IKHTILAF ULAMA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN; Memahami Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
KHTILAF ULAMA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN;
Memahami Sebab-sebab Terjadinya
Perbedaan dalam Menafsirkan al-Qur’an
oleh: Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Perbedaan adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Tulisan ini bertujuan memaparkan secara singkat tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an tersebut. Tentu saja dengan harapan agar kita dapat memahami dan mengambil sikap yang tepat menghadapi perbedaan tersebut.
Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur’an
DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.”[1]
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan tetapi, -sebagaimana akan diuraikan kemudian- dari sisi lain, ikhtilaf sendiri kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
1. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif).
2. Ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif).[2]
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah (1) sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih, atau (2) makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda, atau (3) terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.[3]
Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.[4]
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash, dan ikhtilaf yang didasari oleh selain nash –dalam hal ini adalah ra’yu.[5] Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi. Dan itulah yang akan dijelaskan berikut ini.
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash atau riwayat yang tidak sepakat dalam menungkapkan penjelasan terhadap suatu ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan –misalnya- beberapa penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang secara sekilas nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab-sebab berikut:
Pertama, ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan yang berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang dimaksud.[6]
Penjelasannya adalah bahwa sesuatu seringkali memiliki beberapa sifat atau karakteristik, namun ini tidak berarti bahwa sesuatu itu pun berbilang mengikuti berbilangnya sifat yang ia miliki. Sifat atau karakteristik apapun yang disebutkan oleh sang mufassir, maka itu mengarah kepada satu hal yang sama.
Contoh paling sederhana –misalnya- adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum al-Qiyamah). Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya yang lain, tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum al-Taghabun” (Hari saling menuntut) –misalnya- dimana setiap kata ini memiliki makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”.[7]
Contoh lain dalam kategori ini adalah penafsiran “al-Shirath al-Mustaqim” dalam surah al-Fatihah. Bila kita merujuk pada penafsiran ulama tentangnya, kita akan menemukan bahwa mereka sangat bervariasi dalam menafsirkan kata ini. Ada yang mengatakan bahwa “al-Sirath al-Mustaqim” adalah Islam. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah al-Qur’an, ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan yang lainnya. Sepintas, penafsiran ini nampak berbeda-beda, namun sebenarnya hakikatnya satu. Sebab hakikat dien al-Islam adalah mengikuti al-Qur’an. Ia juga mencakupi ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
“...Demikian pula penafsiran ulama yang menyatakan bahwa ia –‘al-Shirath al-Mustaqim’- adalah (mengikuti) al-Sunnah dan al-Jama’ah. Juga penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah jalan penghambaan, penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya saw, dan yang seperti itu; mereka semua mengisyaratkan pada hal yang sama, hanya saja masing-masing menggambarkannya dengan salah satu sifat yang dimiliki (oleh ‘al-Shirath al-Mustaqim’ itu).”[8]
Dengan melihat penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kategori ini dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak saling kontradiktif, dan bukan ikhtilaf tadhadh.
Kedua, al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum, lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu bagiannya yang khusus saja. Biasanya ini bertujuan untuk memberikan ‘stressing’ pada hal yang dimaksud, dan bukan untuk membatasi pengertian lafazh yang umum tersebut.[9]
Terkadang lafazh yang umum sulit untuk dijelaskan dengan sebuah batasan yang bersifat mutlak. Hal ini kemudian mendorong sang mufassir untuk menjelaskannya dengan memberikan dan mengetengahkan “contoh” yang merupakan salah satu bagian dari lafazh yang umum itu.
Seperti dalam surah Fathir, ayat 32:
¼ QWØR’ †WTÞ<’W¤`èVK… ðˆHTWT�YÑ<Ö@… WÝÿY¡PVÖ@… †WTÞ`~TWÉð¹`²@… óÝYÚ $†WTßY †W‰YÆ `ySäpÞYÙWTÊ cyYÖ†VÀº -YãY©pTÉWTÞYPÖ ØSä`ÞYÚWè bŸY±WTp�ÍQSÚ óØSä`ÞYÚWè =SÌYŠ†Wª g‹.W¤`kW�<Ö@†YTŠ YÜ<¢XM†TYŠ &JðY/@… ðÐYÖ.V¢ WéSå SÔTTpµWÉ<Ö@… S¤kY‰W|<Ö@… (32) » [فاطر:32]
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan menemukan perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan waktu namun ketinggalan jamaah, sementara yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim adalah yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain seputar ini.[10]
Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan,
“Sudah dimaklumi, bahwa ‘yang zhalim pada dirinya’ itu mencakup orang yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua larangan, ‘yang pertengahan’ adalah yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, dan ‘yang berkompetisi’ mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain disamping yang wajib...Lalu kemudian setiap mufassir menyebutkan salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Maka setiap pendapat yang menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan terhadap (jenis ketaatan) yang lainnya.”[11]
Dalam kasus lain, kategori ini dapat terjadi disebabkan adanya beberapa asbab al-Nuzul dalam satu ayat. Hal ini kemudian menyebabkan seorang mufassir menafsirkan ayat berdasarkan salah satu asbab al-Nuzulnya, sedangkan mufassir yang lain menafsirkannya berdasarkan asbab al-Nuzul yang lain. Seperti yang terjadi pada ayat tentang li’an dalam surah al-Nur, ayat 6:
¼ WÝÿY¡PVÖ@…Wè WÜéSÚó£WTÿ óØSäW–.Wè`¦VK… `yVÖWè ÝRÑWTÿ óØSäPVÖ Sò:…WŸWäS® :‚PV�MX… óØSäS©SÉßKV… SáWŸHTWäWWTÊ `yYåYŸWšVK… SÄWTŠ`¤VK… Y>‹.WŸHTWäW® *YJð/@†YŠ ISãPVßMX… WÝYÙVÖ WÜkYÎYŸHTQW±Ö@… (6) » [النور:6]
Dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-Bukhari dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk kasus Hilal ibn Umayyah ketika ia menuduh zina istrinya. Sementara dalam riwayat shahih lainnya disebutkan bahwa ayat ini turun pada kasus Uwaimir al-‘Ajluny.[12] Meskipun sekilas perbedaannya begitu nyata, tapi sebenarnya di sini tidak ada pertentangan, sebab ayat yang sama bisa saja turun untuk beberapa kasus yang sama. Hanya saja kemudian seorang mufassir menyebutkan yang ini, sementara yang lain mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang shahih. Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bila ini telah dipahami, maka perkataan salah seorang mereka bahwa ayat ini turun dalam (kasus) ini, samasekali tidak menfikan perkataan yang lain yang mengatakan bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu; selama lafazh (ayat) memang mencakup keduanya.”[13]
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa kategori kedua inipun tidaklah termasuk jenis ikhtilaf tadhadh yang kontradiktif. Ia termasuk jenis ikhtilaf tanawwu’ yang bersifat variatif, tidak bertentangan dan dapat dikompromikan.
Ketiga, hal-hal yang terkait dengan pemahaman terhadap lafazh, yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam menafsirkannya.
Terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir sebagai berikut:
1. Lafazh yang memiliki lebih dari satu makna.
Seperti yang terjadi dalam surah al-Muddatstsir, ayat 51:
¼ p‹QW£WTÊ ÝYÚ Y>áW¤WépT©WTÎ (51) » [المدثر:51]
Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan singa, atau pemanah, atau pemburu.[14] Ketiga makna itu memungkinkan untuk kata qaswarah, maka setiap mufassir pun menafsirkannya dengan mengambil satu dari makna-makna itu. Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting bahwa lafazh semacam ini berulang dalam al-Qur’an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu tempat, sementara makna yang lain tepat pada tempat lain.[15] Jenis inipun dapat dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu’.
2. Adanya beberapa lafazh yang memiliki makna yang mendekati makna lafazh qur’ani.
Kondisi kemudian membuat para mufassir berusaha menjelaskannya dengan salah satu dari beberapa lafazh itu. Meskipun lafazh itu tidak benar-benar tepat menggambarkan makna lafazh qur’ani dimaksud, tapi para mufassir berusaha untuk mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah al-Nisa’, ayat 163:
¼ :†PVßXM… :†WÞTT`~Wš`èVK… ðÐ`~VÖMX… :†WÙVÒ :†WÞTT`~TWš`èVK… uøVÖXM… w—éSTß WÝGTTTQY~Y‰PVÞÖ@…Wè ?ÝYÚ &-YâYŸ`ÅWŠ :†TWTÞ`~TWš`èVK…Wè uvøVÖXM… ðy~Yå.W£`TŠXM… WÔ~YÅHTTWTÙ`ªXM…Wè WÌHTW™`ªXM…Wè ð‡éSÍ`ÅWTÿWè Y·†W‰TT`ªVK‚ô@…Wè uøW©~YÆWè ð‡éQWTÿVK…Wè ð¨STßéSTÿWè WÜèS£HTWåWè &WÝHTWÙ`~VÕSªWè †WÞT`~WTŽ…ƒòWè W ISè…W …_¤éSŠW¦ (163) » [النساء:163]
Kata Auhaina (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan “pemberitahuan” (al-I’lam), adapula yang menafsirkannya dengan “menurunkan” (al-Inzal). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah sebuah upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –menurut Ibnu Taimiyah- adalah “pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi.”[16] Bila dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu’.
3. Perbedaan qira’at.
Ketika satu ayat memiliki qira’at yang berbeda, maka perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan qira’at yang ia gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr, ayat 15:
¼ vN…éSTÖ†WÍVÖ †WÙPVTßXM… p‹W£PYÑSª †WTßS£HTW±`TŠVK… `ÔWTŠ SÝ`™WTß b×`éTWTÎ WÜèS¤éS™pT©JðTÚ (15) » [الحجر:15
Kata Sukkirat selain dibaca tasydid seperti ini, ia juga dibaca biasa tanpa tasydid: sukirat. Bila dibaca tasydid, maka maknanya menjadi “terhalangi dan tertutupi”, dan jika dibaca tanpa tasydid, maknanya menjadi “tersihir”. Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab keduanya memiliki “hubungan dampak”; orang yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Itulah sebabnya, jenis inipun dapat dikatakan sebagai khtilaf tanawwu’.
Demikianlah, tiga kategori ikhtilaf dalam tafsir yang disandarkan pada sumber-sumber naqli (tafsir bil-ma’tsur). Dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang mendekati ikhtilaf tanawwu’ –untuk tidak mengatakan semuanya-. Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Khilaf (perbedaan) di kalangan salaf dalam tafsir itu sedikit. Khilaf mereka dalam masalah hukum jauh lebih banyak daripada khilaf mereka dalam tafsir. Mayoritas khilaf mereka yang diriwayatkan secara shahih (kepada kita) termasuk dalam kategori ikhtilaf tanawwu’, dan bukan ikhtilaf tadhadh.”[17]
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir ini memiliki kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir bil-ma’tsur). Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
Pertama, meyakini makna (baca: ide) tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Ada orang yang sebelumnya telah “tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu kemudian nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an, tetapi kesimpulan yang dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.[18]
Salah satu contoh paling jelas –misalnya- apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf, ayat 4:
¼ <¢XM… WÓ†WTÎ ñÈSªéSÿ YãTT~YŠVK‚Y� gŒWTŠKV†;HTTWÿ øYPTßMX… ñŒ`TÿVK…W¤ ðŸWšVK… W£WWÆ †_TT‰W{`éVÒ ð¨`ÙPVÖ@…Wè W£WÙWTÍ<Ö@…Wè `ØSäST�`TÿVK…W¤ øYÖ WÝÿYŸY•HTWª (4) » [يوسف:4]
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”[19]
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia. [20]
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an. Seperti saat memahami ayat:
¼ †WÙPVßXM… SòõøTY©PVÞÖ@… báW †fTTTÿX¦ Á $X£TpTÉS|<Ö@… QSÔWµSTÿ YãYŠ fÛTÿY¡PVÖ@… N…èS£WÉVÒ ISãTWTßéPRÕmïmñYš †_TÚ†WÆ ISãTWTßéSÚQX£fTT™STÿWè †_TÚ†WÆ N…éLSTTYº…WéS~PYÖ WáJðŸYÆ †WÚ W×QW£Wš &JðS/@… N…éPRÕY™S~WTÊ †WÚ W×QW£Wš &JðS/@… fÛTQYTÿS¦ `ySäVÖ Sò;éSª %`yXäYÕHTWÙ`ÆVK… SJðJðS/@…Wè ‚W� ÷YŸ`äWTÿ W×óéWÍ<Ö@… fÛTÿX£YÉHTW|<Ö@… (37) » [التوبة:37]
Kata “al-Nasi’” bila ditinjau dari sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy, Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’ dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang mengitarinya.[21]
Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Salah satu contoh paling jelas adalah ketika turunnya firman Allah,
¼ WÝÿY¡PVÖ@… N…éSÞTWÚ…ƒò `yVÖWè N…;éTTS©Y‰<ÕWTÿ ySäWÞTHTWÙÿXM… ]y<ÕRÀ¹YŠ ðÐMXù;HTTVÖOèKR… SØSäVÖ SÝ`ÚVK‚ô@… ØSåWè WÜèSŸWT�`äQSÚ (82) » [الأنعام:82]
“Orang-orang beriman dan iman mereka tidak diliputi oleh kezhaliman.”
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini tidak seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13:
¼ <¢MX…Wè WÓ†WTÎ ñÝHTWÙ`ÍRÖ -YãYÞ`TŠ@g‚� WéSåWè ISãñÀ¹YÅWTÿ JðøWÞTS‰HTWTÿ ‚W� `ÏX£`STŽ $YJð/@†YŠ UfûMX… ðÏó£TPYÖ@… }y<ÕRÀ¹VÖ cy~YÀ¹WÆ (13) » [لقمان:13].[22]
Kisah ini setidaknya menunjukkan 2 hal penting:
1. Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang beberapa sebab terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf memang ada dan terjadi dalam upaya menjelaskan al-Qur’an. Meskipun kemudian tidak serta merta semua ikhtilaf itu menjadi indikasi tidak baik, apalagi menyebabkan terjadinya usaha saling menyalahkan. Sebagaimana –ketika kita menegaskan hal itu-, tidak berarti pula kita mentolerir perilaku “asal beda” dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala sesuatu tentu memiliki patron dan batasan. Dan tindakan terbaik adalah jika kita selalu berusaha menjalani apapun sesuai dengan batasan yang semestinya.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fushul fi Ushul al-Tafsir: Musa’id ibn Sulaiman al-Thayyar. Dar Ibn al-Jauzy, Dammam, K.S.A. Cetakan ketiga 1420H/1999M.
2. Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir: DR. Wasim Fathullah. www.saaid.net.
3. Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim li Mukhalafah Ashhab al-Jahim: Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 727H). Tahqiq: DR. Nashir ibn ‘Abd al-Karim al-‘Aql. Maktabah al-Rusyd, Riyadh. Cetakan pertama 1404H.
4. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby (w. 681H). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. Cetakan ketiga 1413H.
5. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah: dikumpulkan oleh: ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Tanpa penerbit. T.t
6. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany. Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo. t.t.
7. Mufradat Alfazh al-Qur’an: al-Raghib al-Isfahany. Tahqiq: Shafwan ‘Adnan Dawudy. Dar al-Qalam, Beirut. Cetakan pertama 1412H.
8. Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir: Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 728H). Tahqiq: DR. Adnan Zarzur. Dar al-Qur’an al-Karim. Cetakan ketiga 1399H.
9. Tafsir Wanita: Syaikh Imad Zaki al-Barudi. Terj: Samson Rahman, MA. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan kedua (revisi) 2005.
[1] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 2.
[2] Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 55
[3] Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, 1/129-130.
[4] Ibid.
[5] Majmu’ al-Fatawa, 13/185
[6] Ibid., 13/178
[7] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 7-8.
[8] Muqaddmah fi Ushul al-Tafsir, hal. 42-43
[9] Majmu’ al-Fatawa, 13/180
[10] Lih. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 14/302-303.
[11] Majmu’ al-Fatawa, 13/180-182.
[12] Lih. Manahil al-‘Irfan, 1/116-115; Tafsir Wanita, hal. 518-520.
[13] Majmu’ al-Fatawa, 13/182.
[14] Mufradat Alfazh al-Qur’an, hal. 404.
[15] Majmu’ al-Fatawa, 13/182.
[16] Ibid., 13/183.
[17] Majmu’ al-Fatawa, 13/178.
[18] Majmu’ Fatawa.,13/190-192
[19] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 13-14.
[20] Majmu’ al-Fatawa, 13/191.
[21] Meski tidak dapat dipungkiri sumbangsih yang ia berikan dalam bidang ini (pen). Lih. Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 44-45.
[22] Karena itu, al-Thayyar dalam bukunya Fushul fi ‘Ushul al-Tafsir mengkritisi kesimpulan sebagian peneliti yang menyatakan bahwa Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna, al-Farra’ dan al-Zajjaj adalah para pionir (imam) dalam metode ini. Mereka seolah melupakan bagaimana para sahabat dan tabi’in juga telah menempuh metode ini jauh sebelum itu. Menurutnya, para sahabat adalah orang-orang Arab tulen, dan al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, bagaimana mungkin mereka tidak disebut sebagai imam dalam bahasa? Karena itu, -menurutnya- adalah sebuah kesalahan jika tafsir lughawy para sahabat dan tabi’in itu dikategorikan sebagai tafsir bil-ma’tsur. Lih. Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 44.