Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia tidak lepas dari Global Compact yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (tahun 1999) dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational) terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC), maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG). Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”(1). Global Compact terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM (no. 1-2), empat di bidang standar tenaga kerja (no. 3-6), tiga di bidang lingkungan hidup (no. 7-9), dan satu di bidang anti-korupsi (no.10; masuk tahun 2004). Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002)(2).
Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut. Peningkatan CSR akan memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).
Corporate Social Responsibility (CSR)
Wineberg dan Rudolph(3) memberi definisi CSR sebagai:
“The contribution that a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy”.
Selanjutnya dikatakan bahwa konsep CSR itu memang agak tumpang tindih, (overlap) dengan konsep (good) corporate governance (CG) dan konsep etika bisnis (EB). Dalam CG kita mengacu pada standar dasar yang bertujuan pada ketaatan (compliance) terhadap peraturan negara maupun aturan internal perusahaan. Etika bisnis lebih luas konsepnya, didasarkan pada nilai-nilai yang melampaui ketentuan atau norma aturan (peraturan). Pada dasarnya CG dan EB fokusnya adalah pada internal perusahaan dan diwujudkan sebagian besar dalam bentuk aturan (rules-based flavour)(4).
Sebaliknya, masih menurut Wineberg(5), CSR itu lebih berdasarkan nilai-nilai (values-based) dan fokusnya keluar (external) perusahaan. Karena itu CSR juga ditujukan pada jajaran stakeholder yang lebih luas. Misalnya, stakeholder internal, seperti: pegawai, pemegang saham; stakeholder ekstenal: komuniti, customer, LSM; dan stakehoder lainnya seperti: supplier, kelompok SRI (social responsible investors) dan licensing patners. Dengan demikian dalam SC, perhatian manajemen tidak saja harus ditujukan pada standar dasar ekonomi, tetapi juga pada dampak kegiatan perusahaan itu terhadap lingkungan hidup, komuniti, sekitarnya dan masyarakat pada umumnya.
Dewasa ini, menghadapi dampak globaslisasi, kemajuan informasi teknologi, dan ketebukaan pasar, perusahaan harus secara serius memperhatikan CSR. Hanya taat kepada peraturan perundang-undangan belum cukup untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk). Tekanan secara nasional dan internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham (yang sadar CSR), LSM, partner-partner bisnis (terutama dari negara yang komuniti bisnisnya peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public interest lawyers)(6). Dikatakan pula oleh para pengamat bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and the potential for corporate misconduct”. Keadaan seperti inipun perlu dicermati di Indonesia, terutama dalam usaha pemerintah melakukan “economic recovery”.
Mengapa CSR perlu perhatian manajemen
Mempunyai program CSR bukanlah hanya sekedar untuk tunduk pada tekanan publik dan politik. Seperti dikatakan dalam TOR pertemuan ini, pelaksanaan CSR (khususnya yang dikaitkan pada Community Development) telah dianggap pula sebagai “faktor pendukung daya saing” perusahaan bersangkutan. Seperti terungkap dalam suatu survei di tahun 1999 terhadap ribuan responden di dunia (23 negara di 6 benua), maka antara lain:
(a) separuh responden “care about the social behaviour of companies”;
(b) duapertiga responden ingin perusahaan meninggalkan peranan perusahaan yang hanya menekankan pada: membuat keuntungan, membayar pajak, dan menggunakan tenaga kerja; mereka minta agar fokus perusahaan adalah juga bagaimana menyumbang pada tujuan-tujuan masyarakat secara lebih luas (broader societal goals); dan
(c) perhatian masyarakat sekarang lebih pada “corporate citizenship”, ketimbang hanya pada “brand reputation” dan “financial factors”.
[disarikan dari “Global Perception of the Role of Corporations”](7)
Dalam iklim reformasi dan demokrasi di Indonesia sekarang ini, keterbukaan dan akuntabilitas sangat dipentingkan dan diperhatikan oleh publik. Peranan pengawasan publik dilakukan melalui LSM (NGO), sebagai organisasi nir-laba yang pendukungnya menyuarakan berbagai “public issues”, yang punya dampak besar pada penyelenggaraan bisnis di indonesia. Perusahaan harus menyadari bahwa suara LSM ini mempunyai pengaruh besar dan sangat diperhatikan oleh konsumen perusahaan dan karena itu tidak dapat diabaikan(8). Isu bagaimana tenaga kerja mempersepsikan suatu perusahaan juga akan berpengaruh pada rekrutmen pegawai, memotivasi kerja mereka, dan mengusahakan mereka tidak pindah ke perusahaan lain. Tenaga ahli yang cakap sekarang juga sudah mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam melaksanakan CSR (CSR leadership). Karena itu “faktor pendukung daya saing” juga harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan. Seperti dikutip Wineberg(9) dari suatu survei CEO di Eropa tahun 2002: “.......78% of the chief executives agreed that integrating responsible business practices makes a company more competitive”.
Global Compact telah memasukkan “anti-korupsi” sebagai asas ke-10 (dalam tahun 2003). Dalam tahun yang sama, PBB telah mengeluarkan Konvensi Global Anti-Korupsi, dan yang telah turut ditandatangani pula oleh Indonesia. Dalam pengertian “responsible business practices” di atas, tentunya termasuk pula usaha perusahaan untuk menolak melakukan transaksi yang mempunyai sifat “penyuapan” dan/atau “korupsi”(10).
HAM dan CSR
Sebagaimana didefinisikan di atas konsep CSR berkaitan pula dengan sumbangan perusahaan pada masyarakat antara lain dalam “social investment” dan “engagement in public policy”. Sumbangan ini ditujukan ke dalam (internal) dan keluar (ekternal). Ke dalam, antara lain terhadap tenaga kerja (pegawai), ke luar antara lain terhadap lingkungan hidup, komuniti sekitarnya, dan masyarakat luas.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, Global Compact merupakan nilai-nilai yang mempedomani CSR. Dua dari sepuluh asas dalam GC secara langsung merujuk pada penghormatan HAM sebagaimana diakui oleh dunia internasional(11). Dasar internasional tentang HAM adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Indonesia menghormati UDHR dan telah memasukkan sebagian asas-asas tersebut dalam konstitusi (UUD 1945 yang telah diamandemen). Meskipun memang pada dasarnya negara yang bertanggung jawab tentang penegakan HAM ini, tetapi peranan perusahaan juga tidak kecil dalam turut serta menghormati HAM. Karena GC merupakan pedoman bagi CSR dan GC merujuk pada penghormatan HAM, maka pelaksanaan CSR oleh perusahaan berarti pula kewajiban perusahaan untuk menghormati perlindungan HAM di Indonesia. Ketidaktaatan perusahaan melindungi HAM di Indonesia, terutama yang tertuang dalam konstitusi, akan merupakan pelanggaran serius dari perusahaan bersangkutan.
Namun, dalam kenyataan tidaklah mudah untuk menentukan pelanggaran HAM. Sejumlah masalah yang pernah diajukan dalam konsultasi antara kantor UNHCHR dengan kantor Global Compact(12), adalah antara lain:
(a) mengenai “scope and legal status of initiatives and standards”, apakah dapat menjadi dasar untuk “binding obligations enforceable in national law”; diambil sebagai contoh Voluntary Guidelines on Security and Human Rights, yang baru dapat ditegakan apabila dimasukkan sebagai klausula dalam kontrak-kontrak dengan perusahaan sekuriti;
(b) mengenai legitimasi dari para penyusun “initiatives dan standards”; dalam hal inisiatif dan standar ini diambil-alih (adopted) oleh pemerintah, maka status hukumnya akan menjadi lebih kuat;
(c) mengenai verifikasi (verification) tentang ketaatan perusahaan pada standar perilaku bisnis yang sudah disepakati; bagaimana meningkatkan (improve) verifikasi ini?
(d) mengenai “the meaning of complicity”, sejauh mana perusahaan dapat dianggap “turut serta” dalam pelanggaran HAM, misalnya membayar pajak yang digunakan pemerintah bersangkutan untuk kegiatan yang melanggar HAM? [penyertaan dalam KUHPidana, diatur dalam Pasal 55-56 - yurisprudensi Indonesia belum jelas apakah konsep penyertaan: (i) memperluas tanggung jawab pidana, atau (ii) memperluas perbuatan (tindak) pidana].
Sehubungan dengan luas lingkup suatu perusahaan dapat dianggap turut serta (merupakan pelaku peserta) dalam pelanggaran HAM, dapat berkaitan dengan penggunaan perusahaan (atau tenaga) satuan pengamanan (satpam). Telah sering terjadi bahwa unit (satuan) pengamanan perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM (misalnya mulai dari “menggeledah badan pekerja” sampai dengan “menghalau” demontrasi pekerja). Dengan sendirinya perusahaan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ini, baik secara gugatan sipil (civil laibility), maupun dakwaan kriminal (criminal liability). Akan lebih rumit permasalahannya kalau pelanggaran HAM dilakukan oleh unit pengamanan yang berasal dari Kepolisian atau TNI. Unit pengamanan ini biasanya memperoleh pula bantuan biaya dari perusahaan. Apakah “bantuan biaya” ini dapat ditafsirkan bahwa perusahaan telah “membantu” terjadinya pelanggaran HAM? Ingat bahwa asas Global Compact kedua meminta “that businesses should make sure that they are not complicit in human right abuses”(12)!
Korupsi dan CSR
Global Compact telah menambah asas ke-10, yaitu tentang anti-korupsi, sejalan dengan adanya UN Convention against Corruption. Dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang telah menggabungkan diri (secara sukarela) dalam Global Compact, juga “terikat” untuk “memerangi korupsi”. Untuk Indonesia yang sedang menjalani reformasi di bidang hukum dan sistem peradilan, keterikatan perusahaan untuk “memerangi KKN” tentunya teramat penting. Kenyataan adanya “bribery in the private sector” telah merupakan salah satu faktor yang mempersulit Indonesia melakukan pemulihan di sektor ekonomi, karena ketidakpercayaan para investor pada hukum dan sistem peradilan kita(14).
Untuk negara yang berada dalam keadaan transisi seperti Indonesia, KKN dan pencucian uang (money laundering) merupakam masalah besar. Meningkatnya pertumbuhan kejahatan transnasional telah diakui oleh PBB dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada “the integrity of national financial industries”. Masalah ini cukup banyak dibicarakan di Indonesia, dan berbagai studi dan rekomendasi telah pula di ajukan(15). Untuk perhatian kita bersama hanya perlu dikemukakan bahwa pada tanggal 18-25 April 2005 di Bangkok (Thailand) akan berlangsung The Eleventh UN Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, dengan tema “Synergies and responses: strategic alliances in crime prevention and criminal justice”. Dari sekian banyak topik agenda, yang relevan dengan pertemuan ini adalah agenda pembicaraan(16):
(1) Effective measures to combat transnational organized crime (dengan antara lain isu: international law enforcement cooperation, including extradition measures);
(2) Corruption: threats and trends in the twenty first century (dengan antara lain isu: criminal justice reform);
(3) Economic and financial crime: challenges to sustainable development (dengan antara lain isu: measures to combat terrorism and economic crime, including money laundering; dan measures to combat computer-related crime).
Tanggung jawab Perusahaan
Sebagian besar perusahaan yang menjalankan bisnis dengan memakai “ijin perusahaan” berbentuk badan hukum (rechtspersoon; legal person) perseroan terbatas (PT). Badan hukum PT ini adalah suatu relaitas (bukan fiksi) dan berupa suatu kontruksi hukum. Dikatakan bahwa badan hukum adalah subyek hukum, sama dengan manusia (natuurlijke persoon; natural person), dengan perbedaan bahwa badan hukum mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang untuk mengabdi pada kehidupan hukum manusia. Manusia sendiri mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan asas-asas kesusilaan dan kemasyarakatan, dan karena itu dikenal adanya hak asasi manusia(17).
Dalam kenyataan kita tahu bahwa badan hukum PT (selanjutnya “korporasi”) berbuat atau bertindak melalui manusia (yang dikenal dalam UU Perseroan Terbatas No. 1/1995 sebagai Direksi). Dalam Pasal 82 dikatakan bahwa “Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili ... baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Dengan demikian antara Direksi dan korporasi ada hubungan istimewa yang dinamakan “fiduciary relationship” (hubungan kepercayaan), yang melahirkan “fiduciary duties” bagi setiap anggota Direksi(18).
Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu korporasi (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons. Oleh karena itu suatu korporasi, secara hukum Indonesia, dapat dinyatakan bersalah (terpisah dari direksinya), berdasarkan hukum perdata (gugatan perdata) karena telah tidak memenuhi CSR, apabila asas-asas dalam Global Compact telah menjadi “binding obligations enforceable in national law” (lihat halaman 5-6 makalah ini: HAM dan CSR).
Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana Indonesia, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatannya itu secara fisik. Dikatakan bahwa karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang “pelaku fungsional” (functionele dader)(19).
Meskipun KUHPidana kita (yang berasal dari masa Hindia Belanda), belum menerima pemikiran di atas (Pasal 59 WvS 1918) dan menyatakan bahwa (hanya) pengurus (direksi) korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal liability), sebenarnya konsep criminal liability of corporations sudah ada sejak tahun 1955 di Indonesia(20).
Penutup
Dalam konteks pertemuan ini dengan tema “Peran Sektor Usaha dalam Pemenuhan, Pemajuan, dan Perlindungan HAM di Indonesia”, maka ingin ditekankan pada tugas pengurus (direksi) perusahaan (korporasi sebagai subyek hukum mandiri). Pengurusan (dalam Pasal 79 UU PT di pergunakan istilah “Kepengurusan”) dijelaskan sebagai tugas Direksi ”yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan”. Sebenarnya pengurusan adalah lebih daripada “melaksanakan (keputusan RUPS)” dan juga lebih daripada “pengurusan sehari-hari”. Pengurus harus “memimpin”, “menyusun rencana masa depan”, “menyusun program kerja (baru)”, dan “memperinci kebijakan perusahaan”. Dan dalam kaitan CSR, pengurusan ini tidak saja ditujukan ke dalam (stakeholder internal), tetapi juga keluar (stakeholder Eksternal) (lihat halaman 2-3 di depan).
Karena itu pengurus harus juga dapat dalam “kepengurusan”-nya untuk merujuk pada kepentingan umum atau broader societal goals. Dengan ini dimaksudkan kepentingan-kepentingan di luar organisasi perseroan secara langsung, atau lebih tepat mungkin kepentingan dan tujuan stakeholder eksternal, dengan mengacu pada asas-asas Global Compact dan berdasarkan tanggung jawab menurut konsep Corporate Social Responbility.
Oleh: Mardjono Reksodiputro,
Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Departemen Luar Negeri RI,
dengan tema “Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan,
dan perlindungan HAM di Indonesia”
Hotel Borobudur, Jakarta (20/12/04)
Sumber: Komisi Hukum Nasional