oleh KH Ali Yafie
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh.
Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing
saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha.
[1] Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas
bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui
maksudnya. [2]
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian
hunna umm al-kitab [3] yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa
harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan
berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin
kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah
unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang
mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para
mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap
pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang
menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh. Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk
kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan,
jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan
penggunaan dan hikmah kegunaannya.
ASAS
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti
saling bertentangan. [4] Ungkapan ini sangat penting dalam
rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci
yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114
kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan
persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat,
sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi
luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang
disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya
ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait
satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak
mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat
yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu
ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada
kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode
penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap
bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian
merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh
merupakan salah satu bagiannya. [5]
PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,
kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan,
penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan. [6]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara
ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut
pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i
yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum
yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya,
atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut
tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan
juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula
pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara
nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan
hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan
ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah,
di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian. [7]
JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at
lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi
yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan
semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan
salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari
segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya
pengertian suatu pemerintahan/negara dengan pemerintahan/
negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/negara
kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional
Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum
dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan
kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan
tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan
pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar
syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga
nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita
akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban
atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke
arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah
menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait
al-Haram. [8] Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum
kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula
tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga
berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut
bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula
kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai
contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi
seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun. [9] Beberapa waktu
kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa
tenggangnya 4 bulan 10 hari. [10] Di bidang lain ada pula
perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum
pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan,
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern
dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah
berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya
dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini,
jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal
yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang
atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan
undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah
soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya
nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum
dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan
hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh
antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal
yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan
lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang
memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang
juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan
satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang
menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah
adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan
Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak,
mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama
terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing
tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam
syari'at itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam
kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus
sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur
dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran
seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu
peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum
lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula
lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor
pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang
perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka
tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada
syari'at.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi
formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada
yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni).
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan
mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh
(pengganti) ditetapkan secara jelas. [12] Ini contoh dari
al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum
ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku
melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang
lakukanlah!". [12] Berbeda dengan hal tersebut diatas,
nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut,
tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan
dalam hukum syari'at.
KEDUDUKAN NASKH
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan
Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan
techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam
kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat
tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf)
atau menjelaskan (bayan). [13] Ungkapan Imam Subki ini dapat
dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh
yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih
menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.
HIRARKI PENGGUNAAN NASKH
Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati
urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam
upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at,
baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu
harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya
kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat
memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu
harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi
bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan
hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini
harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam')
atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya
jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah
baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata
kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah
teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan
adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut.
Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua
ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat
dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka
setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari
suatu upaya interpretasi. [14]
Kawasan Penggunaan Naskh
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana
jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam
syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini
Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif
(beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak
mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut
perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta. [16] Sejalan dengan ini Imam
Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara
ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau
sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan
larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi
nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh
adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut
perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum
dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya
Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau
pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan
hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya
hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan,
kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah
kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam
formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu
berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai
kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya,
seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta
kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan
kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk
mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada
sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
HIKMAH ADANYA NASKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin
dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17]
khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi
berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses
tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah
dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah
Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan
pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan
mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang
alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun
spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur
sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah
menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa,
kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran
(keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang
terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya,
mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses
pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih
tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat
bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang
masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang
hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan
dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran
seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat,
maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah
swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada
suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut
sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian
di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan
hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia
dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama
lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali? [18]
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah
yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui
sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan
adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.
CATATAN
1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
2. Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
3. QS. Ali 'Imran: 7
4. QS. Al-Nisa: 82
5. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
6. Al-Thusi, Uddat al-Ushul
7. 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
8. QS. Al-Baqarah: 114
9. QS. Al-Baqarah: 240
10. QS. Al-Baqarah: 234
11. QS. Al-Baqarah: 142
12. Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
13. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
14. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
15. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami
16. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
17. QS. Al-Furqan: 32
18. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.