunga di Indonesia dengan tingkat suku bunga LIBOR (RX) menunjukkan hasil bahwa variabel tingkat suku bunga dalam jangka pendek tidak mampu mendukung perilaku perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Namun dari tanda yang diperoleh dari koefisien regresi adalah benar . Sedangkan dalam jangka panjang variabel RX ini mampu mendukung perilaku kurs rupiah terhadap dollar. Nilai koefisien regresi jangka panjang sebesar 0,2495, artinya bila terjadi setiap kenaikan 1% atas suku bunga di Indonesia dibanding tingkat suku bunga LIBOR dengan anggapan variabel yang lain tidak berubah (ceteris paribus) maka akan mengakibatkan mata uang dollar Amerika mengalami depresiasi sebesar 0.2495 persen atau mata uang rupiah akan mengalami apresiasi sebesar 0.2495 persen. Tanda negatif atas variabel perbedaan tingkat suku bunga (RX) dapat dijelaskan oleh dominannya dampak keseimbangan portofolio, dimana semakin tinggi tingkat suku bunga suatu negara (dengan anggapan ceteris paribus ) maka akan cenderung menarik masuknya modal asing. Masuknya modal asing akan menyebabkan semakin menguatnya mata uang rupiah. Semakin menguatnya mata uang rupiah berarti mata uang rupiah mengalami apresiasi dan dollar mengalami depresiasi ( dalam jangka panjang).

Dengan maksud melihat pengaruh penghapusan band intervesi terhadap nilai tukar maka dalam penelitian ini dibuat variabel dummy yaitu sebelum pelepasan band intervensi (=0) dan setelah penghapusan band intervensi (=1). Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa pengapusan band intervensi adalah sangat berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap dollar

Dari hasil estimasi dapat pula dilakukan uji diagnostik untuk asumsi regresi linier klasik , ternyata menunjukkan hasil bahwa Model Koreksi Kesalahan atau ECM yang dipakai lolos dari uji normalitas serta lolos dari masalah heteroscedastisitas ( telah terjadi homoskedastisitas). Namun model yang dipakai ternyata mengalami masalah otokorelasi . Hal ini dapat dilihat dari nilai Durbin Watson yang ada. Karena model mengalami masalah otokorelasi, maka dilakukan tindakan perbaikan dengan mempergunakan metode autoregresif derajat pertama (AR(1))



Tabel 4

Hasil Estimasi Koefisien Regresi Jangka Panjang



LS = 5,4245 + 0,0789 LMX + 0,0615 LYX + 7,1113 PX + 0,0012 RX

Se (0.0952) (0.0387) (0.1223) ( 2.2413) (0.8921)

t hitung 5.6989 2.0350 0.5007 2.9469 0.0013



Hasil analisis jangka panjang yang diperoleh dari estimasi dengan menggunakan model koreksi kesalahan seperti yang ditunjukkan pada tabel 5 di atas menunjukkan bahwa yang berpengaruh terhadap nilai tukar (kurs rupiah terhadap dollar selama periode penelitian ( 1987.2 sampai dengan 1999.1 ) adalah perbedaan jumlah uang beredar domestik dan Amerika serta perbedaan harga domestik dan Amerika.


5.
KESIMPULAN

Dari hasil analisis data dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dengan melihat nilai statistik dari Error Correction Term (ECT) sebesar 2,23 dan secara statistik adalah signifikan pada derajat keyakinan sebesar 5 % , hal ini berarti bahwa spesifikasi model koreksi kesalahan yang dipakai sudah benar.


2.

Hasil estimasi OLS dengan model koreksi kesalahan menunjukkan bahwa variabel perbedaan jumlah uang beredar (LMX) adalah berpengaruh terhadap nilai tukar dalam jangka pendek sedangkan dalam jangka panjang variabel ini tidak mampu menerangkan perilaku nilai tukar. Tidak signifikannya perbedaan jumlah uang beredar dalam jangka panjang menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah uang beredar dalam jangka panjang kurang efektif dalam mengatasi masalah nilai tukar.



3. Variabel perbedaan tingkat pendapatan riil (LYX) menunjukkan bahwa variabel ini hanya mampu menerangkan perubahan nilai tukar dalam jangka panjang. Dalam jangka panjang uji tanda sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dan signifikan secara statistik.


4. Hasil estimasi untuk variabel perbedaan tingkat harga mampu merangkan perubahan nilai tukar baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Uji tanda sangat mendukung hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Dengan demikian teori paritas daya beli berlaku selama periode penelitian.


5. Untuk variabel perbedaan tingkat suku bunga (RX) hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel ini mampu menerangkan perubahan nilai tukar baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Tanda yang ditunjukkan adalah variabel perbedaan tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap nilai tukar atau terjadinya apresiasi rupiah.


6. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pelepasan band intervensi oleh Bank Indonesia mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami depresiasi . Secara statistik variabel ini menunjukkan hasil yang signifikan.




DAFTAR PUSTAKA

Alan l Tucker, Jeff Madura dan Thomas Chiang, 1991,International Financial Market, West Publishing Comphany, St Paul

Dickey, David and Wayne A. Fuller, 1979, "Distribution of Estimators for Autoregressive Time Series with a Unit Root", Journal of The American Statistic Assosiation,74

Engle , RF and C.W.J Granger, 1987, "Cointegration and Error Correction Representation, Estimation and Testing", Econometrica, 55

"……….", 1997, Eviews User’s Guide, Quantitative Micro Software , Irvine CA

Gujarati, 1995, Basic Econometric, McGraw-Hill, New York

Goeltom, Miranda S, 1998, " Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya," Buletein Ekonomi Moneter dana Perbankan , Volume 1 No 2, Bank Indonesia, Jakarta

Insukindro, 1990, " Komponen Koefisien Regresi Jangka Pnjang Model Ekonomi: Sebuah Study Kasus Impor Barang di Indonesia", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 5 , No 2

,1992a, "Pembentukan Model Dalam Penelitian Ekonomi", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No 1 tahun VII

, 1992b, " Dynamic Specification o f Demand for Money : A Survey of Recent Development , " Jurnal Ekonomi Indonesia, Vol 6, No 1

, 1992c, "Pendekatan Kointegresi dalam Analisis Ekonomi: Studi Kasus Permintaan Deposito dalam Valuta Asing di Indonesia", Jurnal Ekonomi Indonesia, vol 1 no 2

, 1999," Pemilihan Model Ekonomi Empirik Dengan Pendekatan Koreksi Kesalahan" , Jurnal Ekonomi Bisnis Indonesia, No I , Vol 14, Yogyakarta.

Mussa, M, 1976, The Exchang Rate, The Balance of Payment and Monetary and Fiscal Policy Under a Regime of Controlled Floating", dalam The Economy of Exchange Rate : Selected Studies ,J. Frenkel dan Harry G. Jhonson (editor) Addison and Wesle, USA

Ronald MacDonald,1990, "Empirical Studies of Exchange Rate Determination",dalam David Lewelyn dan Chirs Milner, Current Issues in International Monetary Economics, MacMillan Education, London

Ronald MacDonald dan Mark P. Taylor,1992, Exchange Rate Economics , A Survey I MF Staff Paper, Vol 39 No 1 ( March 1992)

Suardhini, Made dan Goeltom, Miranda S, 1997, " Analisis Dampak Intervensi Bank Sentral Dalam Penetapan Nilai Tukar Terhadap Ekspor-Impor Indonesia", Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Volume XLV No 1, LPEM FEUI, Jakarta

Thomas, RL, 1997, Modern Econometrics, Addison Wesley Longman

Wickens, MR and T.S Breusch , 1988, " Dynamic Spesification , The Long Run and the Estimation of Transformed regression Models, The Economic Journal

Wuri, Yosephine, 2000, Analisis Penentuan Kurs Valas Di Indonesia 1983.1 –1997 : Pendekatan Koreksi Kesalahan dan Stock Penyangga Masa Depan, Thesis, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada , tidak dipublikasikan

Sumber Data:

Laporan Tahunan Bank Indonesia 1997/1998
Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999
Laporan Tahunan Bank Indonesia 1999

Perkembangan Moneter, Sistem Pembayaran dan Perbankan , Triwulan IV 1999 , Bank Indonesia

International Financial Statistik , berbagai Edisi

Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia , berbagai Edisi

-----------------------------------------------------
Oleh: Sri Isnowati, STIE Stikubank Semarang, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Maret 02

Sumber: http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal/

Perbedaan Karakteristik Jasa Dibandingkan Produk Manufaktur: Implikasinya Terhadap Strategi Komunikasi Jasa

I. PENDAHULUAN

Perusahaan yang menjalankan pemasaran modern membutuhkan lebih dari hanya sekedar mengembangkan produk dengan kualitas yang baik, ataupun memberikan harga yang menarik serta terjangkau oleh pelanggan sasaran (target market). Namun banyak aspek yang harus dipikirkan oleh perusahaan agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan. Untuk itu perusahaan dituntut mampu menetapkan strategi pemasaran yang tepat, terutama berkaitan dengan pengimplementasian strategi bauran pemasaran.

Strategi bauran pemasaran (marketing mix strategy) pada perusahaan manufaktur secara tradisional dilaksanakan dengan menetapkan 4P meliputi Product, Price, Place dan Promotion sedangkan pada perusahaan jasa bauran pemasaran / service marketing strategy modern dilakukan melalui 8P yaitu Product, Place (cyberspace and Time), Price, Promotion, Process, Productivity and Quality, People, Physical evidence yang merupakan pengembangan dari 4P tradisional. (Lovelock & Wright, 2002).

Implementasi service marketing mix strategy tersebut tidak cukup tanpa diikuti oleh pergeseran paradigma pemasaran dari transactional menuju relationshi,p dimana pada akhirnya akan membawa implikasi yang sangat besar pula bagi perubahan objective / tujuan dari perusahaan jasa maupun manufaktur dewasa ini. Melalui pengembangan paradigma relationship, konsumen dipahami sebagai sentral dan bukan sebagai obyek, dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu transaksi pembelian yang diikat dalam hubungan kemitraan (relasi) agar tercipta rebuying atau pembelian ulang. Untuk membina hubungan kemitraan atau relasi yang baik diperlukan komunikasi yang baik pula dengan pelanggan sasaran maupun pelanggan potensial. Dengan demikian setiap perusahaan, baik manufaktur maupun jasa tidak dapat menghindarkan diri dari peran sebagai komunikator dan promotor. Sebagai komunikator atau promotor perusahaan harus menyampaikan informasi secara efektif terutama berkaitan dengan penyampaian benefit atau manfaat produk atau jasa secara jelas, tepat sasaran maupun tepat intensitasnya.

Perusahaan manufaktur modern perlu suatu sistem komunikasi pemasaran yang kompleks, demikian juga dengan perusahaan jasa. Komunikasi pemasaran antara perusahaan jasa dengan konsumennya dapat dilakukan dengan banyak cara, bahkan dengan cara yang sangat kreatif dibandingkan mengkomunikasikan produk manufaktur. Hal ini harus menjadi fokus perhatian utama, mengingat benefit dari jasa yang ditawarkan tidak bisa langsung dilihat oleh calon konsumennya. Alat komunikasi juga merupakan faktor yang sangat menentukan, karena alat komunikasi dapat menentukan pula bagaimana respon dari konsumen terhadap apa yang diinformasikan oleh perusahaan jasa.

Perusahaan jasa dalam menjalankan peran sebagai komunikator mempunyai beberapa tugas, yaitu menginformasikan sekaligus memberikan wawasan pada konsumen tentang organisasi/perusahaan serta merek dan manfaat yang dapat diberikan, membujuk konsumen potensial untuk memanfaatkan jasa sebagai penyelesaian yang terbaik dari kebutuhan konsumen dibandingkan dengan pesaing, mengingatkan konsumen akan kemampuan perusahaan jasa maupun motivasi perusahaan tersebut serta memperbaiki hubungan pelanggan dengan menawarkan pengetahuan yang lebih banyak untuk mengoptimalkan penggunaan jasa tersebut. Kotler, 2000)

Melihat begitu pentingnya peran komunikasi dalam perusahaan jasa, perlu direncanakan dengan matang strategi komunikasi yang tepat. Kesalahan fatal yang sering kali dilakukan oleh perusahaan jasa adalah membuat strategi komunikasi yang sama dengan perusahaan manufaktur. Untuk itu pembahasan kali ini lebih ditekankan pada pelurusan pandangan yang salah tersebut, yaitu berangkat dari pemahanan bahwa karakteristik jasa berbeda dengan karakteristik produk manufaktur. Dengan demikian diperlukan strategi pemasaran maupun strategi komunikasi yang berbeda dengan produk manufaktur.



II. PERBEDAAN KARAKTERISTIK PRODUK DAN JASA : IMPLIKASI TERHADAP STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN JASA

Mengembangkan strategi komunikasi pemasaran yang berbeda untuk mengkomunikasikan jasa (yang menawarkan produk tidak berwujud) adalah berbeda dengan strategi komunikasi untuk mengkomunikasikan produk manufaktur, hal ini harus benar-benar dipahami sebagai dasar strategi komunikasi itu sendiri. (Kathleen Mortimer & Brian P, 1998.)

Beberapa perbedaan antara jasa dan produk manufaktur mempunyai implikasi yang sangat penting dalam komunikasi pemasaran jasa tersebut.

Terdapat enam perbedaan antara produk manufaktur dan jasa yaitu ;

- Ketidakberwujudan dari tampilan jasa

- Keterlibatan konsumen dalam proses produksi jasa

- Evaluasi terhadap jasa sangat sulit dilakukan oleh konsumen

- Kebutuhan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan

- Pentingnya kontak secara personal dengan konsumen

- Kecilnya peran perantara.



Ketidakberwujudan dari tampilan jasa

Pemahaman terhadap kenyataan bahwa jasa adalah kinerja atau proses dan bukan merupakan obyek adalah langkah awal untuk lebih memahami jasa itu sendiri, hal ini terutama untuk klasifikasi jasa yang sangat sedikit berhubungan dengan peralatan atau equipment . Jasa lebih merupakan kinerja atau prestasi dan pengalaman dari bentuk obyek, maka spesifikasi serta manufaktur yang tepat mengenai keseragaman kualitas sangat sulit untuk ditentukan (Parasuraman et all, 1990)

Mengingat jasa tidak berbentuk atau berwujud, maka konsumen tidak mungkin melihat tampilan secara fisik ataupun mengambil contoh dengan menyentuh, mencicipi, melihat, mendengar atau membaui suatu jasa pada saat dibeli.

Dengan demikian muncul kesulitan dalam mengkomunikasikan jasa. Untuk itu dibutuhkan suatu obyek yang dapat digunakan untuk mengingat wujud fisik jasa tersebut yaitu phisical symbol.( Willim R & Leonard, 1981) Sebagai contoh simbol kangguru dipakai sebagai Phisical symbol perusahaan penerbangan Australia. Konsumen terbantu secara fisik mengingat keberadaan perusahaan penerbangan Australia tersebut melalui simbol kangguru.

Keterlibatan konsumen dalam proses produksi jasa.

Dorongan untuk meningkatkan produktivitas pada perusahaan jasa seringkali dikaitkan dengan inovasi teknologi. Dimana inovasi ini, tentunya dikaitkan pula dengan kemungkinan biaya tenaga kerja yang dapat diturunkan ataupun dioptimalkan. (Davis et all,1989). Permasalahan sering kali muncul, apabila peningkatan produktivitas ini tidak diimbangi oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kualitas jasa. Untuk itu faktor manusia (people) masih memegang peranan yang cukup besar dalam jasa. (Brown James And Chekitan, 2000).

Bentuk jasa yang mengharuskan konsumen aktif dalam proses transfer jasa yang dilengkapi dengan penggunaan teknologi, menuntut perusahaan jasa memberikan layanan tambahan berupa pelatihan ataupun pemberian informasi yang lengkap tentang teknologi yang digunakan dalam proses jasa tersebut. Dengan demikian marketer jasa juga harus bertindak sebagai edukator. (Leg and Barker, 1992) karena mereka berperan pula dalam transfer pengetahuan tentang jasa itu sendiri. Dengan demikian komunikasi tidak cukup dilakukan melalui penyampaian benefit atau manfaat jasa, tetapi harus ditumbuhkan unsur edukasi dalam komunikasi tersebut sehingga benefit atau manfaat yang diharapkan dari jasa tersebut benar-benar sesuai dengan ekspektasi dari konsumen jasa. ( Howard, 1989 )

Evaluasi terhadap Jasa sangat sulit dilakukan oleh konsumen.

Meskipun konsumen sangat mengenal karakteristik dari jasa yang mereka konsumsi, namun merupakan hal yang sulit untuk melakukan evaluasi terhadap kualitas dari jasa Terutama untuk perusahaan jasa dengan kontak konsumen yang rendah ( low contact services) sulit sekali melakukan evaluasi terhadap kualitas jasa. Hal ini terjadi, mengingat komunikasi dengan konsumen sulit untuk dilakukan disebabkan oleh terbatasnya peluang atau kesempatan untuk melakukan kontak langsung dengan konsumen .

Peranan iklan dalam menilai kualitas jasa dapat dioptimalkan dengan melakukan word of mouth ( Haywood, 1989). Proses word of mouth akan semakin terpercaya bila berupa komentar konsumen yang telah mengkonsumsi atau mengalami proses jasa (service delivery) jasa tersebut (David H. Maister, 1997). Dengan demikian komunikasi dari mulut ke mulut tersebut diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai penyampaian informasi tentang benefit atau manfaat jasa, tapi lebih lagi dapat digunakan untuk membentuk persepsi konsumen yang baik dan kuat tentang jasa tersebut.

Kebutuhan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan.

Kebutuhan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan berkaitan dengan demand management strategies yaitu bagaimana strategi perusahaan dalam mengelola atau mengatur aktivitas yang dapat meningkatkan permintaan pada saat peak periods ataupun memperpanjang kondisi high periods. Banyak peluang yang bisa dioptimalkan oleh marketer untuk dapat melaksanakan strategi ini misalnya dengan memberikan discount harga.

Permintaan rendah pada peak periods merupakan masalah serius pada industri jasa terutama yang mempunyai biaya tetap atau fixed cost tinggi seperti hotel. Untuk itu, dapat disiasati dengan menawarkan discount harga maupun penawaran service tambahan misalnya ; gratis penggunaan fasilitas hotel, sarapan pagi dll agar akumulasi konsumen pada high periods dapat disebar untuk mengisi kekosongan demand konsumen pada low periods hal ini sama artinya dengan memperpanjang kondisi high periods atau peak periods dari jasa tersebut. Dengan demikian komunikasi sangat berperan dalam menginformasikan penetapan strategi discount dengan tujuan menyeimbangkan penawaran dan permintaan jasa, bukan dengan tujuan penuruan kualitas jasa itu sendiri.

Pentingnya kontak secara personal dengan konsumen.

Perusahaan jasa dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu : high contact services dan low contact services (lovelock,2002).Pada perusahaan jasa dengan kontak konsumen tinggi (high contact services), karyawan yang berhubungan langsung dengan konsumen merupakan sentral dari proses transfer jasa (service delivery). Untuk itu banyak perusahaan yang mengupayakan agar proses jasa lebih tangible (berwujud) dan lebih personalised (personal).

Pada jenis jasa dimana kontak dengan pelanggan sangat besar (High contact services), karyawan dapat bertindak sebagai pelengkap dari usaha-usaha promosi perusahaan. Mengingat karyawan dapat intens memanfaatkan waktu dalam proses transfer jasa untuk mengkomunikasikan benefit atau manfaat jasa, tentunya disertai upaya untuk membentuk persepsi yang baik terhadap kualitas jasa yang diberikan.

Kecilnya peran perantara.

Intermediaries atau perantara seperti retail/pengecer sering mempunyai peran yang cukup penting dalam mempromosikan produk manufaktur pada konsumen dan sekaligus memberikan informasi tentang karakteristik produk manufaktur. Tetapi jasa tidak dapat disamakan dengan produk manufaktur karena perusahan jasa akan langsung menjual pada pelanggan. Berarti dalam jasa, terdapat peran perantara yang sangat minimal.

Namun demikian, beberapa perusahaan jasa seperti jasa angkutan (travel), asuransi tetap membutuhkan agen-agen untuk menjadi perantara dalam memasarkan jasa mereka. Oleh karena peran perantara hampir tidak ada dalam jasa, diperlukan komunikasi lebih intensif untuk menginformasikan benefit dan value dari jasa tersebut.



III. STRATEGI KOMUNIKASI JASA : IMPLEMENTASI BAURAN KOMUNIKASI JASA (MARKETING COMMUNICATIONS MIX SERVICE)

Bauran Komunikasi jasa memiliki komponen yang lebih luas dan lengkap dibandingkan dengan bauran komunikasi produk manufaktur. Terlihat dari adanya 2 elemen tambahan dalam bauran komunikasi jasa jika dibandingkan dengan bauran komunikasi produk manufaktur. Tambahan elemen tersebut adalah instructional material dan corporate design. (Tabel 1).

Hal ini mendukung konsep bahwa jasa memang berbeda dengan produk manufaktur. Jasa memiliki keterbatasan yang bersumber dari karakteristik jasa yang berbeda dengan produk manufaktur terutama dalam tangibility (keberwujudan). Oleh sebab itu, dua elemen tambahan dalam bauran komunikasi jasa tersebut mengarah pada usaha untuk memperkecil dampak negatif karakteristik jasa, khususnya karakteristik jasa berupa keterbatasan dalam tangibility (keberwujudan). Proses tangibilizing jasa atau proses menambah keberwujudan jasa, dapat dilakukan dengan bantuan dua elemen komunikasi ini.

Bauran komunikasi jasa ditunjukkan dalam tabel 1

Tabel 1

Bauran Komunikasi Jasa

Personal

Communications


Advertising


Sales

Promotion


Publicity


Instructional

Materials


Corporate

Design

Selling


Broadcast


Sampling


Press

Releases


Web Sites


Signage

Customer

Service


Print


Coupons


Press Conferences


Manuals


Interior Design

Training


Internet


Discounts


Special Events


Brochures


Vehicles

Word of mouth

(Other customers)


Outdoor


Sign-up

Rebates


Trade Shows Exhi-bitions


Video-

Audiocassettes


Equipment




Retail Display


Gifts


Sponsorship


Software/

CD-ROM


Stationery




Cinema/Theater


Prize

Promotions





Voice Mail


Uniforms




Telemarketing
















Direct Mail













Sumber : Lovelock, Christopher & Wright, Lauren, 2002, Principles Service Marketing and Management, Second Edition , Pearson Education, New Jersey.

Berdasarkan tabel 1 di atas, terlihat bahwa bauran komunikasi jasa mempunyai elemen yang lebih kompleks dibandingkan bauran komunikasi produk manufaktur yang pada umumnya hanya terdiri personal selling, sales promotion, advertising, dan publisitas, sedangkan instructional material dan corporate design diperlukan sebagai elemen penting dalam bauran komunikasi jasa mengingat sifat dan karakteristik jasa yang membutuhkan bentuk komunikasi yang dapat menonjolkan keberwujudan jasa (tangibilizing) jasa tersebut. Dalam pengimplementasian bauran komunikasi jasa (service communications mix), pemasar tetap membutuhkan pemahaman tentang pasar sasaran yang dituju (target market), hal ini dilakukan pula pada perusahaan produk manufaktur. Sedangkan elemen–elemen komunikasi yang dipilih akan berbeda tergantung beberapa hal dibawah ini yaitu;



a. Klasifikasi Jasa.

Jasa dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu high contact services dan low contact services. High contanct services : service that involve significant interaction among customers, service personnel and equepment and facilities (Lovelock & Wright, 2002) dapat diartikan sebagai klasifikasi jasa yang mempunyai interaksi yang signifikan atau intensitas tinggi terhadap pelanggan, peralatan dan fasilitas pendukung proses jasa, contoh jasa dengan klasifikasi ini adalah jasa salon, spa, jasa konsultasi manajemen. Sedangkan Low contact services : service that require minimal or no direct contact between customers and the service organization (Lovelock & Wright ,2002) dapat diartikan klasifikasi jasa yang membutuhkan kontak pelanggan dengan intensitas yang rendah, contoh jasa dengan klasifikasi ini adalah jasa service mobil, jasa restoran ataupun katering.

Klasifikasi jasa yang membutuhkan kontak pelanggan dengan intensitas tinggi memungkinkan adanya interaksi yang cukup dengan pelanggannya, dengan demikian membuka kesempatan front liner services mengkomunikasikan value/benefit dari jasa tersebut . Hal sebaliknya terjadi pada klasifikasi jasa low contact services . Dengan demikian untuk klasifikasi jasa low contact services dibutuhkan elemen bauran komunikasi yang lebih menonjolkan keberwujudan jasa seperti instructional material maupun corporate design. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan bauran komunikasi yang berbeda untuk setiap klasifikasi jasa diatas sehingga tujuan dari komunikasi pemasaran jasa dapat tercapai.

b.Tujuan Komunikasi.

Pemasar mempunyai tujuan yang berbeda dalam mengkomunikasikan jasanya. Masing-masing tujuan komunikasi membutuhkan implementasi bauran komunikasi yang berbeda.

- Beberapa tujuan komunikasi dapat ditetapkan sebagai berikut :

- Menciptakan kesadaran mengenai penawaran baru.

- Komunikasi intens diarahkan untuk memperkenalkan jasa baru, elemen yang efektif membantu tujuan ini adalah advertising maupun personal selling.

- Menarik perhatian dari konsumen melalui penekanan pada simbol yang nyata: untuk membuat jasa yang tidak nyata menjadi lebih nyata.(tangible).

Perusahaan atau marketer dapat melakukan komunikasi dengan penekanan pada simbol, misalnya perusahaan asuransi menggunakan simbol payung (sebagai alat perlindungan ) dan dapat dipilih bauran komunikasi : instructional material dan corporate design sebagai pilihan yang efektif mencapai tujuan tersebut.

Menciptakan citra perusahaan yang kuat :

Satu cara untuk menciptakan suatu citra adalah dengan mengelola bukti, termasuk didalamnya lingkungan fisik dari fasilitas jasa, termasuk penampilan dari karyawan dan barang berwujud lainnya yang mendukung, seperti (alat tulis/stationari, tagihan dan kartu nama) yang dapat dikategorikan dalam instructional material.

Meningkatkan customer repeat order ,

Sebagai akibat dari kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan dimungkinkan terjadi pengulangan pemesanan, tentunya dengan dorongan komunikasi pemasaran yang efektif terutama personal communication.



IV. ASPEK EDUKASI DALAM STRATEGI KOMUNIKASI JASA.

Edukasi merupakan aspek yang penting dalam komunikasi jasa, hal ini sedikit disinggung dalam tulisan diatas dan akan coba diperjelas dalam bahasan ini. Intensitas kebutuhan terhadap edukasi sangat dirasakan oleh jasa dengan klasifikasi low contact services. Klasifikasi jasa ini mengharuskan konsumen mandiri dalam services delivery atau proses jasa. Jika konsumen tidak dibekali dengan aspek edukasi yang baik, kekhawatiran bahwa konsumen akan tidak terpenuhi ekspektasinya setelah mereka merasakan benefit jasa tersebut dimungkinkan terjadi.

Edukasi dalam komunikasi jasa, lebih pada proses pembekalan pengetahuan bagi konsumen tentang proses jasa, benefit, dan value jasa tanpa menonjolkan aspek persuasi di dalamnya. (terutama jika jasa dengan resiko tinggi, yaitu jasa yang melibatkan equipment, maupun nilai kesehatan). Hal ini penting, karena dalam proses edukasi, marketer harus menjunjung unsur obyektifitas yang tinggi dalam mengkomunikasikan benefit dari jasa tersebut sehingga arpek edukasi benar-benar dapat terwujud melalui proses pemikiran secara rasional dari konsumen jasa tersebut. Sebagai contoh jasa asuransi, sukar sekali mengkomunikasikan benefit jasa asuransi tanpa melakukan edukasi terhadap pentingnya manfaat asuransi bagi manusia moderen yang seringkali dihadapkan pada berbagai resiko dalam menjalankan aktivitas dan kehidupannya.



V. PENUTUP

Karakteristik jasa yang berbeda dengan karakteristik produk manufaktur menyebab perbedaan yang cukup nyata dalam perencanaan, implementasi maupun penanganan strategi komunikasi jasa itu sendiri. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik jasa tersebut, bahkan upaya untuk menjadikan jasa egual atau sama persis dengan produk manufaktur menyebabkan kesalahan fatal dalam penentuan strategi komunikasi jasa. terlebih pada strategi komunikasi jasa. Keinginan untuk menambah keberwujudan / tangibilizing jasa penting untuk dilakukan, mengingat seringkali karakteristik jasa mempunyai implikasi negatif terhadap pelaksanaan strategi pemasaran khususnya komunikasi jasa . Namun sekali lagi, bukan berarti strategi komunikasi jasa harus disamakan dengan strategi komunikasi produk manufaktur.

Strategi komunikasi pemasaran jasa atau disebut juga dengan bauran komunikasi jasa (service promotion mix) lebih kompleks dibandingkan dengan bauran promosi produk manufaktur, dimana ciri khas yang menjadi perhatian dan fokus strategi komunikasi jasa adalah kemampuan perusahaan untuk menyampaikan benefit jasa tersebut secara utuh melalui instruction manual, corporate design. Perancangan instruction manual maupun corporate design yang handal memungkinkan proses komunikasi jasa dapat berjalan dengan baik dan meminimalkan negatif effect dari karakteristik jasa itu sendiri.

Dalam implementasinya, pilihan terhadap bauran komunikasi jasa yang dipakai akan tergantung pada : klasifikasi jasa dan tujuan komunikasi jasa , dengan tidak dapat melepaskan unsur edukasi dalam komunikasi, agar lebih mudah dalam mempertemukan ekspektasi konsumen dengan benefit maupun value yang ditawarkan oleh perusahaan jasa.



DAFTAR PUSTAKA

*

A.Parasuraman, Valarie A. Zeithaml and Leonard L. Berry, 1990 " A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications For Future Research," Reprinted from Journal of Marketing, American Marketing Association, Vol 49, pp 41-50.
*

David H. Maister, 1997,"Why Cross Selling Hasn’t Worked," True Professionalism, New York: The Free Press.
*

Davis, Ferd D, Bagozzi, Ricard P and Warshaw, Paul R (1989), User Acceptance of Computer Technology: A Comparison of Two Theorical Models, Management Science, Vol 35, No * pp. 982-1003
*

Donna Legg and Julie Baker, 1992, "Advertising Strategies for Service Firm," in C. Suprenant (ed.), Add Value to Your Service, Chicago, IL: American Marketing Association.
*

Howard, John A, 1989, Consumer Behaviour in Marketing Strategy, Englewood Cliff.NJ. Prentice Hall.Inc.
*

James R. Brown and Chekitan S. Day, 2000, "Improving Productivity in a Service Business : Evidence from the Hotel Industry," Journal of Service Research 2, no 4 May 2000, pp 339-354.
*

Kotler Philip, 2000, " Marketing Management ", Prentice-Hall.Inc
*

K.M. Haywood, 1989, "Managing Word of Mouth Communications." Journal of Services Marketing 3, pp 55-76
*

Lovelock Christopher & Wright Lauren, 2002, Principles Service Marketing and Management, Second Edition , Pearson Education, New Jersey
*

Kathleen Mortimer & Brian P, 1998, Service Industries Journal , The Advertising of Service Consumer ViewsVs Normative Guideline, Vol 18.

Oleh: Christina Whidya Utami, Dosen Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala, Surabaya

Sumber: Fokus Ekonomi, April 2004, http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal

Berbagai Hambatan dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation Targeting

I. PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.

Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) ini diharapkan dapat menciptakan fundamental ekonomi makro yang kuat. Makalah ini akan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan target inflasi, yang meliputi pengertian, evolusi teori, prasyarat, karakteristik dan elemen target inflasi. Agar dapat mengetahui dengan jelas kondisi ekonomi nasional Indonesia hingga tahun 2000 ini, maka dalam pembahasan juga dipaparkan tentang perkembangan ekonomi makro Indonesia.



II. PEMBAHASAN

1. Perkembangan Ekonomi Makro di Indonesia Sejak Tahun 1980-an.

Program pembangunan bidang ekonomi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1970-an dan menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 1980-an. Pada masa itu pemerintah memberikan banyak kemudahan bagi para investor yang akan berinvestasi di bidang keuangan dan perbankan. Hingga pertengahan tahun 1990-an perekonomian Indonesia terlihat semakin kuat dan mulai terpandang di dunia internasional. Dalam artikel ini akan dibahas perkembangan ekonomi di Indonesia saat mulai berkembang tahun 1980-an hingga terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.

2. Perkembangan Moneter Perbankan.

Krisis moneter di Indonesia telah memporak-porandakan sektor keuangan yang sebelumnya tengah berkembang pesat sejak tahun 1980-an. Dalam upaya pemulihan sektor keuangan Indonesia, telah dilakukan restrukturisasi sistem moneter sejak tahun 1998. Bentuk nyata restrukturisasi dilakukan dengan cara menyehatkan bank dan memberikan independensi kepada Bank Sentral. Meski telah menelan banyak biaya dan telah dilaksanakan lebih dari tiga tahun, namun proses penyehatan sistem moneter belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

3. Kebijakan Moneter

Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.

4. Kebijakan Fiskal.

Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI, untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga hutang. Meski sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya peningkatan penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran.

Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang.

5 Prospek Ekonomi Jangka Pendek.

Ditinjau dari aspek ekonomi makro, kinerja perekonomian bukan hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, namun juga dari faktor eksternal. Kondisi ekonomi sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Untuk beberapa tahun ke depan, kegiatan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan, dengan asumsi kondisi politik dan keamanan stabil. Peningkatan pertumbuhan ekonomi bertumpu pada kenaikan ekspor yang dewasa ini mulai membaik kembali.



6 Target Inflasi.

Pengertian.

Ada berbagai kebijakan yang biasa dipergunakan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan ekonomi, misalnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Target inflasi merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan target laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan target inflasi lebih berorientasi ke depan (forward looking) dibanding kebijakan-kebijakan moneter sebelumnya (yang oleh BI disebut juga kebijakan konvensional).

Tidak seperti halnya kebijakan moneter konvensional yang senantiasa mempergunakan target antara besaran moneter, dalam target inflasi diperggunakan proyeksi inflasi. Kalaupun harus mempergunakan target antara, biasanya akan digunakan tingkat bunga jangka pendek.

Evolusi Teori.

Inflasi sebagai sasaran utama dan indepensi bank sentral sebagai pengendali inflasi merupakan landasan dari target inflasi. Konsep target inflasi ini merupakan produk dari evolusi teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris. Teori-teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan konsep ini meliputi teori klasik hingga teori modern, antara lain:

· Teori Klasik >< Teori Keynes.

Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan menurut teori Keynes, sektor moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga. Berdasarkan perkembangan teori dan pengalaman empirik, disimpulkan bahwa dalam jangka panjang teori yang sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan dalam jangka pendek teori Keynes lebih tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai dampak permanen pada tingkat harga umum (inflasi). Dengan kata lain bahwa pembenahan sektor ekonomi dapat dilakukan dengan cara pengendalian inflasi.

· Teori klasik modern >< Teori Keynes.

Salah satu penganut teori klasik modern, Milton Friedman, mengemukakan bahwa kebijakan rule lebih baik dibanding discretion. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori Keynes. Kemudian, untuk menentukan pilihan atas rule vs discretion, target inflasi menawarkan suatu framework yang mengkombinasikan keduanya secara sistematis, yang disebut dengan constrained discretion. Karena pada dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang murni rules ataupun murni discretion.

· Teori kuantitas >< Teori Keynes.

Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran, karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.

· Teori rational expectations.

Teori rational expectations menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran penting, karena mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan. Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, karena setelah ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah yang menjadi kunci keberhasilan yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi dalam kebijakan moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat.

· Teori moneter modern.

Dalam perkembangan selanjutnya, teori moneter modern memasukkan aspek kredibilitas yang bersumber dari masalah time inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.



7 Prasyarat.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut meliputi:

- Indepensi Bank Sentral.

Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang bisa bersifat benar-benar independen tanpa campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, ada instrumen kebijakan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah, misalnya melalui kebijakan fiskal.

- Fokus terhadap sasaran.

Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran lain kadang-kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs. Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.

- Capacity to forecast inflation.

Bank Sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi secara akurat, sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.

- Pengawasan instrumen

Bank Sentral harus memiliki kemampuan untuk mengawasi instrumen-instrumen kebijakan moneter.

- Pelaksanaan secara konsisten dan transparan.

Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.

- Fleksibel sekaligus kredibel

Biasanya, kebijakan yang fleksibel akan cenderung kurang kredibel dan hal itu merupakan dilema dalam penentuan kebijakan. Aturan Taylor (Taylor’s rule) dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mengatasi dilema tersebut.



8 Karakteristik.

Dalam mengatur/menggunakan instrumen, kebijakan target inflasi ini lebih berwawasan ke depan. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya, yaitu:

1. Dalam kebijakan ini target dan indikator inflasi ditentukan terlebih dahulu dan dipergunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter.



2. Dalam kebijakan ini juga dibuat prediksi inflasi di masa yang akan datang. Prediksi dilakukan dengan mempergunakan data besaran moneter, tingkat bunga, kurs, harga aset, harga barang industri dan sebagainya.

3. Melakukan review terhadap kinerja kebijakan moneter. Hasil tinjauan tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja selanjutnya.



9 Elemen-elemen.

Berdasarkan teori dan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dalam target inflasi terdiri atas:

1. Sasaran target inflasi.

Sasaran utama dalam kebijakan target inflasi adalah pengendalian inflasi. Kalau ada sasaran-sasaran lain di samping sasaran ini, maka sasaran yang lain harus tunduk pada sasaran utama.

2. Laporan pelaksanaan

Mestinya, publik perlu untuk mengetahui sasaran kebijakan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hasil yang telah dicapai oleh kebijakan ini harus dimonitor, dilaporkan dan diumumkan secara periodik. Ini penting bagi publik agar dapat mengukur keberhasilan kebijakan ini, karena akan berpengaruh terhadap ekspektasi masyarakat.

3. Independensi

Dengan adanya independensi dalam menentukan kebijakan, maka peluang tercapainya sasaran akan lebih maksimal.

4. Komunikasi

Dalam pelaksanaan kebijakan ini perlu adanya komunikasi yang efektif terhadap publik tentang cara-cara pencapaian sasaran inflasi dan mekanisme transmisi yang jelas.

5. Data dan informasi

Data dan informasi yang relevan, terbaru dan lengkap diperlukan untuk melakukan analisis kebijakan yang prima.



10 Prospek.

Kebijakan target inflasi ini telah dilaksanakan di negara-negara Selandia Baru, Kanada, Inggris, Finlandia, Swedia, Australia, Spanyol, Korea dan Filipina. Negara-negara tersebut mendapatkan keberhasilan dalam menekan laju inflasi dengan penerapan kebijakan ini.



Seperti halnya Indonesia, negara-negara tersebut sebelumnya juga mempergunakan kebijakan moneter dengan target antara. Karena adanya kesamaan permasalahan dan latar belakang, maka diharapkan pelaksanaan target inflasi di negara kita juga akan dapat menuai keberhasilan.



11 Berbagai Hambatan Dalam Pelaksanaan Targat Inflasi.

Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ditambah dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala dalam pemberlakuan kebijakan ini. Secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan sebagai berikut:



- Hambatan dalam menciptakan independensi

- Sulitnya menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan penuh terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan instrumen keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-benar tidak turun campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski lembaga tersebut disebut lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga tersebut digaji oleh pemerintah, yang berarti loyalitas mereka terhadap pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini jelas-jelas menyebabkan fungsi pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana mestinya.



- Hambatan dalam memprediksi inflasi.

- Kemampuan untuk memprediksi inflasi merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kebijakan target inflasi. Kemungkinan besar, peramalan inflasi di Indonesia akan sulit dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan yang boleh dikatakan tidak menentu akhir-akhir ini. Padahal, stabilitas nasional sangat berperan dalam menentukan kondisi ekonomi suatu negara. Untuk saat ini, para investor masih beranggapan bahwa negara kita tidak cukup kondusif bagi investasi. Isu-isu seputar politik dan keamanan daerah sudah rawan untuk memporak-porandakan perekonomian nasional. Jika stabilitas belum tercapai, mustahil dapat memprediksi dengan cermat.



- Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara konsisten dan transparan.

- Pelaksanaan kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan sulit terwujud. Tingkat korupsi di Indonesia yang sedemikian tinggi akan mempersulit pemerintah dalam meraih kepercayaan dari masyarakat. Juga maraknya praktik kolusi yang menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis dan enggan berpartisipasi dalam pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi. Kebijakan target inflasi belum tentu didukung oleh masyarakat, kecuali apabila lembaga pelaksana kebijakan ini dapat meyakinkan masyarakat bahwa aparaturnya negara bersih dan bebas korupsi.



- Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara fleksibel dan kredibel.

- Menjalankan kebijakan secara fleksibel sekaligus kredibel juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Jika kebijakan diberlakukan secara lentur, maka akan membuka kesempatan korupsi dan kolusi, sehingga menyebabkan incredible. Demikian juga sebaliknya, apabila kebijakan ini lebih berfokus pada kredibilitas, maka akan timbul sifat inflexible.



- Tingkat keparahan krisis.

- Faktor lain adalah tingkat keparahan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah tergolong akut, sehingga penanganannya juga lebih sulit dibanding negara-negara lain. Mungkin kebijakan target inflasi ini berhasil diberlakukan di negara-negara lain, namun belum tentu akan sesuai diberlakukan di Indonesia.



III. KESIMPULAN

- Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat krisis memerlukan upaya pemulihan dengan menggunakan kebijakan moneter. Kebijakan yang diterapkan berupa inflation targeting yang telah berhasil mengentaskan problem inflasi di berbagai negara di dunia.



- Target inflasi dicetuskan dari perkembangan evolusi teori-teori ekonomi dan dalam pelaksanaannya ditentukan oleh kondisi suatu negara dengan prasyarat-prasyarat untuk keberhasilan sistem ini.



- Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan dapat mengembangkan kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan stabilisasi ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkelanjutan, dengan ongkos yang minimal.



- Pemulihan kondisi ekonomi yang stabil bukan hanya ditentukan oleh faktor internal, namun juga faktor eksternal, misalnya kondisi politik dan keamanan negara.



- Target inflasi nampaknya akan sulit untuk diberlakukan sebagai salah satu kebijakan moneter di Indonesia, mengingat berbagai hambatan yang harus dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA :

- Adiningsih, Sri. 2000. "Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

- Bernanke, B. and Mihov. 1997. "What Does the Bundesbank Target?" European Economic Review.

- Boediono. 2000. "Inflation Targeting". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

- Fischer, Stanley. 1993. "The Role of Macroeconomic Factors in Growth". Journal of Monetary Economics.

- Goeltom, Miranda S. 2000. "Perkembangan Ekonomi Makro Indonesia". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

- Mishkin, F.S. 1999. "International Experience with Different Monetary Policy Regimes". Journal of Monetary Economics.

- Nopirin. 2000. "Kebijakan Moneter Dengan Target Inflasi". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

- Saudagaran, S.M. and Diga, J.G. 2000. "The Institutional Environment of Financial Reporting Regulation in ASEAN". The International Journal of Accounting.


Oleh: Seruni Sutanto, Dosen STIE Widya Manggala Semarang

Sumber: http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal