PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA : Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta
Tanggung Jawab Pribadi dan Kemasyarakatan
oleh Nurcholish Madjid
Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan Ramadhan
barangkali merupakan ibadat wajib yang paling mendalam
bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan
dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka,
tarawih dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenangan
yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim.
Maka ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa
keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di
waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim menampilkan
corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan
beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka kekhasan
bangsa kita dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa
Ramadhan telah pula menjadi perhatian orang Muslim Arab di
akhir abad yang lalu. Seorang sarjana bernama Riyadl
menyebutkan bahwa di Jawa (yang dicampuradukkan olehnya
sebagai bagian dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara
yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa. Mereka
itu, kata Prof. Riyadl.
pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari
untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian
melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan
membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz'
sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada
suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa
mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang
menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi
terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang
buncis. [1]
Dari penuturan sederhana itu maka tidak terlalu salah jika
kita kaum Muslim Indonesia mempunyai kesan yang amat khas
tentang bulan Ramadhan, agaknya lebih dari kaum Muslim di
negeri-negeri lain. Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan
dengan intensitas yang tinggi, yang bakal meninggalkan kesan
mendalam pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan
pada bangsa kita tercermin juga dalam suasana Hari Raya
Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu
akan baik sekali jika kita memahami berbagai hikmah ibadah
puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT
Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah yang khas ini, ada
baiknya kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu,
guna memperoleh sedikit bahan perbandingan tentang bagaimana
puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.
Firman Allah berkenaan dengan kewajiban kaum beriman
menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya kewajiban serupa
atas manusia sebelum mereka: "Wahai sekalian orang yang
beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan atas mereka sebelum kami, agar kamu
bertaqwa." [2] Ini menunjukkan adanya ibadat puasa pada
umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadat
yang paling mula-mula serta yang paling luas tersebar di
kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat
berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu
tempat ke tempat yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu
berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari
pemenuhan kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan
diri dari bekerja, malah dari berbicara. Puasa berupa
penahanan diri dari berbicara dituturkan dalam al-Qur'an
pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih.
Karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah
melakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkan
seorang putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk
melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun
juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:
... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam),
serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau
melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya
aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm)
kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak
akan berbicara kepada siapapun jua. [3]
Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran jasmani
dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya,
khususnya dari kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran
jasmani dari kebutuhannya, yaitu makan dan minum, dapat
beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri dari
makan dan minum itu secara mutlak (artinya, semua bentuk
makanan dan minuman dihindari, tanpa kecuali), sejak dari
fajar sampai terbenam matahari. Tetapi ada umat lain yang
berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau
minuman tertentu saja. Konon kaum Sabean (al-Shabi'un) dan
para pengikut Manu (al-Manuwiyyun), yaitu kelompok-kelompok
keagamaan di Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan
Persia, adalah umat-umat yang menjalankan puasa dengan
menghindari jenis tertentu makanan dan minuman itu. Demikian
pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen Timur
di Asia Barat dan Mesir.
Dari segi waktu pun terdapat keanekaragaman dalam amalan
berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian
siang, atau seluruh siang, atau siang dan malam sekaligus.
Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya untuk malam hari.
Karena itu sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa
perlu meneranghan hikmah puasa siang hari saja seperti yang
dijalankan oleh kaum Muslim. Maka al-Jurjawi, misalnya,
memandang bahwa puasa di siang hari adalah yang lebih utama
daripada di malam hari, karena lebih berat. Ini dikaitkan
dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist Nabi, bahwa "Ibadat
yang paling utama ialah yang paling mengigit (ahmaz yakni,
paling berat)", dan bahwa "Sebaik-baik amalan ialah yang
paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat
berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu
latihan keruhanian, sehingga semakin berat semakin baik dan
utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan raga orang
yang melakukannya.
Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan, disebutkan oleh
al-Jurjawi bahwa sebagian ahli tafsir Yahudi dan Kristen,
namun kemudian mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup
kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali barangkali
untuk orang-orang Yahudi dan Kristen Arab di Jazirah Arabia
karena terpengaruh atau meneruskan adat kebiasaan setempat.
Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak
dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya
suku Quraisy. Dan memang banyak amalan yang disyari'atkan
dalam Islam telah pula disyari'atkan kepada umat-umat
sebelumnya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah
tersebut di atas, sebagaimana juga jelas bahwa Islam
mengukuhkan sebagian ibadat sebelum Islam, seperti beberapa
amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya itu dibersihkan
dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]
Berdasarkan itu semua dapat dikatakan bahwa puasa merupakan
salah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan
atau kontinuitas agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi
salah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkan
kepada umat-umat sebelumnya. Segi kesinambungan atau
kontinuitas Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan
hal yang dengan sangat kukuh dijelaskan dalam Kitab Suci,
yaitu dalam perspektif bahwa peran Nabi Muhammad saw ialah
tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan
Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:
Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan)
kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan
kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang
telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub,
Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah
Kami berikan Kitab Zabur.
Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka
itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul
yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan
sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.
Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman,
agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah
sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha
Bijaksana.
Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada
engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu
pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan
(sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]
PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam
bentuk Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia)
adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah
untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala." [7]
Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan
bahwa puasa itu
... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari
amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak
melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan
syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya
(Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan
segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih
mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu
rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang
lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat
melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala
sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya
demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang
tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat
puasa.[8]
Jadi salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang
pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang
manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan
letak seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan
itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu
sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan.
Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah
dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh
seseorang ketika ia berada sendirian.
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan
adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak
tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap
segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan
nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamu
dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala
sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah
Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia,
dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." [11]
"Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antara
seseorang dan hatinya sendiri..." [12]
Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik Islam
(Salaf) yang hidup sekitar tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn
Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751 H). Penjelasan serupa
juga dikemukakan oleh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh
pemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir. Dalam uraiannya
tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:
Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i
(manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat
(amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak,
padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba
dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari
syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik
itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah
Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia.
Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam
kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -
(publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan
Yang Maha Agung itu untuk melanggar
larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman,
dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia
merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia
mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.
Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka,
dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak
menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut
kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. [13]
Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti pendidikan
Ilahi melalui ibadah puasa ialah penanaman dan pengukuhan
kesadaran yang sedalam-dalamnya akan ke-MahaHadir-an
(omnipresence) Tuhan. Adalah kesadaran ini yang melandasi
ketaqwaan atau merupakan hakikat ketaqwaan itu, dan yang
membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan
terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai
seorang yang berbudi pekerti luhur, ber-akhlaq karimah.
Kesadaran akan hakikat Allah yang Maha Hadir itu dan
konsekuensinya yang diharapkan dalam tingkah laku manusia,
digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:
"Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu
yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan
dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan
tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang
Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah
Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu
ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di
manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa
yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat.
Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]
Sekali lagi, dari keterangan di atas itu tampak bahwa puasa
adalah suatu ibadat yang berdimensi kerahasiaan atau
keprivatan (privacy) yang amat kuat. Dari situ juga dapat
ditarik pengertian bahwa puasa adalah yang pertama dan utama
merupakan sarana pendidikan tanggungjawab pribadi. Ia
bertujuan mendidik agar kita mendalami keinsyafan akan Allah
yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat dan
tempat.
Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh, melainkan dengan penuh
kesungguhan dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat
akan kita pertanggungjawabkan kepada Khaliq kita secara
pribadi. Tentang betapa dimensi pribadi (personal)
tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu,
Kitab Suci al-Qur'an memberi gambaran amat kuat sebagai
berikut:
Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian
kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika
seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan
tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya
sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar
(pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi
(kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan
pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu
sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat
memperdaya. [15]
Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak
seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika
perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan
bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela.
[l6]
Ini semuanya sudah tentu sejajar dengan berbagai penegasan
dalam Islam bahwa manusia dihargai dalam pandangan Allah
menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya, suatu ajaran
tentang orientasi prestasi yang tegas, dalam pengertian
pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada
apa yang dapat diperbuat dan dicapai oleh seseorang.
Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise, yaitu pandangan
yang mendasarkan penghargaan kepada seseorang atas
pertimbangan segi-segi askriptif seperti faktor keturunan,
daerah, warna kulit, bahasa dll. Orientasi seperti faktor
keturunan, daerah, warna kulit, bahasa, dll. Orientasi
prestasi berdasarkan kerja ini kemudian dikukuhkan dengan
ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi di
Akhirat kelak.
PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
Sebegitu jauh kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa
sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab
pribadi. Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri
mengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan pada
kehidupan nyata di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab
sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang sama, yang
sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa
dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab itu tidak bisa
dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan peniadaan yang lain.
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan bahwa salah
satu hikmah ibadah puasa ialah penanaman rasa solidaritas
sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwa
ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik
sebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuk
tindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu
zakat, sedekah, infaq, dll.
Dari sudut pandangan itulah kita harus melihat kewajiban
membayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang
akhir bulan suci itu. Seperti diketahui, fithrah merupakan
konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa
setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Karena
itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan
kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang
sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap
zakat atau "sedekah" (shadagah, secara etimologis berarti
"tindakan kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan
bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam
kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu,
yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka
yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun
(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang
yang terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan
beban hidup mereka. Sasaran zakat yang lain pun masih
berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan
umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat
sendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan
Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang
seluas-luasnya.
Sebenarnya dimensi sosial dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab Suci,
yaitu taqwa. Dalam memberi penjelasan tentang taqwa sebagai
tujuan puasa itu, Syeikh Muhammad 'Abduh menunjuk adanya
kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan
puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama
"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar
senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam urusan hidup
mereka di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan mereka
bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan
diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.
Cara pandang kaum musyrik itu merupakan konseknensi faham
mereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengan
sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusia
sendiri) yang "disajikan" kepada Tuhan. Altar di kuil-knil
bangsa Inka di banyak bagian Amerika Selatan, umpamanya,
menunjukkan adanya praktek "ibadat" mendekati Tuhan dengan
sesajen berupa korban manusia. Demikian pula pada
bangsa-bangsa lain, praktek serupa juga tercatat dalam
sejarah, seperti pada bangsa-bangsa Mesir kuna, Romawi,
Yunani, India, dll.
Hal itu tentu berbeda dengan ajaran agama Tawhid yang
mengajarkan manusia untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya
(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama ini diajarkan
bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum
pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,
yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada
sesama manusia dalam masyarakat: "Maka barangsiapa ingin
berjumpa dengan Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat baik, dan
janganlah dalam berbakti kepada Tuhannya itu ia
memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
Berkaitan dengan ini, Islam memang mengenal ajaran tentang
ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah itu, korban
(qurban) adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun
pendekatan itu terjadi bukan karena materi korban itu dalam
arti sebagai sesajen, melainkan karena taqwa yang ada dalam
jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah korban itu tercermin
dalam kegunaan nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan
meringankan beban anggota masyarakat yang kurang beruntung:
"Tidaklah bakal sampai kepada Allah daging korban itu, dan
tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah
taqwa dari kamu." [18]
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan
kepada Allah bukanlah penderitaan lapar dan dahaga itu an
sich, melainkan rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh
prihatin itu. Dengan perkatauan lain, Tuhan tidaklah
memerlukan puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang
Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah untuk
kebaikan diri kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang lebih luas.
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari
amal saleh, tali hubungan dengan Allah (habl min Allah -
"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan
dengan sesama manusia (habl min al-nas -"hablum minannas"),
taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn
al-khuluq atau al-akhlaq al karimah). Ini antara lain
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur." [19]
Ibadah puasa selama sebulan itu diakhiri dengan Hari Raya
Lebaran atau Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang
menggambarkan tentang saat kembalinya fitrah atau kesucian
asal manusia setelah hilang karena dosa selama setahun, dan
setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa. Dalam praktek
yang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi
dari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaan
yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan
pembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin,
diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan
besar pada shalat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaan
terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,
keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas
aspek sosial dari hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas
nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itu
maka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan
kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai
Hadits mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang pun
tertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihan
dan melewati batas.
Karena itu zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakat
untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,
yang terdiri dari para fakir miskin. Dari segi jumlah dan
jenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah
begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban yang telah
disinggung di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah
maknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasa
perikemanusiaan. Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalah
lambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakan
salah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kita
menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberi
substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek
hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha
mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan
nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allah
berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari
berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir
mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan
oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu
sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin" (semoga kita semua tergolong
mereka yang kembali ke fitrah kita --dan yang menang-- atas
nafsu-egoisme kita).
CATATAN KAKI
1. Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri' wa
Falsafatuhu, 2 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun),
Jil. 1, hh. 233-4.
2. QS. al-Baqarah/2:183
3. QS. Maryam/19:26.
4. al-Jurjawi, h 227
5. Lihat, Ibid, h.h. 232-3
6. QS. al-Nisa'/4:163-6.
7. Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang
sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn
al-Thaba'thabati dalam Al Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21
jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h
25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada
dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi.
8. Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad
fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr,
1392/1973), Jil. I, h 154.
9. QS. al-Hadid/57:4.
10. QS. al-Baqarah/2 :183.
11. QS. Qaf/50:16.
12. QS. al-Anfal/8:24.
13. al-Jurjawi, h 212.
14. QS. al-Mujadalah/58:7
15. QS. Luqman/31:33.
16. QS. al-Baqarah/2:48 dan 123).
17. QS. al-Kahf718:110.
18. QS. al-Hajj/22:37.
19. Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim
(Lihat Bulugh al-maram, Hadits No. 1561)
20. QS. al-Baqarah/2:185