1. Kurikulum Nasional (Khusus) 1993 (Kep. Mendikbud 17/1993) mensyarakatkan adanya matakuliah “kemahiran hukum” (legal skills) dalam kurikulum semua fakultas hukum. Tujuannya adalah agar lulusan dibekali dengan “kesiapan kerja” yang lebih baik. (Bandingkan pula dengan CLE-Pendidikan Hukum Klinik yang di UNPAD dijadikan proyek percontohan dengan Kep. Dikti No. 30/1983).
2. Seorang sarjana hukum yang akan mempergunakan pengetahuannya dalam masyarakat harus mempunyai “kemahiran analisa” (analytical skills). Ketidakmampuan secara cermat menganalisa suatu kasus hukum, adalah keluhan umum yang diajukan terhadap lulusan (baru) fakultas hukum. Kritik masyarat tentang “tidak siap-kerja” para lulusan fakultas hukum, berintikan keinginan kantor-kantor hukum untuk menerima bekerja lulusan yang mampu mempergunakan “wawasan ilmu pengetahuan hukum” secara profesional analitis dalam kasus (-kasus) yang dihadapinya.
3. Dalam organisasi fakultas hukum telah disarankan adanya “laboratorium hukum” (Lab-Hukum). Tugas Lab-Hukum adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan pendekatan-terapan (applied approach) melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun meningkatkan dosen menggunakan bahan (kasus, peraturan; kontrak) tersebut. Memasukan Lab-Hukum dalam “struktur organisasi” fakultas hukum adalah dengan tujuan memudahkan perolehan dana dan pertanggungjawabannya (terutama untuk PTN).
4. Lab-Hukum yang disarankan adalah:
4.1. Unit latihan berlitigasi (sebagai hakim, jaksa, dan advokat)
4.2. Unit latihan non-litigasi (kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan perundang-undangan);
4.3. Unit bantuan hukum untuk orang miskin (legal aid; melatih “social responsibility”).
Dalam perjalanan diskusi, maka ketiga unit ini ditambah dengan:
4.4 Unit latihan penulisan hukum (persiapan “legal memorandum” dan skripsi);
4.5 Unit pengajaran bahasa (Indonesia dan Inggris serta bahasa asing lainya).
5. Dalam makalah saya sepuluh tahun yang lalu, yaitu tahun 1994 (penataran untuk dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung), telah disarankan sejumlah aktivitas Lab-Hukum sebagai berikut:
5.1. Unit Litigasi (UL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Membuat dokumen-dokumen hukum pengadilan, misalnya: surat gugatan dan jawaban (hukum perdata); surat dakwaan dan pembelaan (hukum pidana); berita acara sidang (panitera); keputusan perkara (hakim; hukum perdata; hukum pidana); memori banding; memori kasasi; dan lain-lain.
(b) Praktik beracara di pengadilan: tata tertib; sopan santun; etika beracara (untuk hakim, jaksa, dan penasehat hukum); dapat disimulasikan melalui “peradilan semu” yang pada dasarnya akan mengajarkan a.l. teknik, keterampilan, dan etika dasar dalam beracara di pengadilan dan lain-lain.
(c) Manajemen dalam menangani kasus litigasi: persiapan-persiapan untuk maju di muka pengadilan; menangani kasus yang mendapat “sorotan publik/pers” atau kasus yang telah menimbulkan “emosi publik” atau kasus yang menyangkut klien yang “banyak” (10,50,100) orang; dan lain-lain.
5.2. Unit Non-Litigasi (UNL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Mewakili klien dalam bernegosiasi untuk transaksi bisnis yang besar (dengan pihak pemerintah; pihak “mitra” ataupun “lawan” dalam bisnis): teknik-teknik mempersiapkan diri, pendekatan “take and give”, penyusunan laporan untuk klien; dan lain-lain;
(b) Menyusun kontrak dagang atau bisnis berdasarkan fakta dan instruksi klien;
(c) Menyusun peraturan perundang-undangan: tingkat daerah dan tingkat pusat; menelusuri peraturan yang akan menjadi dasar, yang perlu diubah atau dicabut; dan lain-lain;
(d) Penyusunan dokumen hukum “resmi” seperti: pendirian perusahaan (a.l. anggaran dasar p.t.); jual beli tanah; jual beli rumah susun atau kondominium; dan lain-lain.
5.3. Unit Bantuan Hukum (UBH):
Kegiatan dalam unit ini mencerminkan keprihatinan dan kepedulian fakultas hukum terhadap warga masyarakat yang tidak mampu (miskin). Partisipasi para mahasiswa dalam UBH sebaiknya lebih bersifat “sukarela” dan berdasarkan “seleksi”, karena tujuan pendidikannya adalah menanamkan konsep “pelayanan social” (public service) dan bahwa perlu ada “ketertiban sosial” dari profesi hukum. Yang perlu dicegah adalah bahwa UBH menjadi “kantor penasihat hukum (advokat; konsultan hukum) terselubung” dari dosen (dan mahasiswa) fakultas hukum bersangkutan. Pendekatan “komersial” atau “bisnis” dari UBH harus dicegah pula, namun tentu diharapkan dapat “berdikari” dalam bidang keuangan.
Melalui Lab-Hukum ini fakultas dapat pula melaksanakan kegiatan-kegiatan lain misalnya yang pernah disarankan:
5.4. Yang bersifat “latihan kemahiran”:
(a) Penelusuran efektif peraturan dan yurisprudensi;
(b) Menulis “nasihat” hukum singkat dan sederhana;
(c) Memimpin rapat (misalnya rapat umum tahunan suatu organisasi atau perusahaan);
(d) Pemahaman tentang keberadaan (dan sejarah terbentuknya) berbagai organisasi profesi hukum serta etika profesi hukum;
(e) Tata cara melangsungkan “perdamaian” antara klien dan “lawan”, atau antara dua (atau lebih) “klien” (pihak-pihak yang meminta bantuan “mediation”, “conciliation” ataupun arbitration”) [dapat merupakan prasyarat untuk matakuliah (bila ada) “Alternative Dispute Resolution”];
(f) Manajemen kantor penasihat hukum (arsip klien; titipan dokumen hukum asli; penagihan pembayaran; pembukuan sederhana; peraturan jadwal sidang dan pertemuan dengan klien; dan lain-lain);
(g) Pemanfaatan program-program komputer untuk meningkatkan manajemen (termasuk penyusunan rancangan perjanjian) kantor penasehat hukum (atau mutatis mutandis kantor jaksa, kantor panitera, kantor hakim).
5.5. Yang bersifat “pengabdian kepada masyarakat”:
(a) Penyuluhan hukum untuk memberikan pengetahuan hukum yang dasar kepada masyarakat, tidak saja kewajibanya tetapi juga hak-haknya;
(b) Membantu membekali mahasiswa fakultas hukum yang akan melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata).
6. Kalau saran sepuluh tahun yang lalu telah dijalankan, maka fakultas hukum tentu sudah mempunyai Lab-Hukum yang cukup siap dan berpengalaman untuk dikembangkan menjadi suatu penjurusan atau pengkhususan kependidikan profesi hukum (Professional school) yang dapat disesuaikan dengan tantangan masa kini. Pada waktu ini (tahun 2004), peta pendidikan untuk profesi hukum sudah mulai berubah. Perkembangan ekonomi dunia telah memberikan dampaknya pula pada pendidikan tinggi hukum. Globalisasi pasar ekonomi telah berpengaruh timbal balik pada perkembangan teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat, termasuk di bidang hukum. Kampus hukum harus siap menghadapi persaingan dunia di berbagai aspek aktivitas ekonomi, termasuk perdagangan di bidang jasa. Pasar jasa dalam negeri pada awal abad ke-21 ini diprediksikan akan mulai menjadi pasar internasional. Dalam suasana seperti itu, para sarjana hukum Indonesia harus dapat bersaing dengan jasa hukum yang ditawarkan dari luar negeri ke Indonesia.
7. Untuk menghadapi tantangan di atas, kampus hukum Indonesia harus mempunyai strategi yang agresif untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) para lulusannya berhadapan dengan sarjana hukum asing. Sebaiknya kampus dan profesi hukum tidak mengandalkan cara-cara tradisional yang bersifat defensive, dengan meminta proteksi melalui berbagai larangan dan pembatasan untuk praktisi hukum asing. Cara ini hanya akan membuat sarjana hukum Indonesia menjadi “jago kandang” (yang sering disamarkan dengan istilah “tuan di rumah sendiri”) dan tidak kompetitif di luar Indonesia. Jangan lupa bahwa pada akhir abad yang lalu, dunia profesi hukum telah mulai berubah dan pada penghujung abad ke 21 ini internasionalisasi dan globalisasi profesi hukum sudah berjalan, begitu pula untuk Indonesia.
8. Bagaimana sebaiknya kita bersikap? Tidak ada jawaban yang mudah, sederhana, dan berlaku umum. Pertama, kita harus mengakui kita telah tertinggal dibandingkan pendidikan profesi hukum di negara-negara tetangga kita (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina). Kita mau menyadari hal itu dan kita harus ingin mengejar ketinggalan kita. Kedua, kata kunci adalah “kepedulian” dan “kerjasama”. Peduli terhadap sumber-sumber utama personalia di bidang hukum (hakim, jaksa, advokat) yang sedang menghadapi masalah. Karena itu perlu ada kerjasama antara organisasi profesi dengan fakultas hukum. Harus dibangun suatu “strategi bersama” dan suatu “cetak biru” untuk membuka jalan ke masa depan. Tanpa hal ini mustahil kita dapat mengejar ketinggalan kita!
Bahan Pustaka
Konsorsium Ilmu Hukum (1995). Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Abad 21. Kumpulan karangan. Seri KIH No. 11, Jakarta
Oleh: Mardjono Reksodiputro,
Disampaikan dalam Diskusi Panel “Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”
di Kampus FHUI Depok, Jawa Barat