Oleh: Mohammad Maghfur Wachid
Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M).[i] Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.
Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina.[ii] Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di Negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.
Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-’Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A’râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A’râdh dan Tathbît al-A’râdh, karya Abu Hudhail al-’Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A’râdh, karya an-Nazhzham.[iii]
Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-’Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na’imah (w. 220 H/830 M).[iv] Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M),[v] dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).
Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi[vi] atau Ibn Rusyd.[vii] Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.
Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.
Adakah Filsafat dalam Islam?
Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM),[viii] yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut.[ix] Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi’iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.[x]
Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.[xi]
Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan).[xii] Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).[xiii]
Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis).[xiv] Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan).[xv] Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).[xvi]
Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia.[xvii] Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri.[xviii] Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).[xix]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.[xx]
Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam
Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.
Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.
Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.
Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).
Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.
Seiring dengan kakalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-’Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.
Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a’lam. []
[i] Abu Hanifah mengatakan, “Allah Swt. adalah satu (yang diketahui) bukan melalui angka, tetapi dengan cara, bahwa Dia tidak mempunyai sekutu.” Lihat: Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-Akhbar, hlm. 323. Ini melanjutkan perdebatan Plato tentang angka, apakah angka merupakan substansi atau aksiden. Untuk keluar dari perdebatan tersebut, kelihatannya Abu Hanifah menggunakan jawaban taktis di atas.
[ii] Menurut Ibn Sina, mantiq (logika) meliputi sembilan bagian. Pertama, pembahasan tentang pembagian lafal dan makna, yang dijelaskan dalam kitab yang populer dengan judul, al-Madkhal, karya Pirtoes. Kedua, pembahasan mengenai makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories, karya Aristoteles. Ketiga, pembahasan mengenai susunan makna tunggal secara positif dan negatif, yang dijelaskan dalam kitab On Interpretation, karya Aristoteles. Keempat, pembahasan mengenai susunan proposisi, atau analogi, yang dijelaskan dalam kitab Prior Analytics, karya Aristoteles. Kelima, pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang menjadi premis-premisnya, yang dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya Aristoteles. Keenam, pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham yang dijelaskan dalam kitab Tonica, karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam kitab On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kedelapan, pembahasan yang berisi standar pidato yang bermanfaat, yang terangkum dalam kitab Rethoric karya Aristoteles. Kesembilan, pembahasan yang berisi ungkapan bersyair, yang terangkum dalam buku Rethoric karya Aristoteles. Ibn Sina, Risâlah fî Aqsâm al-’Ulûm al-’Aqliyyah, hlm. 271-272.
[iii] Ibn al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 288, 299 dan 286.
[iv] Badawi, al-Falsafah, hlm. 156.
[v] Ibn Tufayl, Hayy bin Yaqzhân, ed. Ahmad Amīn, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1952, hlm. 62.
[vi] Al-Kindi, Rasâ’il al-Kindi, hlm. 35 dan 36.
[vii] Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ bayna al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, hlm. 33.
[viii] Ibn Nadim, al-Fihrist, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, hlm. 400.
[ix] Ibid. hlm. 402; Plato, Timeaus, http://books.mirror.org/gb.plato.html., 19 November 2001.
[x] Ibn Nadim, ibid, hlm. 415.
[xi] Tim Rosda, Kamus, hlm. 249.
[xii] Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hlm. 364; Aristoteles, Nicomachean Ethics, Book I, Part 6, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
[xiii] Socrates, Mukhtashar Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Suqrâth, hlm. 222; Aristoteles, Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Aristhûtâlis, hlm. 234. Lihat: Plato, Fîdûn wa Kitâb at-Tuffâhah, ed. Ali Sami an-Nasysyar dan Abbas asy-Syarbini, Dar al-Ma’rifah, Mesir, 1974, hlm. 222 dan 234.
[xiv] Lihat: Aristoteles, Nicomachean Ethics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001; Aristoteles, Politics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
[xv] Aristoteles, Ibid.
[xvi] Aristoteles, Prior Analytics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
[xvii] Al-Kindi, Rasâ’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Kairo, 1950, Juz I, hlm. 97.
[xviii] Al-Farabi, al-Jam’ Bayn Ra’yay al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader, al-Mathba’ah al-Kathulikah, Beirut, 1969, hlm. 81.
[xix] Klasifikasi ini dilakukan oleh Aristoteles, yang telah membagi hikmah (wisdom) menjadi dua, yaitu praktis dan teoretis. Lihat: Aristoteles, Nicomachean Ethics, Book I, Part 8 dan 13, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
[xx] Ibn Qayyim, Ighâthah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaythân, ed. Muhammad al-Faqqi, t.p., t.t., hlm. 257.
www.sidogiri.com