ISTISHHAB SEBAGAI SEBUAH PIJAKAN HUKUM DALAM USHUL FIQIH
OLEH:Karyanto Wibowo dan Muhammad Ikhsan
Pengantar
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih –sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
Wallahul muwaffiq!
Definisi Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[2]
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[3]
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.[4]
Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”[5]
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:
1. Firman Allah:
ÔSTÎ Jð: ñYVK
Á :WÚ øY`èRK
JðøVÖXM
[TÚQW£WSÚ uøVÕWÆ xyYÆVº ,-SãSÙWÅp¹WTÿ :PVMX
ÜKV
fûéRÑWTÿ ZàWTT`~TWÚ `èVK
_ÚW [TéSÉpT©QWÚ `èVK
WØTT`VÖ w£ÿX¥ÞY
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.[6]
2. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3. Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[7]
4. Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
- Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
- Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.[8]
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.[9]
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.
Tarjih
Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya. Istishhab adalah sesuatu yang fitrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.
Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yazulu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishhab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[10]
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.[11] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:
Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[12]
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:
WéSå ÷Y¡PVÖ@
WÌVÕW ØRÑVÖ QWÚ Á X³`¤KKVô@
_TÅ~YfÙ
“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah.
Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.[13]
Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.
Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.[14]
Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).
2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15]
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
3. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[16]
Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.
Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.
Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyah
Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.
Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:
Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)
Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup –baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain-. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.[17]
Hujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.
Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.[18]
Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[19]
Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana –menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.
Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.
Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.[20]
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.” (HR. Ibnu Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.[21]
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[22]
Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.
Thalaq Setelah Terjadinya Ila’
Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?
Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i.
Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu.[23]
Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.[24]
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaq ba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in.”[25]
Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.
Penutup
Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhab secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhab dalam Fikih Islam.[26]
Daftar Pustaka
1. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (al-Hafid). Dar al-Salam. Kairo. Cetakan pertama. 1416 H.
2. Al-Hidayah wa Syuruhuha. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi Bakr al-Marghinany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
3. Ilm Ushul al-Fiqh. ‘Abd al-Wahhab Khallaf. Dar al-Qalam. Kuwait. Cetakan keempat belas. 1401 H.
4. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5. Al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahib Fuqaha’ al-Amshar wa ‘Ulama al-Aqthar Fima Tadhammanahu al-Muwaththa’ min Ma’ani al-Ra’y wa al-Atsar. Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-Barr al-Andalusy. Tahqiq: DR. ‘Abd al-Mu’thy Amin Qal’ajy. Dar Qutaibah. Damaskus. Cetakan Kesepuluh. 1413 H.
6. Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Azis ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8. Al-Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab. Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy. Tahqiq: Muhammad Najib al-Muthi’iy. Maktabah al-Irsyad. Jeddah. T.t.
9. Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
10. Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
11. Nihayah al-Saul fi Syarh Minhaj al-Ushul. ‘Abd al-Rahim ibn Hasan al-Syafi’i al-Asnawy. Al-Mathba’ah al-Salafiyah. Kairo. T.t.
12. Syarh Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul. Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafy. Tahqiq: Thaha ‘Abd al-Ra’uf. Dar al-Fikr. Beirut. Cetakan pertama. 1393 H.
13. Taisir al-Tahrir. Muhammad Amir Badsyah. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
15. Ushul Fiqh. Prof. DR. H. Amir Syarifuddin. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. Cetakan ketiga. 1426 H.
16. Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
[1] Lih. Lisan al-Arab, term sha-hi-ba.
[2] Nihayah al-Saul, 3/131.
[3] Syarh Tanqih al-Fushul, hal. 199.
[4] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/103-104.
[5] Irsyad al-Fuhul, hal. 237.
[6] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/111.
[7] Ibid, 2/112.
[8] Lih. Taisir al-Tahrir, 4/176.
[9] Lih. Kasyf al-Asrar, 3/390, Irsyad al-Fuhul, 238.
[10] Lih. ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 152-152, Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/116.
[11] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/105.
[12] Lih. Kasysf al-Asrar, 2/317, Al-Mushtashfa, 3/132
[13] Ibid.
[14] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/107.
[15] Ibid, 2/108.
[16] Ibid, 2/109.
[17] Lih. al-Istidzkar, 21/233, al-Umm, 4/4.
[18] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/118.
[19] Lih. al-Mughni, 6/389.
[20] Lih. al-Majmu’, 3/58.
[21] Lih. Faidh al-Qadir, 5/374, sebagaimana dalam Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/119.
[22] Lih. al-Mughni, 1/135-136.
[23] Lih. Bidayah al-Mujtahid, 2/101, al-Umm, 5/275.
[24] Lih. Al-Mughni, 7/563.
[25] Lih. Al-Hidayah wa Syuruhiha, 3/185.
[26] Lih. Juga Ushul Fiqh, 2/352.
Saturday, January 23, 2010
ISTIHSAN DAN KEDUDUKANNYA SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM DALAM USHUL FIQIH
ISTIHSAN DAN KEDUDUKANNYA SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM DALAM USHUL FIQIH
oleh:Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Wallahul muwaffiq!
Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[1]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.[2]
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[3]
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.[5]
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[6]
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”[7]
Sejarah Pemunculan Istihsan Sebagai Salah Satu Sumber Tasyri’ Islam
Satu hal yang pasti adalah bahwa penggunaan Istihsan memang tidak ditegaskan dalam berbagai nash yang ada; baik dalam al-Qur’an ataupun dalam al-Sunnah. Namun itu tidak berarti bahwa aplikasinya tidak ditemukan di masa sahabat Nabi saw dan tabi’in. Meskipun jika diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penggunaan Istihsan di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan ra’yu di kalangan mereka. Atau dengan kata lain, Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa itu belum pernah disebut-sebut.
Penggunaan ra’yu sendiri secara umum mendapatkan legitimasi dari Rasulullah saw, sebagaimana yang beliau tegaskan dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a.[8] Itulah sebabnya, para sahabat kemudian menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka, meskipun diletakkan pada bagian akhir dari prosesnya. Abu Bakr al-Shiddiq –misalnya- jika dihadapkan pada suatu masalah, lalu ia tidak menemukan jawabannya dalam Kitabullah, begitu pula dalam al-Sunnah, serta pandangan sahabat yang lain, maka beliau melakukan ijtihad dengan ra’yunya. Kemudian mengatakan:
“Inilah ‘ra’yu’-ku. Jika ia benar, maka itu dari Allah semata. Namun jika ia salah, maka itu dariku dan dari syaithan.”[9]
Praktek penggunaan ra’yu juga dapat ditemukan pada Umar bin al-Khaththab r.a. Dalam kasus yang sangat populer dimana beliau menambah jumlah cambukan untuk peminum khamar menjadi 80 cambukan, padahal yang diriwayatkan dari Rasulullah saw adalah bahwa beliau mencambuk peminum khamar hanya sebanyak 40 cambukan.[10] Tetapi ketika Umar melihat banyak peminum khamar yang tidak takut lagi dengan hukuman itu, beliau pun melipatgandakan jumlahnya, dan itu kemudian disepakati oleh para sahabat yang lain.[11] Meskipun sebagian ulama memandang ini sebagai sebuah upaya ta’zir yang menjadi hak seorang imam, namun tetap saja di sini terlihat sebuah proses penggunaan instrumen ra’yu oleh Umar r.a dalam ijtihadnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa para sahabat Nabi saw menggunakan ra’yu dalam ijtihad mereka saat mereka tidak menemukan nash untuk sebuah masalah dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Ra’yu di sini tentu saja dengan pemahamannya yang luas, yang mencakup qiyas, Istihsan, Istishab (al-Bara’ah al-Ashliyah), Sadd al-Dzari’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Semuanya itu dibingkai dengan pemahaman yang dalam tentang maqashid dan prinsip-prinsip Syariat Islam yang luhur. Inilah yang kemudian yang disebut dengan al-ra’yu al-mahmud (logika yang terpuji), sebagai lawan dari al-ra’yu al-madzmum (logika yang tercela) yang hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka.[12]
Lalu adakah contoh Istihsan di masa sahabat? DR. Sya’ban Muhammad Ismail menyebutkan beberapa bukti kasus yang dapat disebut sebagai “cikal-bakal” Istihsan di masa sahabat[13], salah satunya adalah kasus al-Musyarrakah. Dalam kasus ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
Jika melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa, karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh –dalam hal ini suami, ibu dan saudara seibu-. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam 2 pendapat:
1. Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhum berpendapat sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
2. Sementara Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum mengikutsertakan saudara sekandung dalam bagian saudara seibu (1/3). Bagian ini dibagi rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung memiliki kesamaan jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua berasal dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan bagian yang sama.[14]
Jika kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak jelas bagaimana para sahabat yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku dan menetapkan apa yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita untuk mengatakan ini sebagai sebuah Istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata Istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam banyak kesempatan, kata Istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan Istihsan.”[15]
Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan Lintas Madzhab
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[16]
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
vN éSÅYTPVT@ Wè WÝW©`KV :WÚ WÓX¥ßKR ØS|`~VÖMX ÝYQÚ ØRÑTQYTPV¤ ÝYQÚ XÔ`WTÎ ÜKV SØS|W~YK<WTÿ ñ W¡WÅ<Ö@ ^àWpTTçÅWT `ySßKV Wè W
fûèS£SÅpTWT (55) [الزمر:55]
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”[17]
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
4. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam[18] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[19]
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
WÝÿY¡PVÖ@ WäQSTÿKVH;TTWÿ Nv éSÞWÚ ò N éSÅ~YºVK JðW/@ N éSÅ~YºVK Wè WÓéSªQW£Ö@ øYÖOèRK Wè X£`ÚKKVô@ $`yRÑÞYÚ ÜXMWTÊ `ØST`ÆW¥HTWTÞWT Á xòpøW® SâèPR S£WTÊ øVÖXM JðY/@ XÓéSªQW£Ö@ Wè ÜMX `ØSÞRÒ WÜéSÞYpÚëST YJð/@Y Yz`éW~Ö@ Wè &X£Y@ ðÐYÖ.V¢ b¤`kTW SÝfTT©`VK Wè ½ÿXè
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”[20]
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).[21]
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial.[22] Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.[23]
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”[24] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[25]
2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[26]
3. Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [27]
Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah saw.[28]
Bila kedua hal ini –pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap Istihsan- dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya- mencela berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga Allah merahmati mereka semua-.[29]
Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf[30], maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[31]
3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[32]
4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
Á ]éS~ST WÜY¢VK JðS/@ ÜKV WÄWTÊó£ST W£W{`¡STÿWè fTTTä~YÊ ISãSÙ`ª@ (36) [النور:36]
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.[33]
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.[34]
Kedua, berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut terhadap qiyas.[35] Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Salah satu contoh untuk yang pertama adalah penetapan kesucian liur hewan carnivora dari jenis burung. Dalam kasus ini, burung yang carnivora –karena biasa memakan bangkai- seharusnya diqiyaskan kepada hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal najisnya liur mereka. Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih dekat (secara qiyas khafy) dengan liur manusia, karena keduanya –manusia dan burung yang carnivora- tidak boleh dimakan. Dan liur manusia –sebagaimana terdapat dalam hadits– adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang carnivora juga suci. Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan makanannya dengan menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota badan yang suci dari najis. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsan lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas.[36]
Adapun untuk jenis yang kedua, contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam shalat. Secara qiyas seharusnya sujud tilawah dapat digantikan dengan ruku’ tilawah, karena baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan tetapi berdasarkan istihsan, sujud tilawah adalah sama dengan sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan rukun di dalamnya-. Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’, demikian pula dengan sujud tilawah. Namun dalam kasus ini –menurut Hanafiyah- pengamalan qiyas lebih kuat dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.[37]
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain –pen), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.
Lalu ia mengatakan,
“Tapi ada ulama yang kolot yang masih saja menolak hal ini (baca: istihsan dalam kasus ini) dengan alasan bahwa ini telah melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jika mengandung mudharat terhadapnya. Dan dalam kasus ini, justru tidak melakukan tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya) justru akan menyebabkan mudharat.”[38]
Penutup
Dari uraian singkat di atas, pada bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait dengan pembahasan istihsan ini sebagai berikut:
1. Bahwa istihsan sebagai salah satu metode ijtihad dengan menggunakan ra’yu telah ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi saw, meski belum menjadi pembahasan yang berdiri sendiri. Lalu kemudian menjadi sebuah metode yang dapat dikatakan berdiri sendiri setelah memasuki era para imam mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah.
2. Bahwa istihsan sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf.
3. Bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.
Demikianlah kesimpulan penulisan ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya –secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih di masa datang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’. Abu Bakr ibn Mas’ud al-Kasany. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
2. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Muhammad ibn Muhammad ibn Hazm al-Zhahiry. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. T.t.
3. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah. Dar al-Jail. Beirut. T.t.
4. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5. Al-Istihsan. http://ar.wikipedia.org/w/index.php?title.
6. Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8. Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
9. Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
10. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby. Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1411 H.
11. Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhir. Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisy. Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama. 1416 H.
12. Al-Risalah. Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. T.t.
13. Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’iy al-Kabir. Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Tahqiq: DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Maktabah Ibn Taimiyah. Kairo. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
15. Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
16. Ushul Madzhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal. DR. ‘Abdullah al-Turky. Mu’assasah al-Risalah. Lebanon. Cetakan pertama. 1414 H.
[1] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[2] Definisi ini diterjemahkan secara bebas dari definisi Istihsan yang disebutkan oleh al-Karkhy –salah seorang ulama Hanafiyah-, dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu Qudamah al-Hanbaly. Lih. Kasyf al-Asrar, 4/3. dan Raudhah al-Nazhir, 1/497.
[3] Al-Mustashfa, 1/138.
[4] Al-Istihsan, hal. 1 (http://ar.wikipedia.org/w/index.php?title)
[5] Ibid.
[6] Lih. Raudhah al-Nazhir, 1/497.
[7] Mashadir al-Tasyri’ Fima La Nashsha Fihi, hal. 70, sebagaimana dalam Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/52.
[8] HR. Al-Tirmidzy dalam Sunan-nya, Kitab al-Aqdhiyah, no. 3119. Banyak ulama yang menguatkan hadits ini, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
[9] Lih. I’lam al-Muwaqqi’in, 1/54.
[10] Lih. HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Hudud, no. 3218.
[11] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/26.
[12] Jenis ra’yu inilah yang ditentang oleh para sahabat, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.” (Lih. I’lam al-Muwaqqi’in, 1/55). Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas koridor Syariat yang semestinya.
[13] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/29-31.
[14] Pada mulanya, Umar tidak berpendapat seperti ini, tetapi ia kemudian mengatakan, “Anggap saja bapak mereka (saudara sekandung) adalah seekor keledai (himar), maka hal itu tidak mengurangi dekatnya (kekerabatan), maka sertakanlah mereka (dalam bagian itu).” (Lih. Al-Mughni, 7/21-22). Karena itu, kasus ini dikenal juga dengan nama al-Himariyyah, dinisbatkan kepada himar atau keledai.
[15] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/48-50.
[16] Lih. Badai’ al-Shanai’, 7/84, al-Muwafaqat, 4/209, Ushul Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 509.
[17] HR. Ahmad dalam al-Musnad, Kitab al-Sunnah.
[18] Hammam adalah semacam pemandian umum pada waktu yang lalu, biasanya dilengkapi dengan fasilitas air hangat. (pen)
[19] Lih. Al-Risalah, hal. 219, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 2/892.
[20] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 5/759.
[21] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/49.
[22] Ibid, 2/91-97.
[23] Irsyad al-Fuhul, hal. 212.
[24] Lih. Al-Risalah, hal. 25.
[25] Lih. Al-Umm, 5/52. Riwayat ini disebutkan dalam Talkish al-Habir (3/219), dimana ada seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan menyebutkan bahwa ia telah menceraikan istrinya, maka Ibn ‘Umar mengatakan: “Berilah ia sekian...”. Dan setelah dihitung, jumlahnya sekitar 30 dirham.
[26] Ibid. (3/232)
[27] Ibid. 1/66.
[28] Lih. Talkhish al-Habir, 1/217.
[29] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/50, 91-96.
[30] Al-Salaf adalah istilah lain untuk jual-beli al-salam. (pen).
[31] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/82.
[32] Ibid, 2/85.
[33] Lih. Al-Muwafaqat, 4/117.
[34] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/87.
[35] Lih. Taisir al-Tahrir, 4/78.
[36] Ibid, 4/79-80.
[37]Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/89.
[38] I’lam al-Muwaqqi’in, 3/18.
oleh:Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Wallahul muwaffiq!
Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[1]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.[2]
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[3]
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.[5]
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[6]
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”[7]
Sejarah Pemunculan Istihsan Sebagai Salah Satu Sumber Tasyri’ Islam
Satu hal yang pasti adalah bahwa penggunaan Istihsan memang tidak ditegaskan dalam berbagai nash yang ada; baik dalam al-Qur’an ataupun dalam al-Sunnah. Namun itu tidak berarti bahwa aplikasinya tidak ditemukan di masa sahabat Nabi saw dan tabi’in. Meskipun jika diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penggunaan Istihsan di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan ra’yu di kalangan mereka. Atau dengan kata lain, Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa itu belum pernah disebut-sebut.
Penggunaan ra’yu sendiri secara umum mendapatkan legitimasi dari Rasulullah saw, sebagaimana yang beliau tegaskan dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a.[8] Itulah sebabnya, para sahabat kemudian menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka, meskipun diletakkan pada bagian akhir dari prosesnya. Abu Bakr al-Shiddiq –misalnya- jika dihadapkan pada suatu masalah, lalu ia tidak menemukan jawabannya dalam Kitabullah, begitu pula dalam al-Sunnah, serta pandangan sahabat yang lain, maka beliau melakukan ijtihad dengan ra’yunya. Kemudian mengatakan:
“Inilah ‘ra’yu’-ku. Jika ia benar, maka itu dari Allah semata. Namun jika ia salah, maka itu dariku dan dari syaithan.”[9]
Praktek penggunaan ra’yu juga dapat ditemukan pada Umar bin al-Khaththab r.a. Dalam kasus yang sangat populer dimana beliau menambah jumlah cambukan untuk peminum khamar menjadi 80 cambukan, padahal yang diriwayatkan dari Rasulullah saw adalah bahwa beliau mencambuk peminum khamar hanya sebanyak 40 cambukan.[10] Tetapi ketika Umar melihat banyak peminum khamar yang tidak takut lagi dengan hukuman itu, beliau pun melipatgandakan jumlahnya, dan itu kemudian disepakati oleh para sahabat yang lain.[11] Meskipun sebagian ulama memandang ini sebagai sebuah upaya ta’zir yang menjadi hak seorang imam, namun tetap saja di sini terlihat sebuah proses penggunaan instrumen ra’yu oleh Umar r.a dalam ijtihadnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa para sahabat Nabi saw menggunakan ra’yu dalam ijtihad mereka saat mereka tidak menemukan nash untuk sebuah masalah dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Ra’yu di sini tentu saja dengan pemahamannya yang luas, yang mencakup qiyas, Istihsan, Istishab (al-Bara’ah al-Ashliyah), Sadd al-Dzari’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Semuanya itu dibingkai dengan pemahaman yang dalam tentang maqashid dan prinsip-prinsip Syariat Islam yang luhur. Inilah yang kemudian yang disebut dengan al-ra’yu al-mahmud (logika yang terpuji), sebagai lawan dari al-ra’yu al-madzmum (logika yang tercela) yang hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka.[12]
Lalu adakah contoh Istihsan di masa sahabat? DR. Sya’ban Muhammad Ismail menyebutkan beberapa bukti kasus yang dapat disebut sebagai “cikal-bakal” Istihsan di masa sahabat[13], salah satunya adalah kasus al-Musyarrakah. Dalam kasus ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
Jika melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa, karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh –dalam hal ini suami, ibu dan saudara seibu-. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam 2 pendapat:
1. Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhum berpendapat sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
2. Sementara Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum mengikutsertakan saudara sekandung dalam bagian saudara seibu (1/3). Bagian ini dibagi rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung memiliki kesamaan jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua berasal dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan bagian yang sama.[14]
Jika kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak jelas bagaimana para sahabat yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku dan menetapkan apa yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita untuk mengatakan ini sebagai sebuah Istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata Istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam banyak kesempatan, kata Istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan Istihsan.”[15]
Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan Lintas Madzhab
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[16]
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
vN éSÅYTPVT@ Wè WÝW©`KV :WÚ WÓX¥ßKR ØS|`~VÖMX ÝYQÚ ØRÑTQYTPV¤ ÝYQÚ XÔ`WTÎ ÜKV SØS|W~YK<WTÿ ñ W¡WÅ<Ö@ ^àWpTTçÅWT `ySßKV Wè W
fûèS£SÅpTWT (55) [الزمر:55]
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”[17]
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
4. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam[18] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[19]
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
WÝÿY¡PVÖ@ WäQSTÿKVH;TTWÿ Nv éSÞWÚ ò N éSÅ~YºVK JðW/@ N éSÅ~YºVK Wè WÓéSªQW£Ö@ øYÖOèRK Wè X£`ÚKKVô@ $`yRÑÞYÚ ÜXMWTÊ `ØST`ÆW¥HTWTÞWT Á xòpøW® SâèPR S£WTÊ øVÖXM JðY/@ XÓéSªQW£Ö@ Wè ÜMX `ØSÞRÒ WÜéSÞYpÚëST YJð/@Y Yz`éW~Ö@ Wè &X£Y@ ðÐYÖ.V¢ b¤`kTW SÝfTT©`VK Wè ½ÿXè
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”[20]
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).[21]
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial.[22] Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.[23]
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”[24] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[25]
2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[26]
3. Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [27]
Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah saw.[28]
Bila kedua hal ini –pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap Istihsan- dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya- mencela berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga Allah merahmati mereka semua-.[29]
Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf[30], maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[31]
3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[32]
4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
Á ]éS~ST WÜY¢VK JðS/@ ÜKV WÄWTÊó£ST W£W{`¡STÿWè fTTTä~YÊ ISãSÙ`ª@ (36) [النور:36]
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.[33]
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.[34]
Kedua, berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut terhadap qiyas.[35] Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Salah satu contoh untuk yang pertama adalah penetapan kesucian liur hewan carnivora dari jenis burung. Dalam kasus ini, burung yang carnivora –karena biasa memakan bangkai- seharusnya diqiyaskan kepada hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal najisnya liur mereka. Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih dekat (secara qiyas khafy) dengan liur manusia, karena keduanya –manusia dan burung yang carnivora- tidak boleh dimakan. Dan liur manusia –sebagaimana terdapat dalam hadits– adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang carnivora juga suci. Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan makanannya dengan menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota badan yang suci dari najis. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsan lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas.[36]
Adapun untuk jenis yang kedua, contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam shalat. Secara qiyas seharusnya sujud tilawah dapat digantikan dengan ruku’ tilawah, karena baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan tetapi berdasarkan istihsan, sujud tilawah adalah sama dengan sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan rukun di dalamnya-. Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’, demikian pula dengan sujud tilawah. Namun dalam kasus ini –menurut Hanafiyah- pengamalan qiyas lebih kuat dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.[37]
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain –pen), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.
Lalu ia mengatakan,
“Tapi ada ulama yang kolot yang masih saja menolak hal ini (baca: istihsan dalam kasus ini) dengan alasan bahwa ini telah melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jika mengandung mudharat terhadapnya. Dan dalam kasus ini, justru tidak melakukan tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya) justru akan menyebabkan mudharat.”[38]
Penutup
Dari uraian singkat di atas, pada bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait dengan pembahasan istihsan ini sebagai berikut:
1. Bahwa istihsan sebagai salah satu metode ijtihad dengan menggunakan ra’yu telah ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi saw, meski belum menjadi pembahasan yang berdiri sendiri. Lalu kemudian menjadi sebuah metode yang dapat dikatakan berdiri sendiri setelah memasuki era para imam mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah.
2. Bahwa istihsan sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf.
3. Bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.
Demikianlah kesimpulan penulisan ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya –secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih di masa datang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’. Abu Bakr ibn Mas’ud al-Kasany. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
2. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Muhammad ibn Muhammad ibn Hazm al-Zhahiry. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. T.t.
3. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah. Dar al-Jail. Beirut. T.t.
4. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5. Al-Istihsan. http://ar.wikipedia.org/w/index.php?title.
6. Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8. Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
9. Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
10. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby. Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1411 H.
11. Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhir. Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisy. Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama. 1416 H.
12. Al-Risalah. Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. T.t.
13. Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’iy al-Kabir. Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Tahqiq: DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Maktabah Ibn Taimiyah. Kairo. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
15. Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
16. Ushul Madzhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal. DR. ‘Abdullah al-Turky. Mu’assasah al-Risalah. Lebanon. Cetakan pertama. 1414 H.
[1] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[2] Definisi ini diterjemahkan secara bebas dari definisi Istihsan yang disebutkan oleh al-Karkhy –salah seorang ulama Hanafiyah-, dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu Qudamah al-Hanbaly. Lih. Kasyf al-Asrar, 4/3. dan Raudhah al-Nazhir, 1/497.
[3] Al-Mustashfa, 1/138.
[4] Al-Istihsan, hal. 1 (http://ar.wikipedia.org/w/index.php?title)
[5] Ibid.
[6] Lih. Raudhah al-Nazhir, 1/497.
[7] Mashadir al-Tasyri’ Fima La Nashsha Fihi, hal. 70, sebagaimana dalam Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/52.
[8] HR. Al-Tirmidzy dalam Sunan-nya, Kitab al-Aqdhiyah, no. 3119. Banyak ulama yang menguatkan hadits ini, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
[9] Lih. I’lam al-Muwaqqi’in, 1/54.
[10] Lih. HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Hudud, no. 3218.
[11] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/26.
[12] Jenis ra’yu inilah yang ditentang oleh para sahabat, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.” (Lih. I’lam al-Muwaqqi’in, 1/55). Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas koridor Syariat yang semestinya.
[13] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/29-31.
[14] Pada mulanya, Umar tidak berpendapat seperti ini, tetapi ia kemudian mengatakan, “Anggap saja bapak mereka (saudara sekandung) adalah seekor keledai (himar), maka hal itu tidak mengurangi dekatnya (kekerabatan), maka sertakanlah mereka (dalam bagian itu).” (Lih. Al-Mughni, 7/21-22). Karena itu, kasus ini dikenal juga dengan nama al-Himariyyah, dinisbatkan kepada himar atau keledai.
[15] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/48-50.
[16] Lih. Badai’ al-Shanai’, 7/84, al-Muwafaqat, 4/209, Ushul Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 509.
[17] HR. Ahmad dalam al-Musnad, Kitab al-Sunnah.
[18] Hammam adalah semacam pemandian umum pada waktu yang lalu, biasanya dilengkapi dengan fasilitas air hangat. (pen)
[19] Lih. Al-Risalah, hal. 219, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 2/892.
[20] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 5/759.
[21] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/49.
[22] Ibid, 2/91-97.
[23] Irsyad al-Fuhul, hal. 212.
[24] Lih. Al-Risalah, hal. 25.
[25] Lih. Al-Umm, 5/52. Riwayat ini disebutkan dalam Talkish al-Habir (3/219), dimana ada seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan menyebutkan bahwa ia telah menceraikan istrinya, maka Ibn ‘Umar mengatakan: “Berilah ia sekian...”. Dan setelah dihitung, jumlahnya sekitar 30 dirham.
[26] Ibid. (3/232)
[27] Ibid. 1/66.
[28] Lih. Talkhish al-Habir, 1/217.
[29] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/50, 91-96.
[30] Al-Salaf adalah istilah lain untuk jual-beli al-salam. (pen).
[31] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/82.
[32] Ibid, 2/85.
[33] Lih. Al-Muwafaqat, 4/117.
[34] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/87.
[35] Lih. Taisir al-Tahrir, 4/78.
[36] Ibid, 4/79-80.
[37]Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/89.
[38] I’lam al-Muwaqqi’in, 3/18.
ISLAM DAN PEMILU; SEBUAH KAJIAN TENTANG KONSEP PEMILU MENURUT ISLAM
ISLAM DAN PEMILU;
SEBUAH KAJIAN TENTANG KONSEP PEMILU
MENURUT ISLAM
oleh:Muhammad Ikhsan
Pengantar
Tema keikutsertaan aktifis Islam –baik dari kalangan ulama, du’at dan pemikirnya- dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-kontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak dahulu –bahkan sejak berabad-abad lalu- tema keterlibatan para ulama dan cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara –baik sebagai eksekutif, legislatif ataupun yudikatif- selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis” tersebut, namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut –tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu-.[1]
Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal:
Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut.
Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’) secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalifah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan –sangat disayangkan- bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalifah itu. Alasannya tentu sangat jelas: rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.
Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar.
Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari. Interaksi kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak melewati batas individu saja –kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak sama satu dengan yang lain-.
Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi umat Islam, namun “anehnya” secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat “keinginan untuk menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri –dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya berperan sangat besar dalam hal ini-.
Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka.
Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu –secara lembaga maupun individu- telah menyimpang dari jalan yang benar dan perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun mereka kemudian berbeda pandangan lagi: apakah perubahan itu harus melalui kudeta? Atau mengikuti persaingan politik yang keras? Atau justru dengan melakukan kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah negara?
Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini –secara lembaga maupun individu-. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?
Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada.
Kaidah-kaidah Pengantar Penting untuk Penyimpulan Konsep Pemilu Menurut Islam
Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan beberapa kaidah dimaksud, yaitu:[2]
Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu dengan yang lain. Karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi.
Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-Walayah al-‘Ammah), seperti khalifah, qadhi, menteri, gubernur, hisbah[3], dan yang terkait dengannya; semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi, seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilafah atau imamah mengatakan:
“Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”[4]
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling utama.”[5]
Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan.
Kekuasaan yudikatif (qadha’) misalnya –yang notabene merupakan kekuasaan syar’i yang sangat mulia-, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami Syariat Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan Syariat Islam. Dan ia tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai dengan wahyu Allah.[6]
Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas umat Muhammad saw; yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus masyarakat muslim; baik secara individu ataupun kelembagaan.
Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti para rasul dalam menyampaikan risalah Allah.
Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:
“...akan tetapi dia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani dengan apa yang kalian ajarkan dari al-Kitab dan apa yang kalian pelajari.” (Ali Imran: 79)
Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan mengatakan:
“Jika demikian, para rabbaniyyun adalah sandaran manusia dalam pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama, sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman, yang memahami politik (siyasah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.’”[7]
Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam:
1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah, fara’idh, hukum seputar keluarga –seperti nikah dan talaq-, hudud, qishash dan diyatnya.
2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’malah harta dan sistem tatanan sosial yang terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya.
Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-Tsawabit); baik yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ni tidak ada perbedaan antara yang qath’i ataupun zhanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya –meskipun ada- namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan perselisihan dan permusuhan.[8]
Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada.
Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal) dan adapula yang bersifat terperinci (mufashshal), meskipun yang mayoritas adalah yang pertama.
Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang satu ini,misalnya, Allah berfirman:
“Dan hendaklah (engkau) memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah.........” (al-Maidah: 49)
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada posisi yang tepat.
Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya, seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya.[9]
Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu bersifat ijtihadiyah dan bukan tauqifiyah.
Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. ia bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya.
Sistem adminstrasi pada masa Khulafa’urrasyidun –misalnya- berbeda dengan sistem yang berlaku di zaman Nabi saw ataupun dengan era pemerintahan di masa Umawiyah dan Abbasiyah.
Fakta sejarah –misalnya- menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khatthab r.a. adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan), dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islamiyah yang pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan sejalan dengan mashlahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih mashlahat.
Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja atau tidak?
Konsep Pemilu dalam Islam
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadhi, dan anggota majlis syura (parlemen)? Atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku?
Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa wal Islam –maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw-, maka kita tidak menemukan hal itu. Abu Bakar menjadi khalifah melalui proses bai’at yang disepakati oleh Ahl al-Sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami (maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam dalam urusan dunia kami?”
Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin al-Khatthab r.a adalah proses istikhlaf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu’ah al-Majusi: “Jika aku melakukan istikhlaf, maka orang yang lebih baik dariku pun –maksudnya Abu Bakar- telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya –yaitu Rasulullah saw-.”
Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh Khalifah Harun al-Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab: “Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum beriman pun mendiamkannya.” Harun al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan: “Saat itu Rasulullah saw sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi saw. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca: sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah saw.”[10]
Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam haruslah berasal dari Suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu luas:
(1) Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti tertentu.
(2) Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.
(3) Syarat ini hanya terkait dengan al-Imamah al-‘Uzhma saja, bukan kekuasaan yang lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan ditunjuk? Poin kequraisyian inilah yang menentukannya.
Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap bersifat muthlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk kepemimpinan tertinggi di sebuah negara.
Konsep pemilu sendiri –dalam bentuknya yang modern- dapat dikatakan sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki karakter ideologis dan sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
Karakter Ideologis Pemilu Barat
Diantaranya adalah:
1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara –sesuai dengan latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen.
2. Menjauhkan agama –apapun- dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik, adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka. Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya.
3. Hubungan sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat, bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk menghakiminya.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti:
- Bahwa kebebasan semacam ini (seharusnya) memberikan kesempatan dan ruang gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran –terutama para da’i-, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya.
- Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterusterangan antara penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka secara bebas.
Karakter Teknis-Adminstratif Pemilu Barat
Diantaranya adalah:
1. Keragaman partai politik. Dan ini adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen.[11]
2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen. Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat sebagai salah satu prinsip Demokrasi.
3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu; 2, 3, 4 atau 5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula kekuasaan pemerintah terpilih.
4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, judikatif dan eksekutif. Ini juga dapat disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat.
Dengan melihat ulang karakteristik tersebut –baik yang bersifat ideologis maupun adminstratif-, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Karakter pertama misalnya –penetapan undang-undang- jelas bertentangan dan bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah (samawiyah). Allah berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diinginkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan.” (Al-Syura: 21)
Karakter kedua juga demikian: memisahkan agama dari kehidupan sosial masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari, bahkan mengecam tindak pemisahan itu, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Nisa’ ayat 150-151.
Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk kebebasan yang sejalan dengan Syariat.
Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan umum, dan pemisahan 3 jenis kekuasaan, maka nampaknya ini dapat dikategorikan sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan modern yang berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi 3 tahap: dasar, menengah dan perguruan tinggi; dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya.
Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep “negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa Khulafa’ al-Rasyidun hingga Khilafah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah yang berada di bawah naungan dan jangkauan kekhilafahan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang, sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri” bahwa setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah satu kekhilafahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya.
Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan dan pemisahan tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung pada prinsip “Jalb al-Mashlahah wa Dar’u al-Mafsadah” . Dan ini adalah prinsip yang umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam sejarah politik Islam awal, terutama di masa Khalifah Umar bin al-Khathab r.a.
Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencari-cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidaksyar’iyan adanya keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan 3 jenis kekuasaan tersebut. Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih untuk itu.
Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak bertentangan dengan Syariat Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain, terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal dari luar Islam.
Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan akademisi.[12] Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting ini: pemilihan pemimpin negara.
Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hil wa al-‘aqd yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya, penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual, seperti perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi keilmuan, dan yang semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada Dewan Parlemen.
Penutup
Dari uraian di atas, sesungguhnya ada satu poin penting yang ingin ditegaskan oleh penulis, yaitu bahwa saat ini kita sebagai seorang muslim dihadapkan pada dua hal yang penting untuk selalu dijadikan pertimbangan: (1) bahwa kita harus berpegang teguh pada Syariat Allah, dan (2) disaat yang sama kenyataan masa kiwari yang juga menuntut kita untuk dapat menyesuaikan diri dengan segala perkembangannya.
Kedua hal ini jelas harus kita jalani dengan seimbang. Itulah sebabnya, keteguhan kita pada Syariat Allah seharusnya tidak menghalangi kita untuk beradaptasi dengan zaman manapun, sebab pada dasarnya Syariat Islam memberikan kita ruang untuk itu. Ada hal-hal yang dapat “dilenturkan” –dan karena itu, ia dapat berubah dari waktu ke waktu-, namun ada hal-hal yang tidak dapat digoyahkan sedikit pun. Dan kasus pemilu serta sistem pemerintahannya lainnya adalah contoh nyata yang menunjukkan pada kita kedua hal itu.
Pada akhirnya, yang paling kita butuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang dalam dan bijak akan nilai-nilai Syariat Allah ini, agar kita dapat mengejawantahkannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Rabb yang menurunkannya sebagai rahmat bagi alam semesta.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Cipinang Muara, 15 April 2006
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardy. Tahqiq: Ahmad Mubarak al-Baghdady. Maktabah Ibn Taimiyah. Kuwait. Cetakan pertama. 1409 H.
2. Al-Daulah wa Siayash al-Hukm fi al-Fiqh al-Islamy. DR. Ahmad al-Hushary. Dar al-Anshar. Kairo. Cetakan keempat. 1977 M.
3. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Muhammad ibn Jarir al-Thabary. Tahqiq: Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Ma’arif. Mesir. Cetakan kedua. T.t.
4. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Dikumpulkan oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim. Kompleks Percetakan al-Qur’an Raja Fahad. Madinah. 1416 H.
5. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah. DR. ‘Abdullah bin Ibrahim al-Thuraiqy. http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896 dan http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869.
6. Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah. DR. ‘Abdul Hamid Mutawalli. Dar al-Manar. Kairo. Cetakan pertama. 1413 H.
7. Siyar A’lam al-Nubala’. Muhammad ibn Ahmad al-Dzahaby. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth. Mu’assasah al-Risalah. Beirut. Cetakan ketujuh. 1410 H.
[1] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, hal. 1
[2] Ibid, hal. 2-4.
[3] Hisbah adalah sebuah lembaga resmi pemerintah Islam yang bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
[4] Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5.
[5] Majmu’ al-Fatawa, 28/390.
[6] Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, hal. 3.
[7] Lih. Tafsir al-Thabari, 3/132.
[8] Lih. al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, hal. 3
[9] Ibid, hal. 4
[10] Lih. Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506.
[11] Lih. Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah, hal. 108.
[12] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlaminyah, 2/5.
SEBUAH KAJIAN TENTANG KONSEP PEMILU
MENURUT ISLAM
oleh:Muhammad Ikhsan
Pengantar
Tema keikutsertaan aktifis Islam –baik dari kalangan ulama, du’at dan pemikirnya- dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-kontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak dahulu –bahkan sejak berabad-abad lalu- tema keterlibatan para ulama dan cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara –baik sebagai eksekutif, legislatif ataupun yudikatif- selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis” tersebut, namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut –tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu-.[1]
Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal:
Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut.
Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’) secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalifah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan –sangat disayangkan- bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalifah itu. Alasannya tentu sangat jelas: rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.
Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar.
Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari. Interaksi kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak melewati batas individu saja –kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak sama satu dengan yang lain-.
Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi umat Islam, namun “anehnya” secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat “keinginan untuk menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri –dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya berperan sangat besar dalam hal ini-.
Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka.
Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu –secara lembaga maupun individu- telah menyimpang dari jalan yang benar dan perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun mereka kemudian berbeda pandangan lagi: apakah perubahan itu harus melalui kudeta? Atau mengikuti persaingan politik yang keras? Atau justru dengan melakukan kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah negara?
Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini –secara lembaga maupun individu-. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?
Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada.
Kaidah-kaidah Pengantar Penting untuk Penyimpulan Konsep Pemilu Menurut Islam
Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan beberapa kaidah dimaksud, yaitu:[2]
Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu dengan yang lain. Karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi.
Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-Walayah al-‘Ammah), seperti khalifah, qadhi, menteri, gubernur, hisbah[3], dan yang terkait dengannya; semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi, seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilafah atau imamah mengatakan:
“Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”[4]
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling utama.”[5]
Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan.
Kekuasaan yudikatif (qadha’) misalnya –yang notabene merupakan kekuasaan syar’i yang sangat mulia-, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami Syariat Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan Syariat Islam. Dan ia tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai dengan wahyu Allah.[6]
Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas umat Muhammad saw; yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus masyarakat muslim; baik secara individu ataupun kelembagaan.
Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti para rasul dalam menyampaikan risalah Allah.
Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:
“...akan tetapi dia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani dengan apa yang kalian ajarkan dari al-Kitab dan apa yang kalian pelajari.” (Ali Imran: 79)
Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan mengatakan:
“Jika demikian, para rabbaniyyun adalah sandaran manusia dalam pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama, sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman, yang memahami politik (siyasah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.’”[7]
Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam:
1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah, fara’idh, hukum seputar keluarga –seperti nikah dan talaq-, hudud, qishash dan diyatnya.
2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’malah harta dan sistem tatanan sosial yang terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya.
Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-Tsawabit); baik yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ni tidak ada perbedaan antara yang qath’i ataupun zhanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya –meskipun ada- namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan perselisihan dan permusuhan.[8]
Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada.
Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal) dan adapula yang bersifat terperinci (mufashshal), meskipun yang mayoritas adalah yang pertama.
Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang satu ini,misalnya, Allah berfirman:
“Dan hendaklah (engkau) memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah.........” (al-Maidah: 49)
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada posisi yang tepat.
Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya, seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya.[9]
Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu bersifat ijtihadiyah dan bukan tauqifiyah.
Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. ia bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya.
Sistem adminstrasi pada masa Khulafa’urrasyidun –misalnya- berbeda dengan sistem yang berlaku di zaman Nabi saw ataupun dengan era pemerintahan di masa Umawiyah dan Abbasiyah.
Fakta sejarah –misalnya- menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khatthab r.a. adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan), dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islamiyah yang pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan sejalan dengan mashlahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih mashlahat.
Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja atau tidak?
Konsep Pemilu dalam Islam
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadhi, dan anggota majlis syura (parlemen)? Atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku?
Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa wal Islam –maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw-, maka kita tidak menemukan hal itu. Abu Bakar menjadi khalifah melalui proses bai’at yang disepakati oleh Ahl al-Sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami (maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam dalam urusan dunia kami?”
Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin al-Khatthab r.a adalah proses istikhlaf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu’ah al-Majusi: “Jika aku melakukan istikhlaf, maka orang yang lebih baik dariku pun –maksudnya Abu Bakar- telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya –yaitu Rasulullah saw-.”
Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh Khalifah Harun al-Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab: “Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum beriman pun mendiamkannya.” Harun al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan: “Saat itu Rasulullah saw sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi saw. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca: sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah saw.”[10]
Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam haruslah berasal dari Suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu luas:
(1) Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti tertentu.
(2) Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.
(3) Syarat ini hanya terkait dengan al-Imamah al-‘Uzhma saja, bukan kekuasaan yang lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan ditunjuk? Poin kequraisyian inilah yang menentukannya.
Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap bersifat muthlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk kepemimpinan tertinggi di sebuah negara.
Konsep pemilu sendiri –dalam bentuknya yang modern- dapat dikatakan sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki karakter ideologis dan sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
Karakter Ideologis Pemilu Barat
Diantaranya adalah:
1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara –sesuai dengan latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen.
2. Menjauhkan agama –apapun- dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik, adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka. Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya.
3. Hubungan sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat, bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk menghakiminya.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti:
- Bahwa kebebasan semacam ini (seharusnya) memberikan kesempatan dan ruang gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran –terutama para da’i-, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya.
- Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterusterangan antara penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka secara bebas.
Karakter Teknis-Adminstratif Pemilu Barat
Diantaranya adalah:
1. Keragaman partai politik. Dan ini adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen.[11]
2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen. Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat sebagai salah satu prinsip Demokrasi.
3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu; 2, 3, 4 atau 5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula kekuasaan pemerintah terpilih.
4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, judikatif dan eksekutif. Ini juga dapat disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat.
Dengan melihat ulang karakteristik tersebut –baik yang bersifat ideologis maupun adminstratif-, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Karakter pertama misalnya –penetapan undang-undang- jelas bertentangan dan bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah (samawiyah). Allah berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diinginkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan.” (Al-Syura: 21)
Karakter kedua juga demikian: memisahkan agama dari kehidupan sosial masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari, bahkan mengecam tindak pemisahan itu, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Nisa’ ayat 150-151.
Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk kebebasan yang sejalan dengan Syariat.
Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan umum, dan pemisahan 3 jenis kekuasaan, maka nampaknya ini dapat dikategorikan sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan modern yang berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi 3 tahap: dasar, menengah dan perguruan tinggi; dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya.
Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep “negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa Khulafa’ al-Rasyidun hingga Khilafah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah yang berada di bawah naungan dan jangkauan kekhilafahan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang, sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri” bahwa setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah satu kekhilafahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya.
Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan dan pemisahan tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung pada prinsip “Jalb al-Mashlahah wa Dar’u al-Mafsadah” . Dan ini adalah prinsip yang umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam sejarah politik Islam awal, terutama di masa Khalifah Umar bin al-Khathab r.a.
Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencari-cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidaksyar’iyan adanya keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan 3 jenis kekuasaan tersebut. Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih untuk itu.
Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak bertentangan dengan Syariat Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain, terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal dari luar Islam.
Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan akademisi.[12] Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting ini: pemilihan pemimpin negara.
Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hil wa al-‘aqd yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya, penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual, seperti perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi keilmuan, dan yang semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada Dewan Parlemen.
Penutup
Dari uraian di atas, sesungguhnya ada satu poin penting yang ingin ditegaskan oleh penulis, yaitu bahwa saat ini kita sebagai seorang muslim dihadapkan pada dua hal yang penting untuk selalu dijadikan pertimbangan: (1) bahwa kita harus berpegang teguh pada Syariat Allah, dan (2) disaat yang sama kenyataan masa kiwari yang juga menuntut kita untuk dapat menyesuaikan diri dengan segala perkembangannya.
Kedua hal ini jelas harus kita jalani dengan seimbang. Itulah sebabnya, keteguhan kita pada Syariat Allah seharusnya tidak menghalangi kita untuk beradaptasi dengan zaman manapun, sebab pada dasarnya Syariat Islam memberikan kita ruang untuk itu. Ada hal-hal yang dapat “dilenturkan” –dan karena itu, ia dapat berubah dari waktu ke waktu-, namun ada hal-hal yang tidak dapat digoyahkan sedikit pun. Dan kasus pemilu serta sistem pemerintahannya lainnya adalah contoh nyata yang menunjukkan pada kita kedua hal itu.
Pada akhirnya, yang paling kita butuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang dalam dan bijak akan nilai-nilai Syariat Allah ini, agar kita dapat mengejawantahkannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Rabb yang menurunkannya sebagai rahmat bagi alam semesta.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Cipinang Muara, 15 April 2006
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardy. Tahqiq: Ahmad Mubarak al-Baghdady. Maktabah Ibn Taimiyah. Kuwait. Cetakan pertama. 1409 H.
2. Al-Daulah wa Siayash al-Hukm fi al-Fiqh al-Islamy. DR. Ahmad al-Hushary. Dar al-Anshar. Kairo. Cetakan keempat. 1977 M.
3. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Muhammad ibn Jarir al-Thabary. Tahqiq: Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Ma’arif. Mesir. Cetakan kedua. T.t.
4. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Dikumpulkan oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim. Kompleks Percetakan al-Qur’an Raja Fahad. Madinah. 1416 H.
5. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah. DR. ‘Abdullah bin Ibrahim al-Thuraiqy. http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896 dan http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869.
6. Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah. DR. ‘Abdul Hamid Mutawalli. Dar al-Manar. Kairo. Cetakan pertama. 1413 H.
7. Siyar A’lam al-Nubala’. Muhammad ibn Ahmad al-Dzahaby. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth. Mu’assasah al-Risalah. Beirut. Cetakan ketujuh. 1410 H.
[1] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, hal. 1
[2] Ibid, hal. 2-4.
[3] Hisbah adalah sebuah lembaga resmi pemerintah Islam yang bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
[4] Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5.
[5] Majmu’ al-Fatawa, 28/390.
[6] Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, hal. 3.
[7] Lih. Tafsir al-Thabari, 3/132.
[8] Lih. al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, hal. 3
[9] Ibid, hal. 4
[10] Lih. Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506.
[11] Lih. Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah, hal. 108.
[12] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlaminyah, 2/5.
Makalah-Ikhtilaf dalam Tafsir
IKHTILAF ULAMA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN; Memahami Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
KHTILAF ULAMA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN;
Memahami Sebab-sebab Terjadinya
Perbedaan dalam Menafsirkan al-Qur’an
oleh: Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Perbedaan adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Tulisan ini bertujuan memaparkan secara singkat tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an tersebut. Tentu saja dengan harapan agar kita dapat memahami dan mengambil sikap yang tepat menghadapi perbedaan tersebut.
Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur’an
DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.”[1]
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan tetapi, -sebagaimana akan diuraikan kemudian- dari sisi lain, ikhtilaf sendiri kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
1. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif).
2. Ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif).[2]
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah (1) sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih, atau (2) makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda, atau (3) terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.[3]
Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.[4]
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash, dan ikhtilaf yang didasari oleh selain nash –dalam hal ini adalah ra’yu.[5] Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi. Dan itulah yang akan dijelaskan berikut ini.
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash atau riwayat yang tidak sepakat dalam menungkapkan penjelasan terhadap suatu ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan –misalnya- beberapa penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang secara sekilas nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab-sebab berikut:
Pertama, ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan yang berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang dimaksud.[6]
Penjelasannya adalah bahwa sesuatu seringkali memiliki beberapa sifat atau karakteristik, namun ini tidak berarti bahwa sesuatu itu pun berbilang mengikuti berbilangnya sifat yang ia miliki. Sifat atau karakteristik apapun yang disebutkan oleh sang mufassir, maka itu mengarah kepada satu hal yang sama.
Contoh paling sederhana –misalnya- adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum al-Qiyamah). Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya yang lain, tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum al-Taghabun” (Hari saling menuntut) –misalnya- dimana setiap kata ini memiliki makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”.[7]
Contoh lain dalam kategori ini adalah penafsiran “al-Shirath al-Mustaqim” dalam surah al-Fatihah. Bila kita merujuk pada penafsiran ulama tentangnya, kita akan menemukan bahwa mereka sangat bervariasi dalam menafsirkan kata ini. Ada yang mengatakan bahwa “al-Sirath al-Mustaqim” adalah Islam. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah al-Qur’an, ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan yang lainnya. Sepintas, penafsiran ini nampak berbeda-beda, namun sebenarnya hakikatnya satu. Sebab hakikat dien al-Islam adalah mengikuti al-Qur’an. Ia juga mencakupi ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
“...Demikian pula penafsiran ulama yang menyatakan bahwa ia –‘al-Shirath al-Mustaqim’- adalah (mengikuti) al-Sunnah dan al-Jama’ah. Juga penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah jalan penghambaan, penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya saw, dan yang seperti itu; mereka semua mengisyaratkan pada hal yang sama, hanya saja masing-masing menggambarkannya dengan salah satu sifat yang dimiliki (oleh ‘al-Shirath al-Mustaqim’ itu).”[8]
Dengan melihat penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kategori ini dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak saling kontradiktif, dan bukan ikhtilaf tadhadh.
Kedua, al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum, lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu bagiannya yang khusus saja. Biasanya ini bertujuan untuk memberikan ‘stressing’ pada hal yang dimaksud, dan bukan untuk membatasi pengertian lafazh yang umum tersebut.[9]
Terkadang lafazh yang umum sulit untuk dijelaskan dengan sebuah batasan yang bersifat mutlak. Hal ini kemudian mendorong sang mufassir untuk menjelaskannya dengan memberikan dan mengetengahkan “contoh” yang merupakan salah satu bagian dari lafazh yang umum itu.
Seperti dalam surah Fathir, ayat 32:
¼ QWØR’ †WTÞ<’W¤`èVK… ðˆHTWT�YÑ<Ö@… WÝÿY¡PVÖ@… †WTÞ`~TWÉð¹`²@… óÝYÚ $†WTßY †W‰YÆ `ySäpÞYÙWTÊ cyYÖ†VÀº -YãY©pTÉWTÞYPÖ ØSä`ÞYÚWè bŸY±WTp�ÍQSÚ óØSä`ÞYÚWè =SÌYŠ†Wª g‹.W¤`kW�<Ö@†YTŠ YÜ<¢XM†TYŠ &JðY/@… ðÐYÖ.V¢ WéSå SÔTTpµWÉ<Ö@… S¤kY‰W|<Ö@… (32) » [فاطر:32]
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan menemukan perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan waktu namun ketinggalan jamaah, sementara yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim adalah yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain seputar ini.[10]
Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan,
“Sudah dimaklumi, bahwa ‘yang zhalim pada dirinya’ itu mencakup orang yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua larangan, ‘yang pertengahan’ adalah yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, dan ‘yang berkompetisi’ mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain disamping yang wajib...Lalu kemudian setiap mufassir menyebutkan salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Maka setiap pendapat yang menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan terhadap (jenis ketaatan) yang lainnya.”[11]
Dalam kasus lain, kategori ini dapat terjadi disebabkan adanya beberapa asbab al-Nuzul dalam satu ayat. Hal ini kemudian menyebabkan seorang mufassir menafsirkan ayat berdasarkan salah satu asbab al-Nuzulnya, sedangkan mufassir yang lain menafsirkannya berdasarkan asbab al-Nuzul yang lain. Seperti yang terjadi pada ayat tentang li’an dalam surah al-Nur, ayat 6:
¼ WÝÿY¡PVÖ@…Wè WÜéSÚó£WTÿ óØSäW–.Wè`¦VK… `yVÖWè ÝRÑWTÿ óØSäPVÖ Sò:…WŸWäS® :‚PV�MX… óØSäS©SÉßKV… SáWŸHTWäWWTÊ `yYåYŸWšVK… SÄWTŠ`¤VK… Y>‹.WŸHTWäW® *YJð/@†YŠ ISãPVßMX… WÝYÙVÖ WÜkYÎYŸHTQW±Ö@… (6) » [النور:6]
Dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-Bukhari dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk kasus Hilal ibn Umayyah ketika ia menuduh zina istrinya. Sementara dalam riwayat shahih lainnya disebutkan bahwa ayat ini turun pada kasus Uwaimir al-‘Ajluny.[12] Meskipun sekilas perbedaannya begitu nyata, tapi sebenarnya di sini tidak ada pertentangan, sebab ayat yang sama bisa saja turun untuk beberapa kasus yang sama. Hanya saja kemudian seorang mufassir menyebutkan yang ini, sementara yang lain mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang shahih. Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bila ini telah dipahami, maka perkataan salah seorang mereka bahwa ayat ini turun dalam (kasus) ini, samasekali tidak menfikan perkataan yang lain yang mengatakan bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu; selama lafazh (ayat) memang mencakup keduanya.”[13]
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa kategori kedua inipun tidaklah termasuk jenis ikhtilaf tadhadh yang kontradiktif. Ia termasuk jenis ikhtilaf tanawwu’ yang bersifat variatif, tidak bertentangan dan dapat dikompromikan.
Ketiga, hal-hal yang terkait dengan pemahaman terhadap lafazh, yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam menafsirkannya.
Terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir sebagai berikut:
1. Lafazh yang memiliki lebih dari satu makna.
Seperti yang terjadi dalam surah al-Muddatstsir, ayat 51:
¼ p‹QW£WTÊ ÝYÚ Y>áW¤WépT©WTÎ (51) » [المدثر:51]
Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan singa, atau pemanah, atau pemburu.[14] Ketiga makna itu memungkinkan untuk kata qaswarah, maka setiap mufassir pun menafsirkannya dengan mengambil satu dari makna-makna itu. Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting bahwa lafazh semacam ini berulang dalam al-Qur’an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu tempat, sementara makna yang lain tepat pada tempat lain.[15] Jenis inipun dapat dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu’.
2. Adanya beberapa lafazh yang memiliki makna yang mendekati makna lafazh qur’ani.
Kondisi kemudian membuat para mufassir berusaha menjelaskannya dengan salah satu dari beberapa lafazh itu. Meskipun lafazh itu tidak benar-benar tepat menggambarkan makna lafazh qur’ani dimaksud, tapi para mufassir berusaha untuk mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah al-Nisa’, ayat 163:
¼ :†PVßXM… :†WÞTT`~Wš`èVK… ðÐ`~VÖMX… :†WÙVÒ :†WÞTT`~TWš`èVK… uøVÖXM… w—éSTß WÝGTTTQY~Y‰PVÞÖ@…Wè ?ÝYÚ &-YâYŸ`ÅWŠ :†TWTÞ`~TWš`èVK…Wè uvøVÖXM… ðy~Yå.W£`TŠXM… WÔ~YÅHTTWTÙ`ªXM…Wè WÌHTW™`ªXM…Wè ð‡éSÍ`ÅWTÿWè Y·†W‰TT`ªVK‚ô@…Wè uøW©~YÆWè ð‡éQWTÿVK…Wè ð¨STßéSTÿWè WÜèS£HTWåWè &WÝHTWÙ`~VÕSªWè †WÞT`~WTŽ…ƒòWè W ISè…W …_¤éSŠW¦ (163) » [النساء:163]
Kata Auhaina (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan “pemberitahuan” (al-I’lam), adapula yang menafsirkannya dengan “menurunkan” (al-Inzal). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah sebuah upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –menurut Ibnu Taimiyah- adalah “pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi.”[16] Bila dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu’.
3. Perbedaan qira’at.
Ketika satu ayat memiliki qira’at yang berbeda, maka perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan qira’at yang ia gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr, ayat 15:
¼ vN…éSTÖ†WÍVÖ †WÙPVTßXM… p‹W£PYÑSª †WTßS£HTW±`TŠVK… `ÔWTŠ SÝ`™WTß b×`éTWTÎ WÜèS¤éS™pT©JðTÚ (15) » [الحجر:15
Kata Sukkirat selain dibaca tasydid seperti ini, ia juga dibaca biasa tanpa tasydid: sukirat. Bila dibaca tasydid, maka maknanya menjadi “terhalangi dan tertutupi”, dan jika dibaca tanpa tasydid, maknanya menjadi “tersihir”. Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab keduanya memiliki “hubungan dampak”; orang yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Itulah sebabnya, jenis inipun dapat dikatakan sebagai khtilaf tanawwu’.
Demikianlah, tiga kategori ikhtilaf dalam tafsir yang disandarkan pada sumber-sumber naqli (tafsir bil-ma’tsur). Dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang mendekati ikhtilaf tanawwu’ –untuk tidak mengatakan semuanya-. Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Khilaf (perbedaan) di kalangan salaf dalam tafsir itu sedikit. Khilaf mereka dalam masalah hukum jauh lebih banyak daripada khilaf mereka dalam tafsir. Mayoritas khilaf mereka yang diriwayatkan secara shahih (kepada kita) termasuk dalam kategori ikhtilaf tanawwu’, dan bukan ikhtilaf tadhadh.”[17]
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir ini memiliki kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir bil-ma’tsur). Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
Pertama, meyakini makna (baca: ide) tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Ada orang yang sebelumnya telah “tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu kemudian nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an, tetapi kesimpulan yang dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.[18]
Salah satu contoh paling jelas –misalnya- apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf, ayat 4:
¼ <¢XM… WÓ†WTÎ ñÈSªéSÿ YãTT~YŠVK‚Y� gŒWTŠKV†;HTTWÿ øYPTßMX… ñŒ`TÿVK…W¤ ðŸWšVK… W£WWÆ †_TT‰W{`éVÒ ð¨`ÙPVÖ@…Wè W£WÙWTÍ<Ö@…Wè `ØSäST�`TÿVK…W¤ øYÖ WÝÿYŸY•HTWª (4) » [يوسف:4]
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”[19]
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia. [20]
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an. Seperti saat memahami ayat:
¼ †WÙPVßXM… SòõøTY©PVÞÖ@… báW †fTTTÿX¦ Á $X£TpTÉS|<Ö@… QSÔWµSTÿ YãYŠ fÛTÿY¡PVÖ@… N…èS£WÉVÒ ISãTWTßéPRÕmïmñYš †_TÚ†WÆ ISãTWTßéSÚQX£fTT™STÿWè †_TÚ†WÆ N…éLSTTYº…WéS~PYÖ WáJðŸYÆ †WÚ W×QW£Wš &JðS/@… N…éPRÕY™S~WTÊ †WÚ W×QW£Wš &JðS/@… fÛTQYTÿS¦ `ySäVÖ Sò;éSª %`yXäYÕHTWÙ`ÆVK… SJðJðS/@…Wè ‚W� ÷YŸ`äWTÿ W×óéWÍ<Ö@… fÛTÿX£YÉHTW|<Ö@… (37) » [التوبة:37]
Kata “al-Nasi’” bila ditinjau dari sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy, Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’ dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang mengitarinya.[21]
Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Salah satu contoh paling jelas adalah ketika turunnya firman Allah,
¼ WÝÿY¡PVÖ@… N…éSÞTWÚ…ƒò `yVÖWè N…;éTTS©Y‰<ÕWTÿ ySäWÞTHTWÙÿXM… ]y<ÕRÀ¹YŠ ðÐMXù;HTTVÖOèKR… SØSäVÖ SÝ`ÚVK‚ô@… ØSåWè WÜèSŸWT�`äQSÚ (82) » [الأنعام:82]
“Orang-orang beriman dan iman mereka tidak diliputi oleh kezhaliman.”
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini tidak seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13:
¼ <¢MX…Wè WÓ†WTÎ ñÝHTWÙ`ÍRÖ -YãYÞ`TŠ@g‚� WéSåWè ISãñÀ¹YÅWTÿ JðøWÞTS‰HTWTÿ ‚W� `ÏX£`STŽ $YJð/@†YŠ UfûMX… ðÏó£TPYÖ@… }y<ÕRÀ¹VÖ cy~YÀ¹WÆ (13) » [لقمان:13].[22]
Kisah ini setidaknya menunjukkan 2 hal penting:
1. Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang beberapa sebab terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf memang ada dan terjadi dalam upaya menjelaskan al-Qur’an. Meskipun kemudian tidak serta merta semua ikhtilaf itu menjadi indikasi tidak baik, apalagi menyebabkan terjadinya usaha saling menyalahkan. Sebagaimana –ketika kita menegaskan hal itu-, tidak berarti pula kita mentolerir perilaku “asal beda” dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala sesuatu tentu memiliki patron dan batasan. Dan tindakan terbaik adalah jika kita selalu berusaha menjalani apapun sesuai dengan batasan yang semestinya.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fushul fi Ushul al-Tafsir: Musa’id ibn Sulaiman al-Thayyar. Dar Ibn al-Jauzy, Dammam, K.S.A. Cetakan ketiga 1420H/1999M.
2. Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir: DR. Wasim Fathullah. www.saaid.net.
3. Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim li Mukhalafah Ashhab al-Jahim: Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 727H). Tahqiq: DR. Nashir ibn ‘Abd al-Karim al-‘Aql. Maktabah al-Rusyd, Riyadh. Cetakan pertama 1404H.
4. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby (w. 681H). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. Cetakan ketiga 1413H.
5. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah: dikumpulkan oleh: ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Tanpa penerbit. T.t
6. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany. Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo. t.t.
7. Mufradat Alfazh al-Qur’an: al-Raghib al-Isfahany. Tahqiq: Shafwan ‘Adnan Dawudy. Dar al-Qalam, Beirut. Cetakan pertama 1412H.
8. Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir: Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 728H). Tahqiq: DR. Adnan Zarzur. Dar al-Qur’an al-Karim. Cetakan ketiga 1399H.
9. Tafsir Wanita: Syaikh Imad Zaki al-Barudi. Terj: Samson Rahman, MA. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan kedua (revisi) 2005.
[1] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 2.
[2] Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 55
[3] Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, 1/129-130.
[4] Ibid.
[5] Majmu’ al-Fatawa, 13/185
[6] Ibid., 13/178
[7] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 7-8.
[8] Muqaddmah fi Ushul al-Tafsir, hal. 42-43
[9] Majmu’ al-Fatawa, 13/180
[10] Lih. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 14/302-303.
[11] Majmu’ al-Fatawa, 13/180-182.
[12] Lih. Manahil al-‘Irfan, 1/116-115; Tafsir Wanita, hal. 518-520.
[13] Majmu’ al-Fatawa, 13/182.
[14] Mufradat Alfazh al-Qur’an, hal. 404.
[15] Majmu’ al-Fatawa, 13/182.
[16] Ibid., 13/183.
[17] Majmu’ al-Fatawa, 13/178.
[18] Majmu’ Fatawa.,13/190-192
[19] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 13-14.
[20] Majmu’ al-Fatawa, 13/191.
[21] Meski tidak dapat dipungkiri sumbangsih yang ia berikan dalam bidang ini (pen). Lih. Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 44-45.
[22] Karena itu, al-Thayyar dalam bukunya Fushul fi ‘Ushul al-Tafsir mengkritisi kesimpulan sebagian peneliti yang menyatakan bahwa Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna, al-Farra’ dan al-Zajjaj adalah para pionir (imam) dalam metode ini. Mereka seolah melupakan bagaimana para sahabat dan tabi’in juga telah menempuh metode ini jauh sebelum itu. Menurutnya, para sahabat adalah orang-orang Arab tulen, dan al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, bagaimana mungkin mereka tidak disebut sebagai imam dalam bahasa? Karena itu, -menurutnya- adalah sebuah kesalahan jika tafsir lughawy para sahabat dan tabi’in itu dikategorikan sebagai tafsir bil-ma’tsur. Lih. Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 44.
KHTILAF ULAMA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN;
Memahami Sebab-sebab Terjadinya
Perbedaan dalam Menafsirkan al-Qur’an
oleh: Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Perbedaan adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Tulisan ini bertujuan memaparkan secara singkat tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an tersebut. Tentu saja dengan harapan agar kita dapat memahami dan mengambil sikap yang tepat menghadapi perbedaan tersebut.
Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur’an
DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.”[1]
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan tetapi, -sebagaimana akan diuraikan kemudian- dari sisi lain, ikhtilaf sendiri kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
1. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif).
2. Ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif).[2]
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah (1) sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih, atau (2) makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda, atau (3) terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.[3]
Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.[4]
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash, dan ikhtilaf yang didasari oleh selain nash –dalam hal ini adalah ra’yu.[5] Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi. Dan itulah yang akan dijelaskan berikut ini.
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash atau riwayat yang tidak sepakat dalam menungkapkan penjelasan terhadap suatu ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan –misalnya- beberapa penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang secara sekilas nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab-sebab berikut:
Pertama, ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan yang berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang dimaksud.[6]
Penjelasannya adalah bahwa sesuatu seringkali memiliki beberapa sifat atau karakteristik, namun ini tidak berarti bahwa sesuatu itu pun berbilang mengikuti berbilangnya sifat yang ia miliki. Sifat atau karakteristik apapun yang disebutkan oleh sang mufassir, maka itu mengarah kepada satu hal yang sama.
Contoh paling sederhana –misalnya- adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum al-Qiyamah). Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya yang lain, tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum al-Taghabun” (Hari saling menuntut) –misalnya- dimana setiap kata ini memiliki makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”.[7]
Contoh lain dalam kategori ini adalah penafsiran “al-Shirath al-Mustaqim” dalam surah al-Fatihah. Bila kita merujuk pada penafsiran ulama tentangnya, kita akan menemukan bahwa mereka sangat bervariasi dalam menafsirkan kata ini. Ada yang mengatakan bahwa “al-Sirath al-Mustaqim” adalah Islam. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah al-Qur’an, ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan yang lainnya. Sepintas, penafsiran ini nampak berbeda-beda, namun sebenarnya hakikatnya satu. Sebab hakikat dien al-Islam adalah mengikuti al-Qur’an. Ia juga mencakupi ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
“...Demikian pula penafsiran ulama yang menyatakan bahwa ia –‘al-Shirath al-Mustaqim’- adalah (mengikuti) al-Sunnah dan al-Jama’ah. Juga penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah jalan penghambaan, penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya saw, dan yang seperti itu; mereka semua mengisyaratkan pada hal yang sama, hanya saja masing-masing menggambarkannya dengan salah satu sifat yang dimiliki (oleh ‘al-Shirath al-Mustaqim’ itu).”[8]
Dengan melihat penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kategori ini dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak saling kontradiktif, dan bukan ikhtilaf tadhadh.
Kedua, al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum, lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu bagiannya yang khusus saja. Biasanya ini bertujuan untuk memberikan ‘stressing’ pada hal yang dimaksud, dan bukan untuk membatasi pengertian lafazh yang umum tersebut.[9]
Terkadang lafazh yang umum sulit untuk dijelaskan dengan sebuah batasan yang bersifat mutlak. Hal ini kemudian mendorong sang mufassir untuk menjelaskannya dengan memberikan dan mengetengahkan “contoh” yang merupakan salah satu bagian dari lafazh yang umum itu.
Seperti dalam surah Fathir, ayat 32:
¼ QWØR’ †WTÞ<’W¤`èVK… ðˆHTWT�YÑ<Ö@… WÝÿY¡PVÖ@… †WTÞ`~TWÉð¹`²@… óÝYÚ $†WTßY †W‰YÆ `ySäpÞYÙWTÊ cyYÖ†VÀº -YãY©pTÉWTÞYPÖ ØSä`ÞYÚWè bŸY±WTp�ÍQSÚ óØSä`ÞYÚWè =SÌYŠ†Wª g‹.W¤`kW�<Ö@†YTŠ YÜ<¢XM†TYŠ &JðY/@… ðÐYÖ.V¢ WéSå SÔTTpµWÉ<Ö@… S¤kY‰W|<Ö@… (32) » [فاطر:32]
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan menemukan perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan waktu namun ketinggalan jamaah, sementara yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim adalah yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain seputar ini.[10]
Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan,
“Sudah dimaklumi, bahwa ‘yang zhalim pada dirinya’ itu mencakup orang yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua larangan, ‘yang pertengahan’ adalah yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, dan ‘yang berkompetisi’ mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain disamping yang wajib...Lalu kemudian setiap mufassir menyebutkan salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Maka setiap pendapat yang menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan terhadap (jenis ketaatan) yang lainnya.”[11]
Dalam kasus lain, kategori ini dapat terjadi disebabkan adanya beberapa asbab al-Nuzul dalam satu ayat. Hal ini kemudian menyebabkan seorang mufassir menafsirkan ayat berdasarkan salah satu asbab al-Nuzulnya, sedangkan mufassir yang lain menafsirkannya berdasarkan asbab al-Nuzul yang lain. Seperti yang terjadi pada ayat tentang li’an dalam surah al-Nur, ayat 6:
¼ WÝÿY¡PVÖ@…Wè WÜéSÚó£WTÿ óØSäW–.Wè`¦VK… `yVÖWè ÝRÑWTÿ óØSäPVÖ Sò:…WŸWäS® :‚PV�MX… óØSäS©SÉßKV… SáWŸHTWäWWTÊ `yYåYŸWšVK… SÄWTŠ`¤VK… Y>‹.WŸHTWäW® *YJð/@†YŠ ISãPVßMX… WÝYÙVÖ WÜkYÎYŸHTQW±Ö@… (6) » [النور:6]
Dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-Bukhari dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk kasus Hilal ibn Umayyah ketika ia menuduh zina istrinya. Sementara dalam riwayat shahih lainnya disebutkan bahwa ayat ini turun pada kasus Uwaimir al-‘Ajluny.[12] Meskipun sekilas perbedaannya begitu nyata, tapi sebenarnya di sini tidak ada pertentangan, sebab ayat yang sama bisa saja turun untuk beberapa kasus yang sama. Hanya saja kemudian seorang mufassir menyebutkan yang ini, sementara yang lain mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang shahih. Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bila ini telah dipahami, maka perkataan salah seorang mereka bahwa ayat ini turun dalam (kasus) ini, samasekali tidak menfikan perkataan yang lain yang mengatakan bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu; selama lafazh (ayat) memang mencakup keduanya.”[13]
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa kategori kedua inipun tidaklah termasuk jenis ikhtilaf tadhadh yang kontradiktif. Ia termasuk jenis ikhtilaf tanawwu’ yang bersifat variatif, tidak bertentangan dan dapat dikompromikan.
Ketiga, hal-hal yang terkait dengan pemahaman terhadap lafazh, yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam menafsirkannya.
Terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir sebagai berikut:
1. Lafazh yang memiliki lebih dari satu makna.
Seperti yang terjadi dalam surah al-Muddatstsir, ayat 51:
¼ p‹QW£WTÊ ÝYÚ Y>áW¤WépT©WTÎ (51) » [المدثر:51]
Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan singa, atau pemanah, atau pemburu.[14] Ketiga makna itu memungkinkan untuk kata qaswarah, maka setiap mufassir pun menafsirkannya dengan mengambil satu dari makna-makna itu. Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting bahwa lafazh semacam ini berulang dalam al-Qur’an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu tempat, sementara makna yang lain tepat pada tempat lain.[15] Jenis inipun dapat dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu’.
2. Adanya beberapa lafazh yang memiliki makna yang mendekati makna lafazh qur’ani.
Kondisi kemudian membuat para mufassir berusaha menjelaskannya dengan salah satu dari beberapa lafazh itu. Meskipun lafazh itu tidak benar-benar tepat menggambarkan makna lafazh qur’ani dimaksud, tapi para mufassir berusaha untuk mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah al-Nisa’, ayat 163:
¼ :†PVßXM… :†WÞTT`~Wš`èVK… ðÐ`~VÖMX… :†WÙVÒ :†WÞTT`~TWš`èVK… uøVÖXM… w—éSTß WÝGTTTQY~Y‰PVÞÖ@…Wè ?ÝYÚ &-YâYŸ`ÅWŠ :†TWTÞ`~TWš`èVK…Wè uvøVÖXM… ðy~Yå.W£`TŠXM… WÔ~YÅHTTWTÙ`ªXM…Wè WÌHTW™`ªXM…Wè ð‡éSÍ`ÅWTÿWè Y·†W‰TT`ªVK‚ô@…Wè uøW©~YÆWè ð‡éQWTÿVK…Wè ð¨STßéSTÿWè WÜèS£HTWåWè &WÝHTWÙ`~VÕSªWè †WÞT`~WTŽ…ƒòWè W ISè…W …_¤éSŠW¦ (163) » [النساء:163]
Kata Auhaina (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan “pemberitahuan” (al-I’lam), adapula yang menafsirkannya dengan “menurunkan” (al-Inzal). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah sebuah upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –menurut Ibnu Taimiyah- adalah “pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi.”[16] Bila dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu’.
3. Perbedaan qira’at.
Ketika satu ayat memiliki qira’at yang berbeda, maka perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan qira’at yang ia gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr, ayat 15:
¼ vN…éSTÖ†WÍVÖ †WÙPVTßXM… p‹W£PYÑSª †WTßS£HTW±`TŠVK… `ÔWTŠ SÝ`™WTß b×`éTWTÎ WÜèS¤éS™pT©JðTÚ (15) » [الحجر:15
Kata Sukkirat selain dibaca tasydid seperti ini, ia juga dibaca biasa tanpa tasydid: sukirat. Bila dibaca tasydid, maka maknanya menjadi “terhalangi dan tertutupi”, dan jika dibaca tanpa tasydid, maknanya menjadi “tersihir”. Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab keduanya memiliki “hubungan dampak”; orang yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Itulah sebabnya, jenis inipun dapat dikatakan sebagai khtilaf tanawwu’.
Demikianlah, tiga kategori ikhtilaf dalam tafsir yang disandarkan pada sumber-sumber naqli (tafsir bil-ma’tsur). Dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang mendekati ikhtilaf tanawwu’ –untuk tidak mengatakan semuanya-. Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Khilaf (perbedaan) di kalangan salaf dalam tafsir itu sedikit. Khilaf mereka dalam masalah hukum jauh lebih banyak daripada khilaf mereka dalam tafsir. Mayoritas khilaf mereka yang diriwayatkan secara shahih (kepada kita) termasuk dalam kategori ikhtilaf tanawwu’, dan bukan ikhtilaf tadhadh.”[17]
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir ini memiliki kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir bil-ma’tsur). Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
Pertama, meyakini makna (baca: ide) tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Ada orang yang sebelumnya telah “tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu kemudian nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an, tetapi kesimpulan yang dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.[18]
Salah satu contoh paling jelas –misalnya- apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf, ayat 4:
¼ <¢XM… WÓ†WTÎ ñÈSªéSÿ YãTT~YŠVK‚Y� gŒWTŠKV†;HTTWÿ øYPTßMX… ñŒ`TÿVK…W¤ ðŸWšVK… W£WWÆ †_TT‰W{`éVÒ ð¨`ÙPVÖ@…Wè W£WÙWTÍ<Ö@…Wè `ØSäST�`TÿVK…W¤ øYÖ WÝÿYŸY•HTWª (4) » [يوسف:4]
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”[19]
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia. [20]
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an. Seperti saat memahami ayat:
¼ †WÙPVßXM… SòõøTY©PVÞÖ@… báW †fTTTÿX¦ Á $X£TpTÉS|<Ö@… QSÔWµSTÿ YãYŠ fÛTÿY¡PVÖ@… N…èS£WÉVÒ ISãTWTßéPRÕmïmñYš †_TÚ†WÆ ISãTWTßéSÚQX£fTT™STÿWè †_TÚ†WÆ N…éLSTTYº…WéS~PYÖ WáJðŸYÆ †WÚ W×QW£Wš &JðS/@… N…éPRÕY™S~WTÊ †WÚ W×QW£Wš &JðS/@… fÛTQYTÿS¦ `ySäVÖ Sò;éSª %`yXäYÕHTWÙ`ÆVK… SJðJðS/@…Wè ‚W� ÷YŸ`äWTÿ W×óéWÍ<Ö@… fÛTÿX£YÉHTW|<Ö@… (37) » [التوبة:37]
Kata “al-Nasi’” bila ditinjau dari sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy, Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’ dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang mengitarinya.[21]
Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Salah satu contoh paling jelas adalah ketika turunnya firman Allah,
¼ WÝÿY¡PVÖ@… N…éSÞTWÚ…ƒò `yVÖWè N…;éTTS©Y‰<ÕWTÿ ySäWÞTHTWÙÿXM… ]y<ÕRÀ¹YŠ ðÐMXù;HTTVÖOèKR… SØSäVÖ SÝ`ÚVK‚ô@… ØSåWè WÜèSŸWT�`äQSÚ (82) » [الأنعام:82]
“Orang-orang beriman dan iman mereka tidak diliputi oleh kezhaliman.”
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini tidak seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13:
¼ <¢MX…Wè WÓ†WTÎ ñÝHTWÙ`ÍRÖ -YãYÞ`TŠ@g‚� WéSåWè ISãñÀ¹YÅWTÿ JðøWÞTS‰HTWTÿ ‚W� `ÏX£`STŽ $YJð/@†YŠ UfûMX… ðÏó£TPYÖ@… }y<ÕRÀ¹VÖ cy~YÀ¹WÆ (13) » [لقمان:13].[22]
Kisah ini setidaknya menunjukkan 2 hal penting:
1. Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang beberapa sebab terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf memang ada dan terjadi dalam upaya menjelaskan al-Qur’an. Meskipun kemudian tidak serta merta semua ikhtilaf itu menjadi indikasi tidak baik, apalagi menyebabkan terjadinya usaha saling menyalahkan. Sebagaimana –ketika kita menegaskan hal itu-, tidak berarti pula kita mentolerir perilaku “asal beda” dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala sesuatu tentu memiliki patron dan batasan. Dan tindakan terbaik adalah jika kita selalu berusaha menjalani apapun sesuai dengan batasan yang semestinya.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fushul fi Ushul al-Tafsir: Musa’id ibn Sulaiman al-Thayyar. Dar Ibn al-Jauzy, Dammam, K.S.A. Cetakan ketiga 1420H/1999M.
2. Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir: DR. Wasim Fathullah. www.saaid.net.
3. Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim li Mukhalafah Ashhab al-Jahim: Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 727H). Tahqiq: DR. Nashir ibn ‘Abd al-Karim al-‘Aql. Maktabah al-Rusyd, Riyadh. Cetakan pertama 1404H.
4. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby (w. 681H). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. Cetakan ketiga 1413H.
5. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah: dikumpulkan oleh: ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Tanpa penerbit. T.t
6. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany. Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo. t.t.
7. Mufradat Alfazh al-Qur’an: al-Raghib al-Isfahany. Tahqiq: Shafwan ‘Adnan Dawudy. Dar al-Qalam, Beirut. Cetakan pertama 1412H.
8. Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir: Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 728H). Tahqiq: DR. Adnan Zarzur. Dar al-Qur’an al-Karim. Cetakan ketiga 1399H.
9. Tafsir Wanita: Syaikh Imad Zaki al-Barudi. Terj: Samson Rahman, MA. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan kedua (revisi) 2005.
[1] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 2.
[2] Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 55
[3] Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, 1/129-130.
[4] Ibid.
[5] Majmu’ al-Fatawa, 13/185
[6] Ibid., 13/178
[7] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 7-8.
[8] Muqaddmah fi Ushul al-Tafsir, hal. 42-43
[9] Majmu’ al-Fatawa, 13/180
[10] Lih. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 14/302-303.
[11] Majmu’ al-Fatawa, 13/180-182.
[12] Lih. Manahil al-‘Irfan, 1/116-115; Tafsir Wanita, hal. 518-520.
[13] Majmu’ al-Fatawa, 13/182.
[14] Mufradat Alfazh al-Qur’an, hal. 404.
[15] Majmu’ al-Fatawa, 13/182.
[16] Ibid., 13/183.
[17] Majmu’ al-Fatawa, 13/178.
[18] Majmu’ Fatawa.,13/190-192
[19] Al-Ikhtilaf fi al-Tafsir, hal. 13-14.
[20] Majmu’ al-Fatawa, 13/191.
[21] Meski tidak dapat dipungkiri sumbangsih yang ia berikan dalam bidang ini (pen). Lih. Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 44-45.
[22] Karena itu, al-Thayyar dalam bukunya Fushul fi ‘Ushul al-Tafsir mengkritisi kesimpulan sebagian peneliti yang menyatakan bahwa Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna, al-Farra’ dan al-Zajjaj adalah para pionir (imam) dalam metode ini. Mereka seolah melupakan bagaimana para sahabat dan tabi’in juga telah menempuh metode ini jauh sebelum itu. Menurutnya, para sahabat adalah orang-orang Arab tulen, dan al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, bagaimana mungkin mereka tidak disebut sebagai imam dalam bahasa? Karena itu, -menurutnya- adalah sebuah kesalahan jika tafsir lughawy para sahabat dan tabi’in itu dikategorikan sebagai tafsir bil-ma’tsur. Lih. Fushul fi Ushul al-Tafsir, hal. 44.
Subscribe to:
Posts (Atom)