Cari Makalah & Artikel
Google

Saturday, January 23, 2010

Mendorong Implementasi Regulasi Anti - Trafficking

Oleh : Dra. Sukesi, Apt, MARS


Pada bulan April 2007, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Selanjutnya pada tanggal 6 Nopember tahun 2008 telah disahkan Peraturan Presiden Rl Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana implementasi UU dan PP tersebut ?


Inilah tantangan kita bersama, sebab UU dan PP tersebut baru akan ada manfaatnya atau dapat membantu menyelesaikan persoalan perdagangan orang di negeri ini jika dapat diimplementasikan dengan baik oleh semua pihak terkait. Harus diakui betapa saat ini perdagangan perempuan dan anak sudah semakin meluas di negara kita untuk diperdagangkan ke Luar Negeri maupun di kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, Bandung, Medan, dan sebagainya. Statistik Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang menjadi korban praktek perdagangan adalah perempuan dan anak. Sehingga ketika kita berbicara tentang upaya mencegah dan atau menolong korban perdagangan orang, maka perhatian kita lebih tertuju pada upaya menolong perempuan dan anak.

Merujuk pada UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( PTPPO) yang dimaksud perdagangan orang adalah : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi ( Pasal 1 ayat I ).

Selama ini Jawa Timur diyakini merupakan salah satu kantong perdagangan orang ke luar negeri. Kantong-kantong tersebut di antaranya adalah Kabupaten Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Tulungagung, Nganjuk, dan Ngawi. Jalur perdagangan orang yang bertransit dan atau berasal dari Jawa Timur ini melewati dua pelabuhan, yakni Tanjung Perak Surabaya dan Bali. Tanjung Perak merupakan jalur untuk menuju negara-negara Asia seperti Malaysia, Hong Kong, Korea, dan Arab Saudi. Adapun Pelabuhan di Bali dipakai menyelundupkan perempuan ke negara-negara Eropa. Setidaknya ada 4 (empat) unsur dalam praktik perdagangan orang yang meliputi :
  1. Adanya proses yakni pemindahan tempat, transportasi, transfer, dll.
  2. Adanya cara yakni paksaan, penipuan, kecurangan, dll.
  3. Adanya korban yakni orang yang menjadi objek perdagangan.
  4. Adanya Pelaku yakni orang yang mendapatkan keuntungan atas transaksi perdagangan tersebut (baik materi maupun immateri).
Bentuk Perdagangan Orang
Ada beberapa bentuk perdagangan orang yang terjadi pada perempuan dan anak :
Pertama, kerja paksa dan eksploitasi seks: ini untuk konsumsi baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, misalnya sebagai PRT, pekerja restoran, penjaga toko atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian yang lain; tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, beberapa perempuan memang tahu bahwa mereka akan dimasukkan ke jaringan industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja yang berbeda dengan yang dijanjikan sebelumnya dan mereka dikekang di bawah paksaan tertentu dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.

Kedua
, Pembantu rumah tangga (PRT) Modusnya : korban dipaksa berkerja sebagai PRT dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja yang sangat panjang, penyekapan pada tempat-tempat yang membuat korban tersiksa, upah yang tidak sepadan (tidak sesuai kesepakatan), bahkan tidak dibayar pada kurun waktu tertentu, atau dibayar namun dipotong dalam jumlah tertentu, terjebak jeratan hutang yang direkayasa, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lainnya untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.

Ketiga
, Bentuk lain dari kerja migran: misalnya bekerja di pabrik, restran atau toko kecil, beberapa dari buruh migran ini dipaksa bekerja dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan dan kekerasan.
Keempat, Penari, penyanyi dan pertukaran budaya: terutama diluar negeri, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing, pada kenyataannya banyak dari mereka dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Kelima
, Pengantin pesanan: terutama di luar negeri, beberapa perempuan dan anak yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu melalui cara perkawinan. Modusnya: para perempuan diperkenalkan dengan lelaki asing yang akan memperisteri dia. Dalam perjalanan setelah menjadi suami-isteri, para suami mereka memaksa istri-istri baru itu untuk bekerja keras untuk keluarganya, dan karena diikat melalui perkawinan maka sudah barang tentu perempuan-perempuan tersebut harus melayani kebutuhan seks suami (baik secara senang hati maupun terpaksa), dan mereka berada dalam suatu konfigurasi hubungan sosial yang tidak sehat/sepadan (kondisinya mirip perbudakan). bahkan jika suami telah bosan maka suami akan menjual isteri mereka ke industri seks.

Keenam
, Buruh/pekerja anak: beberapa anak yang berada di jalanan dipaksa oleh sekelompok orang (yang mengaku pemimpinnya) untuk melakukan suatu pekerjaan, misalnya meng-emis, mencari ikan di lepas pantai, bekerja di perkebunan, dan jenis-jenis pekerjaan yang lain. Mereka dipaksa bekerja dan menyetorkan hasil kerjanya kepada pemimpin tersebut.

Ketujuh
, Penjualan bayi: Beberapa buruh migran Indonesia (misalnya:TKW) ditipu dengan perkawinan palsu dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara ilegal.

Pelaku dan Korban
Orang, beberapa pihak yang berpotensi menjadi pelaku setidaknya adalah sebagai berikut :
  1. Penyelenggara Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS): dulu bernama PJTKI.
  2. Agen/calo tenaga kerja.
  3. Aparat pemerintah, jika memalsukan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran, dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.
  4. Majikan, jika menempatkan pekerja secara eksploitatif, tidak membayar gaji secara proporsif, menyekap pekerja, melakukan kekerasan seksual, kekerasan fisik, memaksa terus bekerja atau menjerat pekerja dengan hutang.
  5. Pemilik atau pengelola rumah bordil.
  6. Orang tua ataupun sanak saudara dapat dianggap sebagai pelaku manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudarannya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau pihak lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka dengan penghasilan yang akan diterima oleh anak/saudara mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi hutangnya dan menjerat anaknya untuk menjadi alat barter dalam penyelesaian masalah, misalnya untuk keluar dari lilitan hutang.
  7. Suami juga bisa menjadi pelaku, jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim atau memberi kesempatan atau memaksa isterinya untuk bekerja di suatu tempat demi keuntungan ekonomi. Misalnya menempatkannya dalam status budak yang harus bekerja keras dalam kendalinya atau memaksanya melakukan prostitusi.
Sementara yang berpotensi menjadi korban perdagangan orang tidak pandang bulu, siapa saja (setiap orang) dapat menjadi korban perdagangan khususnya perempuan dan anak diantaranya : Anak-anak jalanan, Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan/ informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilihnya, Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang sedang menjadi pengungsi, Perempuan dan anak miskin di kota-kota besar atau di pedesaan, Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar Negara, Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang, Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Perempuan yang menjadi korban perkosaan, Dll. Tidak dapat dipungkiri bila kelahiran UU-PTPPO membawa harapan baru akan kehidupan hari esok yang lebih baik, yang diindika-sikan oleh efektifnya pemberan-tasan tindak pidana perdagangan orang, yang juga berarti berkura-ngnya (dapat diminimalkannya) jumlah korban perdagangan orang (terutama dari kalangan perempuan dan anak).

Sumber : Koran Bhirawa, Kolom 2-5 hal 4, 24 Maret 2009, Surabaya.
* Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi JawaTimur.